Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Broken Wings of Angel ~ The Wedding #Part 25

24 November 2015   10:52 Diperbarui: 24 November 2015   13:16 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sebelumnya, The Wedding #Part 24

 

Liana masih terpaku menatap dua orang di dalam ruangan itu, ia memang tak mempercayai Ivana tapi mungkin sekarang ia mulai peraya pada wanita itu kalau suaminya tak benar-benar mencintainya. Ia segera berbalik meninggalkan ruangan dengan kaki terseret, tapi begitu ia hampir sampai di kamarnya suara Ivana menghentikannya. Terpaksa ia harus memutus langkah dan membiarkan wanita itu sampai padanya, Ivana menyilakan rambutnya ke belakang telinga.

"Kau sudah lihat itu Liana, kau pikir....Nicky mencintaimu? Ha..ha...," tawa ringan dan pelan keluar dari mulutnya, "aku mendapat sedikit bocoran informasi, tentang apa yang pernah Rey lakukan terhadapmu!" mendengar itu mata Liana melotot lebar, Ivana nampak tersenyum getir menikmati ekspresi lawan bicaranya.

"Apa menurutmu....tubuhmu yang kotor itu masih pantas untuk Nicky!" bisik Ivana, Liana nampak terhenyak, hampir-hampir ia menjatuhkan Nino dari gendongannya, tapi ia sadar yang ada di tangannya bukanlah barang melainkan seorang bocah balita.

"Kau memiliki banyak kecacatan Liana, pertama...masalalumu, lalu kehormatanmu....dan setelah itu...kakimu. Dengan semua itu....apa kau pikir kau pantas bersanding dengan Nicky? Tidak Liana, kau...tidak - lebih - dari sekedar aib untuk Nicky. Jadi sadarkan dirimu dan pergi dari sisi Nicky secepatnya!" seru Ivana menyerobot mengambil Nino dari gendongan Liana lalu pergi meninggalkan Liana yang masih terbujur kaku di depan pintu kamarnya.

Kalimat-kalimat Ivana terus berputar-putar dalam benaknya, nafasnya mulai memburu, wajahnya memerah, ia segera melesatkan diri ke dalam kamar dan menguncinya. Menyandarkan tubuhnya di balik pintu itu, deras airmatanya tak bisa terbendung lagi, berleleran kemana-mana. Rasanya dadanya menjadi sesak hingga ia tak bisa bernapas, tapi semua yang Ivana katakan itu benar. Semua yang ia miliki hanyalah sebuah aib, bagaimana bisa selama ini ia masih mengharapkan cinta Nicky? Sudah tentu semua pria akan lebih memilih wanita seperti Ivana ketimbang yang memiliki cacat hidup seperti dirinya! Ia biarkan dirinya merosot ke lantai dengan isakan pilu.

* * *

Pagi itu Liana tak keluar kamar, bahkan ketika Nicky menunggunya di meja makan untuk sarapan pagi. Biasanya wanita itu akan tetap menyiapkan hidangan meski dalam keadaan marah atau sedih karena dirinya yang marah, tapi kali ini.....Nicky mulai khawatir maka ia menyuruh Jaya untuk mengetuk pintu kamar mereka. Dan Jaya kembali dengan hampa, untung di ruang setrikaan masih ada baju yang belum sempat di rapikan oleh para pembantunya, jadi ia hanya meminta untuk di setrika lagi saja sebelum memakainya.

Akhirnya Nicky berangkat ke kantor dengan perasaan yang tak menentu, beraduk, ia masih marah melihat kemesraan Liana dan Rizal di dalam foto itu, tapi ia juga merasa bersalah karena semalam tak menolak ciuman Ivana. Tapi sekarang posisinya siapa yang salah? Ia sendiri bingung menentukan apakah dirinya memang bersalah karena tidak memberikan perhatian lebih kepada Liana seperti yang Brian katakan sehingga Liana mendapat perhatian itu dari Rizal? Atau memang Liana yang tak bisa menjaga diri sebagai istrinya? Kepalanya mulai terasa berdenyut-denyut, ia memijitnya pelan seraya terus berkonsentrasi di jalanan.

