Aku pura-pura tidak tahu, padahal sudah tahu maksud kedatangannya. Tadi siang Vina memintaku menemaninya bertemu dengan kenalan barunya yang katanya seorang menejer enjinering gitu, tapi karena ketemuannya di klub..., jadi aku menolak.
"Yang tadi, ayolah Mel..., masa kau tega membiarkanku sendirian!" bujuknya, ia sudah memakai rok mini warna peach dengan tank-top merah dan blazer putih. Kaki jenjangnya di biarkan terekspos dengan sepatu Yongky Komaladi berhak tinggi berwarna hitam putih yang membuat tubuhnya kian meninggi saja, kalau jam kerja, kaki kami akan terbungkus oleh stocking.Â
Jadi meskipun memakai rok mini, tak akan jadi masalah. Sebenarnya, tinggiku hampir sama dengan Vina. Hanya Vina unggul 3 cm dariku. Warna kulit, kulitku justru lebih putih darinya, kalau si Vina berkulit kuning langsat. Tapi justru itu terkesan seksi. Soal wajah?
Kebanyakan teman mengatakan aku lebih unggul dari Vina, tapi di antara kami tidak ada persaingan kami justru berteman baik. Tentu saja, karena kami memiliki sifat dan sudut pandang berbeda. Vina lebih berfikiran bebas, menganggap berpetualang cinta selagi masih lajang itu wajar. Sementara aku, aku justru menginginkan bisa bertemu seseorang yang akan menjadi cinta pertama dan terakhirku, karena aku percaya cinta seperti itu masih ada.
Aku memasuki kamar kosku yang seluas 3x3 m itu, dengan biaya 450 ribu perbulan yang harus ku tanggung. Tak ada AC, hanya kipas angin, lemari dan ranjang. Vina mengikuti dan langsung duduk di ranjangku, menekuk kakinya. Ku cantelkan handuk di hanger lalu ku taruh di capslock. Aku mulai menyisir rambutku.
"Mel, plisss..., aku tidak punya teman yang bisa menemaniku malam ini. Si Ratna dan Eka kan ada date dengan pacarnya, yang jomblo cuma dirimu doang, ayolah..., Melati baik deh!" rayunya.
"Tapi kenapa harus di klub sih Vin, kan bisa di tempat lain?"
"Ya..., mau nyoba suasana baru saja. Kalau di caffe kan sudah biasa, lagipula ini bukan klub murahan kok!"
"Memang jam berapa janjiannya?"
"Jam 10!"
"Masih lama, kenapa sudah menor duluan?"