Alisa termenung di dalam selnya, dingin malam kian merebak, menusuk hingga ke sumsum otaknya. Ia sudah meyakinkan dirinya untuk menerima semua ini, tapi entah...kenapa hatinya selalu berontak. Impiannya bukanlah di sini, terperosok ke sini, impiannya ada di luar sana.
Tapi mungkin itu hanya sebuah mimpi, dan akan tetap jadi mimpi, yang hanya bisa bermain di angan-angannya saja. Karena sekarang ia sadar dimana dirinya berada, rasa nyeri kembali menyerangnya di bagian perutnya, ia menutupkan telapak tangannya di sisi perutnya bagian kanan. Terasa sakit saat tersentuh, belakangan lukanya cukup memburuk, dan membuatnya mulai lemah, bahkan sekarang berat badannya juga lumayan menurun. Tubuhnya yang sudah slim sebagai balerina kini jadi bertambah slim. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi sungguh tak mampu. Dinding-dinding pekat menatapnya perih, membuatnya semakin nyeri.
Ruangan rumah sakit tempat Nadine berbaring terasa sepi, wanita itu masih terbaring di ranjang yang sempit, menelentangkan tubuhnya yang molek, di atas sofa terdapat Ratna tertidur pulas. Suaminya Pasha memejamkan mata dengan tubuh di kursi, menelonjorkan kakinya ke depan, kedua lengannya terlipat di dadanya. Selama ini mereka selalu berjaga bergantian dengan Ridwan dan Dewi, untuk berjaga-jaga kalau saja Nadine membuka mata, setidaknya ada seseorang di sisinya.
Jemari Nadine kembali tergerak, kali ini bukan satu gerakan, tetapi beberapa gerakan kecil, dan itu tak hanya terjadi sekali, melainkan beberapa kali. Dan kembali, hanya ranjang dan selimut yang menjadi saksi, menyaksikannya mulai menemukan kembali jiwanya yang telah lama mengembara entah kemana. Sebuah hembusan nafas panjang juga melenguh dari dadanya, tetapi matanya masih terkatup rapat seolah kelopaknya tak mau memencar.
Di sisi lain, Lucas duduk di balkon apartemennya memandangi kerlip lampu perkotaan di dalam keremangan. Lalu-lalang kendaraan yang masih sibuk di jalanan, sudah tentu angannya melayang kepada wanita yang sekarang sedang meringkuk di dalam sel pengap atas dosa yang tak pernah di lakukannya.
Ia tak menyesal mengukuhkan hatinya untuk wanita itu meski ia tahu ia hanya bisa bertepuk sebelah tangan, lihatlah....dia terlihat seperti bidadari yang angun. Dalam keadaan terpojokpun dia masih memikirkan orang lain, masih peduli pada orang lain, dan lebih memilih sebuah derita demi melindungi orang yang keadaannya lebih lemah dari dirinya. Bagaimana dia sekarang, sudah hampir dua minggu sejak kunjungannya yang terakhir, ia tak pernah melihatnya lagi karena wanita itu tak mau menemui siapapun. Setiap hari dirinya datang menitipkan sesuatu, dan yang ia temui hanyalah para penjaga lapas. Padahal ia ingin sekali melihatnya, mungkin memeluknya jika di perbolehkan. Tanpa terasa ada sesuatu yang hangat yang ia rasakan di lengannya, sesuatu yang basah, itu airmatanya, yang jatuh tanpa di sadarinya.
Begitupun keadaan di dalam rumah Ridwan, ia duduk termenung di depan kolam renang. Hampir semua orang di malam itu tak mampu memejamkan mata, untuk saat ini ia belum mampu menata hatinya. Di malam-malam seperti ini ia sungguh merindukan Alisa, anehnya....yang ia harapkan sekarang di sisinya adalah wanita itu, bukan Nadine! Tapi bukan berarti ia tak menginginkan Nadine. Ia juga mencintainya, cukup mencintainya, tapi ia sadar akan sesuatu....
Mengingat mata sembab Alisa ternyata sungguh membuat dadanya sesak, ingin rasanya ia menemuinya, memeluknya dan memberitahukannya betapa dirinya sangat mencintainya. Tapi apakah sekarang pantas?
* * *
Karena tak bisa memejamkan mata maka Alisa memilih untuk solat malam, menangkan hatinya agar dirinya benar-benar bisa menerima semua ini dengan iklas.
Buliran bening mulai kembali mengucur di pipinya, ia tak ingin menangis, tetapi luka di dadanya tak mampu ia seka. Justru semakin hari semakin sesak rasanya, "Ya Allah, engkau tahu apa yang terbaik untukku....., aku sudah mengiklaskan semua ini pada-MU," katanya terisak,