Liana baru keluar kamar ketika mentari mulai merangkak naik, tak banyak yang ia lakukan karena pikirannya sedang kacau. Ia lebih sering menghabiskan waktu di taman bunga, dan entah apa yang ia lakukan?

Selama di kantor Nicky juga hilang konsen, bahkan ia hampir mengacaukan meeting penting. Tapi untunglah semua bisa kembali terkendali.

"Kau sedang ada masalah Nicky, kenapa denganmu hari ini?" seru Mela saat di ruangan bos besarnya itu, "tidak apa-apa!" sahut Nicky yang masih memejamkan mata, kepalanya ia senderkan di sandaran kursi, sedikit mendongak ke atas. Mela memperhatikan wajah pria itu lekat,

"Aku hanya heran, tumben sekali kau tidak profesional. Biasanya masalah sebesar apapun tak pernah mempengaruhi pekerjaanmu?"

Nicky membuka matanya perlahan, terlihat Mela sekarang berdiri di depan mejanya, memandangnya dalam, "belakangan terjadi masalah besar Mey, dan bukan hanya satu, secara bersamaan, aku hanya.....sedikit kacau!"

"Bisa ku lihat itu, tapi cobalah untuk tenang. Seperti dulu, kau selalu mampu menghadapi masalah dengan kepala dingin, dan di sini kami siap membantu kapan saja!"

Masalah kantor ok, banyak yang akan membantunya, tapi masalah pribadi, bagaimana? Haruskah ia meminta bantuan mereka, tidak kan?

Seperti malam sebelumnya, Liana duduk diam di meja makan hingga jarum jam menunjuk angka 10, kali ini di jam itu ia beranjak ke belakang. Duduk di depan kolam renang, dan Rizal mengamatinya dari jauh. Beberapa pembantu sudah mulai beristirahat, hanya orang-orang yang bertugas jaga malam yang masih terjaga, meja makanpun sudah di bereskan. Paling jika Nicky pulang ia akan membuka pintu dengan kunci serep jika pulang tengah malam.

Akhirnya Rizal menghampirinya saja, "Kau tidak akur lagi dengan Nicky sejak pembicaraan kita sore itu, apakah terjadi sesuatu tanpa sepengetahuanku?" tanyanya. Liana tak menjawab, "jika benar mungkin aku bisa menjelaskannya kepada Nicky,"

"Aku justru tidak tahu apa yang terjadi, Jal!" sahutnya tiba-tiba, "sore itu sepertinya Nicky memang marah padaku, entah karena apa, apakah mungkin dia melihat kita berdua di taman, tapi kita hanya bicara kan?"

"Apa dia tidak mengatakan sesuatu?"

Liana menggeleng, Ivana mengamati mereka berdua di pintu belakang. Wajahnya sedikit kesal, tapi tiba-tiba ia tersenyum melihat adegan di depannya.

"Kau kenapa Li?" tanya Rizal yang melihat Liana memegang kepalanya seraya merintih, "arh...kepalaku sakit!" sahutnya terus memegang sisi kepalanya, lalu tubuhnya seakan hendak ambruk. Rizal segera menangkap tubuhnya, "Liana!" desisnya, tubuh Liana memberat dan tak sadarkan diri.

"Liana!" seru Rizal sekali lagi, ia celingukan lalu langsung saja membawa Liana ke dalam gendonganya, membawanya ke dalam, memasuki kamar utama. Rizal segera menaruh tubuh Liana di ranjang, ia memandang wajah wanita itu dalam seraya menyilakan rambutnya yang beberapa helai menutupi wajahnya. Dan seketika tubuhnya seperti di hantam sesuatu yang berat di bagian punggungnya, ia segera tersungkur di tepi ranjang tak sadarkan diri.

