"Aku baru sadar kalau kamu adalah putra tunggal Danu Wijaya, kalau saja dari awal aku tahu..., mungkin kedekatanmu dengan Sonia bisa di cegah!"
"Pertemuanku dengan Sonia adalah takdir, Rik. Mungkin sama juga, seperti pertemuan Sonia denganmu, dengan Dimas, apakah kita bisa mencegah semua itu?" balas Rocky, menatap Erik semakin dalam. Lalu ia berjalan ke jendela yang gordennya masih tersibak, menatap keremangan di luar yang kian gulita, "kamu juga pasti pernah merasakannya, Rik. Saat kita bertemu dengan seorang gadis yang mampu menggetarkan jiwa kita hanya dengan kerlingan matanya saja, aku merasakan itu...setiap menatapnya!" nadanya berubah sendu. Mengingat setiap kerlingan mata Sonia yang memberikan sorot kedamaian ke dalam hatinya. Erik juga merasakan itu, setiap ia melihat kilatan bahagia di mata Aline. Senyuman gadis itu yang masih bau kencur, tapi begitu menghanyutkan. Ia membenarkan perkataan Rocky.
"Mungkin kamu benar, kita memang nggak bisa menolak takdir. Tapi kamu tahu..., Sonia sudah mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya sejak dia lahir. Dia..., datang ke kota ini untuk mencari ayah kandungnya!" ujar Erik. Rocky melirik sejenak melalui bahunya, "menurutku..., untuk saat ini, kita harus membantunya untuk menemukan ayah kandungnya!" usul Erik. Kali ini Rocky berbalik,
"Tapi kita bahkan nggak tahu siapa namanya?"
Erik menyandarkan kepalanya ke tembok di belakangnya, "Sonia bilang..., keluarga ayahnya itu adalah termasuk pengusaha sukses di kota ini. Itu artinya..., jika Sonia bisa berkumpul dengan ayah kandungnya...bukankah itu semua menjadi lebih mudah. Untuk kehidupan Sonia, juga untuk hubungan cintanya...entah itu sama kamu, atau Dimas!"
Rocky menyipitkan matanya, tentu harus dengan dirinya, bukan Dimas! Tapi apa yang di katakan Erik itu benar, jalan satu-satunya untuk membuat Sonia di terima oleh keluarganya, jika status sosialnya sama. Tapi apakah benar begitu?
Rocky akhirnya harus pulang, ia akan mencoba menanyakan apakah orangtuanya mengetahui tentang hilangnya Sonia? Tapi begitu sampai rumah, kedua orangtuanya sudah tidur. Jadi ia putuskan untuk bertanya esok paginya saja.
* * *
Sonia membuka matanya perlahan, dinding-dinding putih mengelilinginya. Sendi-sendinya masih terasa pegal, ia menyapukan pandangannya ke seisi ruangan. Rumah sakit. Ia menggerakan tubuhnya, mencoba bangkit duduk. Sepertinya ia telah lama pingsan!
Tubuhnya sedikit terlonjak mendengar suara pintu terbuka, sosok yang muncul di ambang pintu itu membuat matanya harus terbeliak lebar.
"Kamu sudah bangun?" serunya menutup pintu dan berjalan menghampiri. Sonia menatapnya tajam, "bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanyanya lagi. Berdiri di sisi ranjang.