Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Broken Wings of Angel ~ The Wedding #Part 42

26 Februari 2016   19:01 Diperbarui: 8 Maret 2016   09:55 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sad Broken Angel, www.imagefully.com"][/caption]

 

Sebelumnya, The Wedding #Part 41

 

Liana masih terpaku menatap Anthony, diam, tapi ia lebih terpaku ketika Anthony mengalihkan pandangannya ke orang yang berhadapan persis dengannya. Menampakan wajah lebih puas yang tak bisa Liana tebak. Tapi sesuatu mendera di dadanya mengetahui siapa orang yang Anthony tatap.

Nicky mengendurkan dekapannya karena merasa tubuh Liana menegang, selain itu ia juga mendengar sebuah suara tertahan untuk kedua kalinya, seperti suara orang tercekik. Iapun melepaskan Liana yang terpaku menatap ke belakangnya, dan lagi ada seseorang yang menyentuh punggungnya. Perlahan Nicky menoleh, ia melebarkan mata menemukan Anthony berhadapan dengan seseorang persis di belakangnya, Nicky yang sedikit lebih tinggi melirik ke tangan Anthony yang ternyata memegang sebuah pisau yang seluruh bagian tajam pisaunya menancap di perut Rizal, mengeluarkan cairan merah di sana.

"Arghh!"

Suara Rizal ketika pisau itu tercabut dari perutnya, ia memegang perutnya sendiri, lalu perlahan tubuhnya ambruk. Nicky segera menahannya hingga menyentuh lantai. Entah bagaimana caranya itu terjadi, mungkin Rizal masuk tepat saat Anthony sadar dan hendak menusuk dirinya.

"Rizal!" desisnya, Liana hanya bisa membuka mulut tanpa bisa mengeluarkan suara. Melihat darah di perut Rizal airmatanya mengalir begitu saja dengan deras. Iapun ikut bersimpuh di sisi Rizal, mengambil alihnya dari tangan Nicky, ia meletakan lengannya di bawah kepala Rizal di atas pangkuannya.

Nicky mengangkat wajahnya hingga bertemu dengan wajah Anthony yang terlihat belum puas, pisau berlumur darah masih tergenggam erat di tangannya. Siap untuk ia hunuskan kembali, Nicky bangkit, Anthonypun bersiap menyerangnya. Nicky menghindar lalu mendorong tubuhnya hingga terpental ke belakang. Terjadi pertarungan di antara keduanya. Ia juga bernafsu sekali ingin membunuh Nicky setelah menusuk Rizal. Nicky sempat terkena goresan pisau di lengannya.

"Rizal!" desis Liana dalam tangisnya, "aku..., baik-baik..., saja!" katanya, ia melirik ke arah dua orang yang sedang bergumul itu, Nicky terbaring di lantai, Anthony di atasnya, tangan merrka menyatu, pisau berdarah terselip di antaranya. Terlihat Anthony berusaha menekannya ke bawah, ke tubuh Nicky dan Nicky mencoba menahannya agar pisau itu tidak sampai menyentuh tubuhnya.

Liana juga menoleh ke sana, terlihat darah menetes dari ujung mata pisau, juga dari sela-sela telapak tangan Nicky. Itu pasti darahnya, pisau itu merobek kulitnya, Liana jadi ngeri sendiri menatap hal itu. Terselip rasa takut yang mendera, ia takut kalau Nicky juga akan terluka oleh pisau itu. Apalagi melihat wajah Anthony yang sepertinya bernafsu sekali ingin membunuh Nicky.

"Jangan bergerak!" seru sebuah suara bersama derap langkah memenuhi ruangan itu, sekelompok polisi bersenjata mengepung mereka. Anthony dan Nicky sama-sama terdiam menoleh,

Damn! Kenapa bisa ada polisi?