* * *

Lewat tengah malam Nicky baru memasuki rumah, semua orang nampaknya sudah terlelap karena keadaan rumah begitu sepi. Bahkan saat ia membuka pintu kamar Jaya, pria itu terlihat sudah berada di ranjangnya. Lalu iapun segera menuju kamarnya sendiri, ia berharap Liana tak mengunci kamarnya dari dalam seperti sesaat setelah memergoki dirinya tengah berpagutan dengan Ivana.

Tapi pemandangan yang ia temukan di dalam kamar itu sungguh membuat jantungnya berhenti seketika, Liana sedang terlelap dengan lena, di sisinya terbaring Rizal yang kancing kemejanya terbuka semua. Nicky mengepalkan tinjunya dengan geram, matanya terbuka semakin lebar, setelah berfikir keras seharian bahkan sampai larut malam di kantor seorang diri hanya untuk mengumpulkan keberanian untuk bisa meminta maaf soal kejadian semalam, sekarang ia malah menemukan fakta yang jauh lebih menyakitkan. Dadanya seperti di jatuhi meteor, berat, sakit dan panas, nafasnya langsung saja memburu oleh amarah, terlihat Liana bergerak perlahan. Kepalanya ke kanan dan ke kiri pelan, matanya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Wanita itu seperti mengerjap beberapa kali lalu tercekat saat melihat Nicky berdiri memandangnya dengan kilatan amarah yang memuncak.

Ia heran kenapa Nicky menatapnya seperti itu, ia mencoba bangkit tapi tubuhnya menyenggol sesuatu, membuatnya terpaku mendadak, iapun menoleh ke samping. Dimana Rizal masih terlelap dengan baju yang masih menempel di tubuhnya tetapi semua kancingnya terlepas hingga dadanya terekspos dan ikat pinggang terbuka. Mata Liana membeliak semakin lebar, ia segera bergeser menjauh dari tubuh pria itu, lalu kembali menoleh ke arah Nicky. Pantas Nicky menatapnya segarang itu!

"Nicky!" suaranya bergetar saat mengucap nama suaminya, Nicky melangkah lebar ke ranjang, tanpa bersuara ia memungut kerah baju Rizal dan langsung meninju wajahnya keras, membuat tubuh Rizal terpelanting ke ranjang dan sadar seketika itu juga, ia memegang sisi wajahnya yang terasa sakit,

Apalagi ini, pegal di punggung akibat hantaman seseorang yang tak ia ketahui saja masih terasa, sekarang sudah di tambah sebuah tinju di wajah! Rizal mengangkat wajahnya ke sosok di sisinya yang sedang memeluk dirinya sendiri dengan raut ketakutan. Tiba-tiba tubuhnya kembali terangkat, seseorang menarik lagi kerah bajunya hingga dirinya berdiri, ketika ia menoleh ke sosok yang sedang menyerangnya, itu Nicky!

Belum sempat ia berucap sebuah tinju kembali mendarat di wajahnya, tapi kali ini Nicky tak melepaskan tangannya di kerah bajunya, hantaman susulan ia terima di perut, lalu tubuhnya terlempar ke tembok. Liana hanya diam tak tahu harus berbuat apa, karena ia sendiri masih bingung bagaimana ia bisa tidur di ranjang dan Rizal berada di sisinya dengan setengah telanjang.

Nicky masih menyerang Rizal, kali ini Rizal melawan tapi niatnya adalah menghentikan Nicky, "Nicky, dengarkan aku. Aku tidak...," kalimatnya tak tersambung karena kembali sebuah hantaman kembali mendarat di wajahnya hingga tubuhnya terpental ke lantai. Saat Nicky mendekat ia menghentikannya dengan mengajukan tangannya untuk menyetop pria itu, "tunggu Nicky, ini salah paham!" serunya.

Nicky berhenti seketika, "aku tidak melakukan apapun!" belanya lalu menoleh ke arah Liana yang ketakutan, "Liana, kau tidak perlu takut. Kita tidak melakukan apapun, percayalah!" seru Rizal. Nicky melirik Liana yang terlihat syok, lalu pandangannya kembali ke Rizal.

"Tidak usah pura-pura suci, Jal. Bukankah dari dulu kau begitu menginginkan istriku!" geram Nicky, Rizal membelalak. Lalu ia berdiri di atas kakinya, menatap mata Nicky langsung ke dalam. Lalu ia melirik ke tempat Liana berada dan kembali ke Nicky.

"Ya, aku memang mencintai Liana. Dan aku sangat menginginkannya!" akunya, baik Liana maupun Nicky tercengang dengan pengakuan Rizal.

"Tapi tidak ada sedikitpun niat, aku....bertindak curang!" tegasnya, "aku memang mencintainya, cinta yang bahkan....mungkin tidak bisa kau samai!" sekali lagi Rizal melirik Liana, "tapi aku bersumpah, aku tidak pernah menyentuhnya. Karena aku akan lebih memilih mati....daripada harus menodainya!" geramnya, ia tahu ia memang tak melakukan apapun pada Liana karena dirinya pingsan begitupun Liana.

Rizal membalikan tubuhnya, "ingat Nicky, jika sekali saja dalam hidupmu kau pernah merasa mencintai Liana, jangan pernah mematahkannya, atau....aku akan merebutnya darimu!" tegas Rizal lalu beranjak pergi.

Nicky termangu diam, Rizal baru saja mengancamnya? Ia menyunggingkan senyum getir lalu berbalik menghadap istrinya. Menatapnya tajam, sorot mata Nicky begitu menusuk jantung Liana. Lebih mengerikan daripada sore itu, membuat mata Liana memanas sampai meleleh.

"Kenapa, kenapa Liana?" desisnya geram, Liana hanya diam menahan isaknya. "kau ingin balas dendam padaku?" tanyanya, Liana membelalak, "tapi kenapa harus kau bawa dia kemari?" teriaknya. Liana terkesiap, mulutnya bergetar hebat ketika sebuah suara meluncur, "Nicky, itu.....itu tidak benar. Kami....kami tidak melakukan apapun!"

"Tidak melakukan apapun," potongnya geram, "kalian tidur berdua di sini, di ranjang kita. Apa kau sudah tidak menghargaiku lagi?" lantangnya lebih keras dari sebelumnya, Liana hanya menggeleng dengan leleran airmatanya. Nafas Nicky terengah-engah, wajahnya merah padam, otot-otot di sekujur tubuhnya menegang, mencetak urat-urat di balik kulitnya.

"Nicky!"

"Cukup!" tudingnya, "kau...," Nicky menunjuknya dengan geram, giginya gemeretak. Tapi Nicky tak mengeluarkan apapun lagi dari mulutnya, ia malah berbalik dan melangkah keluar seraya membanting pintu kamar dengan kencang hingga membuat Liana tercekat.

Jaya sudah berdiri tak jauh dari pintu kamarnya, tapi tak ada siapapun selain pria itu. Mungkin teriakan Nicky tadi membangunkan banyak orang, tapi Jaya menyuruh mereka untuk kembali ke kamar masing-masing dan ke tempat mereka berjaga kembali.

"Nicky!" desis Jaya yang saat ini sedang tak ingin jadi penasehatnya, mungkin sebagai sosok seorang ayah saja melihat kondisi saat ini, tapi Nicky segera mengangkat tangannya pertanda ia sedang tak ingin bicara pada siapapun. Lalu ia melangkah ke ruang kerjanya saja.

* * *

Liana duduk terpaku di ranjang, tubuhnya jadi serasa batu. Ia tak mampu bergerak sedikitpun, ia yakin ia tak melakukan apapun dengan Rizal, ia tahu Rizal tidak mungkin berbohong padanya. Tapi bagaimana bisa Rizal tidur di sampingnya, dan bagaimana jika memang terjadi sesuatu?

Tidak, Tidak!

Liana menggeleng keras, ia menutup telinganya seraya menunduk. Kini pundaknya berguncang oleh isak tangisnya, siapa yang akan percaya kalau tidak terjadi apa-apa jika memang keadaannya seperti itu! Kenyataannya ia dan Rizal berada dalam satu ranjang.

Sepanjang sisa malam Liana habisnya dengan di temani airmatanya, sementara Nicky entah sudah berapa banyak wine yang masuk ke dalam perutnya di ruang kerja. Ia sampai tergeletak teler di atas meja kerjanya sendiri hingga pagi. Begitu Jaya masuk, pria itu sedikit tercekat melihat ada beberapa botol kosong berserakan di lantai, lalu ia membawa tubuh Nicky ke kamar miliknya saja, setidaknya kamar itu bisa di gunakan Nicky untuk beristirahat dan membersihkan diri. Bahkan hari itu Nicky tak masuk kantor.

Liana mencoba bersikap biasa di pagi hari, tapi ia tahu semua sikap yang semua orang tunjukan terasa kaku dan aneh, mungkin mereka tahu apa yang terjadi semalam! Nicky tidak muncul untuk sarapan pagi, padahal ia menunggunya di meja makan. Lalu ia menyingkir saja ke dalam kamar, ia tahu Nicky tidak akan keluar jika dirinya masih terlihat berkeliaran di rumah itu.

Nicky menghentikan langkah ketika melihat Ivana sedang bermain dengan Nink di ruang tengah dengan mainan yang berserakan di lantai. Suara tawa bahkan menggelegar dari mulut Ivana ketika putranya tertawa oleh godaannya. Sekilas yang ia lihat adalah Liana yang sedang bermain dengan anak lelaki itu, tapi ia segera menepis bayangan itu lalu menyingkir. Ivana melihatnya, ia ingin mengejar tapi ia tak bisa meninggalkan Nino sendirian. Tapi terlihat Nino sudah mulai mengantuk, maka iapun membuat susu lalu memberikannya pada anak itu dan menidurkannya, setelah susunya habis anak itu segera terlelap. Ivana menidurkannya saja di sana. Kebetulan di ruangan itu ada sofa lebar yang bisa untuk tiduran orang dewasa, jadi cukup aman untuk tidur anak kecil. Ia menaruh Nino di tengah, lalu di kedua sisinya ia taruh bantal agar tidak menggelinding, tapi biasanya anak itu cukup anteng kalau sedang tidur.

Nicky sedang berdiri di bibir teras ketika Ivana menghampirinya, "aku sempat terbangun semalam, maaf...aku tak bermaksud menguping. Tapi teriakanmu cukup kencang!"

Nicky hanya diam tak menyahut, Ivana berdiri di samping pria itu, "aku kan sudah bilang padamu, Rizal itu tidak bisa di percaya.....,"

Liana keluar dari kamar karena ia jengah berdiam diri di dalam kamar saja, tapi ia melihat Nino yang bangkit dari sofa besar di ruang tengah, anak itu kelihatan bingung mencari ibunya lalu menangis karena tidak menemukan ibunya. Sontak Liana segera berjalan ke sana, apalagi ketika melihat Nino merangkat ke tepi sofa, Liana segera mempercepat jalannya yang terseret-seret. Tapi....

"Huaaaa...hua....hua....," teriak Nino kencang, tubuh anak itu sudah tersungkur ke lantai. Liana jadi sedikit berlari, ia tercekat begitu bisa melihat Nino yang menelungkup, menangis kencang, cairan merah tercecer di lantai di dekat kepalanya. Liana membuka mulut lebar, darah juga mengalir dari sisi kepala Nino, segera saja ia menghampiri memungut tubuh anak itu sambil menangis.

"Nino!" ia kebingungan harus berbuat apa, "ya Tuhan....,"

Ivana terdiam ketika seperti mendengar suara tangis bayi yang kencang, "ya Tuhan, itu Nino. Kenapa dia menangis sekencang itu?" seru Ivana, ia pun segera berlari masuk di ikuti Nicky. Langkah mereka terhenti ketika menemukan pemandangan yang cukup mencekat nafas, di sana, Liana duduk bersimpuh memegang Nino yang menangis kencang ketakutan, ada darah di lantai dan juga di kepala anak balita itu.

"Nino!"

---Bersambung.....---

 

• T.B.W.O.A (second novel)

The Wedding #Prologue

Tayang Selasa dan Jum'at

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun