Maafkan aku Nicky, kau yang memaksaku berkata seperti itu!
Ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya seraya membiarkan tubuhnya bersimpuh ke lantai. Saat mengucapkan hal itu, ia hanya ingin menjadi kuat dari tekanan Nicky. Tapi kini ia tahu apa akibat dari ucapannya, apa yang akan Nicky pikirkan tentang dirinya mulai dari sekarang, dan karena itu, ia mulai takut.
* * *
Nicky duduk di ruang kerjanya, ucapan terakhir Liana masih jelas ia dengar di telinganya. Perkata, bahkan persuku kata. Dan itu membuat dadanya begitu sesak, seperti ingin meledak, membiarkan isinya berhamburan. Kepalan tangan kanannya yang berada di depan mulutnya ia kencangkan, udara yang ia remas di dalamnya seakan adalah sesuatu yang ingin ia remukan.
Dengan amarah yang memuncak ia pun bangkit menyambar semua barang yang ada di atas meja kerjanya, barang-barang itu berserakan ke lantai hingga melahirkan bunyi gaduh. Beberapa lembar kertas beterbangan lalu secara perlahan mereka mendarat ke lantai. Lantai ruangan itu jadi berserakan.
Kedua tangannya tergeletak di atas meja, nafasnya tak beraturan, amarah sedang memuncak di ubun-ubunnya. Atau bahkan, rasa malu, ia merasa harga dirinya seperti di injak-injak. Satu nama sedang menari-nari di otaknya, seolah meledeknya.
Lalu ia mencoba mengatur nafas lalu meraba tubuhnya untuk menemukan sesuatu dan ia mendapatinya ada di saku celana jeansnya. Ia segera menekan sebuah nomor,
Mela yang sedang asyik terlelap di balik selimutnya terpaksa mengangkat hpnya yang tak mau berhenti melantun, dengan suara malas ia pun menjawab, "halo!"
"Mey!"
Mela melebarkan mata, "Nicky!" desisnya, kalau sudah menganggu acara tidurnya begini pasti ada hal yang gawat, "Apa?"
.....