Anrhony merutuk dalam hati, sudah terkepung begitu dengan banyak senjata api tersodor ke arahnya, jika ia melawan ia akan mati di tempat. Dan ia tak mau mati di berondong timah panas para aparat itu, maka iapun melepaskan genggamannya pada pisau itu. Membiarkan Nicky yang masih memegangnya, ia segera berdiri seraya mengangkat kedua tangannya. Dua polisi segera memeriksanya lalu memborgol tangannya di belakang. Beberapa anak buahnya yang mencoba melarikan diri sudah berada di dalam mobil polisi. Panjul bersimpul di sisi Rizal, sementara Rino sudah berada di dalam ambulans, ia masih hidup hanya keadaannya sangat kritis.

Nicky membuang pisau itu ke lantai dan bernafas lega, telapak tangannya terasa cukup perih. Ia bangkit di bantu oleh salah seorang polisi, tapi melihat Liana yang memangku kepala Rizal, ia segera menghampirinya.

"Kita harus membawanya ke rumah sakit!" serunya, tapi Rizal menahan tangannya dan menggeleng, "tidak, aku..., tidak butuh rumah sakit!" tolaknya, Liana menggeleng.

"Tapi Jal,"

"Nicky," panggil Rizal menatapnya, Nicky membalas tatapan memohon itu lalu memegang tangannya yang sama-sama berlumur darah, "aku..., titip Liana!" katanya, "kau..., harus menjaganya dengan baik. Kau suaminya, dia adalah tanggungjawabmu. Berjanjilah, kau akan menjaganya sebaik mungkin!" pintanya, Nicky menatap Liana yang terus menangis dan menggeleng pelan. Nicky kembali menatap Rizal, "karena jika tidak..., aku..., aku akan membunuhmu!" ancamnya, isak Liana terasa lebih dalam. Rizal beralih menoleh Liana,

"Aku tidak suka, melihatmu menangis!" katanya, dan itu justru membuat tangis Liana menjadi, Rizal melebarkan senyum, "mungkin, aku hanya bisa menemanimu sampai di sini!"

"Tidak, jangan katakan itu. Kau sudah berjanji padaku untuk tak pernah meninggalkanku!"

"Maafkan aku, tapi..., mungkin hanya sampai di sini tugasku!"

"Tidak, kau tidak boleh pergi. Aku membutuhkanmu, Jal..., jika kau pergi..., siapa yang akan menjagaku?" tangisnya, Nicky menoleh Liana perlahan. Dan kalimat wanita itu..., cukup menusuk dadanya, meski semua itu benar. Selama ini, Rizallah yang selalu menjaganya dengan baik, Rizal yang selalu melindunginya, bukan dirinya!

"Kau masih punya Nicky, dia masih suamimu. Dia yang akan menjagamu!" kata Rizal, Liana kembali menggeleng. Entah apa arti gelengan itu, tapi di mata Nicky gelengan itu seperti sebuah penolakan akan kehadirannya kembali ke kehidupan wanita itu. Kembali, rasa pedih menyergap.

"Kau sudah berjanji padaku!" tangis Liana lagi, "ma-maafkan-aku!" kata Rizal terbata, "Liana, kau..., adalah wanita yang kuat..., masih..., banyak yang harus kau lakukan. Kau pasti bisa, tanpa aku!"

Liana kembali menangis, Rizal mencoba menghela nafas, tapi itu sudah sungguh berat, mulutnya bergerak-gerak tapi tak ada kata yang keluar, meski begitu ia tetap menyimpulkan senyum di bibirnya. Dan beberapa detik kemudian, kepalanya terkulai ke kiri. Tangannya juga terlepas dari genggaman Nicky, seketika Liana membiarkan tangisnya menjadi. Nicky menatapnya, ingin sekali ia merengkuhnya, memeluknya lebih erat dari beberapa saat lalu. Tapi dengan apa yang Liana ucapkan saat tak merelakan kepergian Rizal membuatnya jadi takut untuk menyentuhnya, walau hanya sekedar tuk menenangkannya. Wanita itu jauh lebih membutuhkan Rizal daripada dirinya, bahkan seolah tak menginginkan dirinya lagi.

Setitik airmata jatuh dari pelupuknya, ia juga merasa kehilangan akan kepergian Rizal. Setidaknya dulu pria itu sempat menjadi tempatnya berbagi ketika Liana sedang terpuruk, dan ia tak tahu bagaimana harus bersikap. Juga melihat istrinya menangisi pria lain, menciptakan rasa sakit di sudut hatinya.

* * *

"Dia memang bodoh, sejak awal aku merasa heran mengapa kau mengajaknya bergabung!" seru pria itu yang baru saja keluar dari kolam renang, memungut robe dan memakainya, mengikat talinya di pinggang. Valent duduk sambil menyesap cairan pekat di dalam gelas di tangannya, duduk santai.

"Tapi dia cukup membuat keonaran, cukup membantu kan?"

"Ya..., meski ada tindakan bodohnya yang membuatku ingin memotong lehernya!" pria itu menuang cairan yang sama ke sebuah gelas kosong, mengangkat gelas itu dan menyesapnya.

"Kau masih mempermasalahkan hal itu, padahal sudah jelas...,"

"Aku juga tidak suka dengan apa yang kau lakukan itu,"

"Kau masih sangat terobsesi terhadapnya, jujur, aku juga suka dengan keberaniannya!"

"Val, izinkan aku untuk membereskan Anthony. Aku tidak mau dia menyinggung soal kita di pengadilan!"

"Kau jangan kuatirkan itu, Anthony bukan bagianmu!"

"Lalu aku tetap harus diam bersembunyi, tanganku sudah sangat gatal!" kesalnya membanting gelas di tangannya, "ikuti saja peraturanku, akan ada waktunya kau beraksi!" suruh Valent. Pria itu mendengus kesal lalu beranjak.

Sesuai dengan permintaan Rizal, jenazahnya di bawa ke Jogja untuk dimakamkan di sana. Kedua orangtuanya juga melihat wajah putranya untuk terakhir kalinya. Meski selama belasan tahun mereka hanya berkomunikasi melalui telepon, tapi berita duka itu tetap memukul dada mereka. Rizal memilih jalan itu untuk melindungi Liana, dan mereka sudah menyetujuinya sejak awal.

Liana menginap di rumah sederhana itu, begitupun Nicky. Kedua orangtua Rizal memperlakukannya seperti seorang putri, karena wanita itu memang masih mereka anggap sebagai majikannya, sejak Rizal membawa Liana pergi mereka berdua memang sudah tak bekerja lagi di kediaman Suryo Aditomo. Candra memecatnya, jadi mereka hanya menggarap lahan mereka dan menjalankan usaha kecil-kecilan.

Nicky menatap istrinya yang sedang bercengkraman dengan orangtua Rizal, hingga detik ini Liana belum mengucapkan sepatah katapun terhadapnya. Meski ia mengajaknya bicara, istrinya itu hanya menggeleng dan mengangguk saja, bahkan selalu menghindari kontak mata dengan dirinya. Mungkin Liana bertahan karena Rizal yang memintanya, jika tidak, mungkin wanita itu sudah minta cerai darinya.

* * *

Plakk!

Seketika wajah Anthony terlempar kesamping, cap merah tangan membekas di pipinya, "estás loco, Anthonio!" maki papanya, wajahnya garang memendam amarah. Ia langsung terbang dari Barcelona setelah berhasil di hubungi oleh pengacara putranya, ia tak sempat pulang dulu ke Santa Fe, itupun ia harus menunda beberapa pertemuan penting dengan rekan bisnisnya. Saking sibuknya linenya selalu sibuk juga.

"Kau pikir apa yang kau lakukan, kau sengaja mau mencoreng muka papa?" hardiknya, Anthony mengembalikan wajahnya lurus menatap papanya, "kau sudah melakukan tindak pidana dengan ceroboh, tanpa kau pikirkan dulu apa akibatnya!" kesal papanya.

"Pa, apa papa tahu alasan apa dari perbuatanku?"

"Apapun itu, Anthonio. Kau bukan anak kecil lagi, pikirkan dulu sebelum bertindak. Kau tahu, kau bisa mendapatkan hukuman berat dari perbuatanmu, kecuali..., Nicholas Harris mencabut tuntutannya. Kau tahu..., dia..., adalah orang yang tidak mau papa memiliki masalah!" geramnya.

Jhonatan Gusti Prawiro, ia masih berdarah Jawa, tapi istrinya orang Meksiko, tepatnya di New Meksiko. Dan rencananya, Harris Group adalah incarannya untuk ia jadikan rekan bisnis di Indonesia, tapi sekarang..., putra sulungnya mengacaukan semuanya. Jika Nicky tahu Anthony adalah putranya, tentu saja dia tidak akan mau bekerja sama dengan dirinya. Apalagi ia dengar beberapa waktu lalu Nicky baru saja memutus kerjasamanya dengan perusahaan yang Anthony dirikan sendiri di kota ini. Entah apa yang ada dalam otak anak itu. Juga sempat ada isu putranya itu mendekati istri Nicholas Harris, padahal kalau sudah membicarakan wanita biasanya ia sudah paling malas. Ia tak pernah serius menjalin hubungan dengan semua wanita yang di kencaninya. Selalu di tinggalkan setelah wanita itu benar-benar jatuh cinta padanya.

"Papa, bisa melakukan sesuatu kan!" pintanya, "I don't know!" sahut papanya lalu berbalik dan melangkah, siap meninggalkan rutan yang kini mengurung putranya.

"Papa!" panggil Anthony, "Ella era la chica que rechazó la propuesta como un poco la de tiempo en bruto!" lanjut Anthony menghentikan langkah papanya, perlahan papanya menoleh dengan tatapan tak percaya.

"Él está muerto!"

"No, él está vivo!"

Sahutan putranya membuatnya mengepalkan tinju, benarkah itu? Angannya langsung melayang ke belasan tahun lalu, mengingat semua itu, ia mengencangkan tinjunya seolah ingin membuat angin yang tergenggam hancur, melebur. Insiden itu juga menyisakan luka di hatinya, meski sebenarnya ia sudah melupakannya, tapi hal itu berdampak buruk terhadap putranya. Ia saling pandang dengan putranya, matanya seolah mengucap,"semua akan terkendali"

* * *

Setibanya di rumah, Liana langsung menuju kamarnya. Nicky mengikutinya, bertekad ingin mengajaknya bicara, entah wanita itu mau menggubrisnya atau tidak. Tapi ketika pintu kamar tinggal dua langkah lagi, pintu itu tertutup begitu rapat, membuatnya harus memutus langkahnya seketika. Itu pertama kalinya Liana menutup pintu ketika dirinya mengikuti, ia termangu menatapi pintu yang terkatup rapat itu. Berharap akan membuka dan membiarkan dirinya ikut melenyap di dalam sana, tapi pintu itu tak berderit sedikit pun.

Liana sama sekali tak mau berbicara dengannya, wanita itu hanya menggeleng dan mengangguk saja ketika di ajak bicara seperti biasanya. Di diamkan seperti itu, rupanya begitu sakit rasanya. Kalimat terakhir yang Liana tujukan padanya muncul di telinganya,

"Aku membencimu___aku membencimu!"

Apakah itu benar, wanita itu sekarang membencinya? Cinta itu sudah tidak ada lagi, "bahkan dia masih mencintaimu sampai detik kau menghancurkan cintanya!"

Dan ucapan Rizal juga menghantam ingatannya. Jikapun sekarang Liana bersikap seperti itu, itu memang kesalahannya, ia sendiri yang membuat wanita itu membuang cintanya.

---Bersambung.....---

 

• T.B.W.O.A Trilogi ~ The Wedding (second novel)

The Wedding #Epilogue| The Wedding #Prologue

Spanish language ;

• Estás loco = Kau gila

• Ella era la chica que rechazó la propuesta como un poco de tiempo en bruto = wanita itu adalah gadis yang menolak lamaranku sewaktu kecil

• Él está muerto = Dia sudah mati

• No, él està vivo = Tidak, dia masih hidup

 

(maaf kalau bahasa spanyolnya masih payah, baru belajar....)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun