Liana juga menoleh ke sana, terlihat darah menetes dari ujung mata pisau, juga dari sela-sela telapak tangan Nicky. Itu pasti darahnya, pisau itu merobek kulitnya, Liana jadi ngeri sendiri menatap hal itu. Terselip rasa takut yang mendera, ia takut kalau Nicky juga akan terluka oleh pisau itu. Apalagi melihat wajah Anthony yang sepertinya bernafsu sekali ingin membunuh Nicky.
"Jangan bergerak!" seru sebuah suara bersama derap langkah memenuhi ruangan itu, sekelompok polisi bersenjata mengepung mereka. Anthony dan Nicky sama-sama terdiam menoleh,
Damn! Kenapa bisa ada polisi?
Anrhony merutuk dalam hati, sudah terkepung begitu dengan banyak senjata api tersodor ke arahnya, jika ia melawan ia akan mati di tempat. Dan ia tak mau mati di berondong timah panas para aparat itu, maka iapun melepaskan genggamannya pada pisau itu. Membiarkan Nicky yang masih memegangnya, ia segera berdiri seraya mengangkat kedua tangannya. Dua polisi segera memeriksanya lalu memborgol tangannya di belakang. Beberapa anak buahnya yang mencoba melarikan diri sudah berada di dalam mobil polisi. Panjul bersimpul di sisi Rizal, sementara Rino sudah berada di dalam ambulans, ia masih hidup hanya keadaannya sangat kritis.
Nicky membuang pisau itu ke lantai dan bernafas lega, telapak tangannya terasa cukup perih. Ia bangkit di bantu oleh salah seorang polisi, tapi melihat Liana yang memangku kepala Rizal, ia segera menghampirinya.
"Kita harus membawanya ke rumah sakit!" serunya, tapi Rizal menahan tangannya dan menggeleng, "tidak, aku..., tidak butuh rumah sakit!" tolaknya, Liana menggeleng.
"Tapi Jal,"
"Nicky," panggil Rizal menatapnya, Nicky membalas tatapan memohon itu lalu memegang tangannya yang sama-sama berlumur darah, "aku..., titip Liana!" katanya, "kau..., harus menjaganya dengan baik. Kau suaminya, dia adalah tanggungjawabmu. Berjanjilah, kau akan menjaganya sebaik mungkin!" pintanya, Nicky menatap Liana yang terus menangis dan menggeleng pelan. Nicky kembali menatap Rizal, "karena jika tidak..., aku..., aku akan membunuhmu!" ancamnya, isak Liana terasa lebih dalam. Rizal beralih menoleh Liana,
"Aku tidak suka, melihatmu menangis!" katanya, dan itu justru membuat tangis Liana menjadi, Rizal melebarkan senyum, "mungkin, aku hanya bisa menemanimu sampai di sini!"
"Tidak, jangan katakan itu. Kau sudah berjanji padaku untuk tak pernah meninggalkanku!"
"Maafkan aku, tapi..., mungkin hanya sampai di sini tugasku!"