Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tempat Terindah #31 ; Vonis Pengadilan

30 Agustus 2015   15:11 Diperbarui: 30 Agustus 2015   15:11 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Lucas mendatangi rumah Alisa yang masih di kelilingi oleh garis polisi bersama seorang temannya dari kepolisian, berharap bisa menemukan sesuatu yang mungkin akan membantu. Tapi seperti yang sudah lalu, ia tak menemukan apapun. Semua masih sama,

"Kenapa kamu begitu yakin bahwa klienmu tidak bersalah, semua bukti sudah mengarah padanya!"

"Yang kutahu mereka bersahabat, aku tahu Alisa tak mungkin melakukannya!"

"Tapi semua yang kamu lakukan akan sia-sia, Luke. Kecuali....si korban bangkit dari komanya, bukankah proses pengadilannya di percepat?"

Lucas tak menhayut lagi, ia sudah mulai patah arang. Sejauh ini ia tak memiliki apapun untuk bisa membela Alisa.

Sementara, Alisa sedang di pegang oleh beberapa orang di dalam sel. Ia mencoba meronta tetapi ia tak bosa melawan mereka semua, "kamu berani bicara seperti itu padaku, sekarang siapa yang lebih kejam, kamu bahkan tega membunuh sahabatmu sendiri, jangan kamu berani melawanku di sini!" seru wanita itu seraya memukul sisi perut Alisa, seketika Alisa menjerit, karena yang terhantam oleh tinju adalah bekas jahitannya. Tapi wanita itu belum puas rupanya, ia memungut wajah Alisa, sayangnya seorang polisi masuk ke sana.

"Hei, jangan ribut-ribut terus. Jika tak mau di pukul satu-satu!"

Mereka langsung melepaskan Alisa seketika, dan pura-pura duduk ketika polisi itu muncul, Alisa yang bersimpuh segera menyingkir ke pojok seraya memegangi perutnya, "hei, kamu. Ada tamu untukmu!" serunya pada Alisa,

"Saya pak!" sahut Alisa.

"Iya, kamu!"

Alisa bangkit dan keluar ketika pintu sel di buka, ia berjalan mengikuti pak polisi itu, ia sedikit terkejut melihat siapa yang menemuinya.

Lama mereka hanya diam, pemuda itu menatapnya dalam, "boleh aku bertanya?" katanya, Alisa tak menyahut, ia masih bingung kenapa dia menemuinya?

"Ada apa sebenarnya di antara kamu dan Cheryl, aku tidak terlalu tahu banyak, tapi yang kulihat....setiap dia menatapmu, matanya di penuhi amarah! Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Sebelum ku jawab pertanyaanmu, aku ingin lebih dulu bertanya!" sahut Alisa, Ryan menghela nafas menunggu pertanyaan apa yang akan wanita itu berikan.

"Kenapa kau datang kemari?"

Ryan terperangah, ia pikir Alisa akan bertanya yang lain tapi malah pertanyaan seperti itu, tapi sorot matanya meminta sesuatu, dan Ryan tahu itu.

"Mungkin semua orang boleh menganggap Cheryl tidak waras atau jahat, tapi aku mencintainya. Aku tidak tahu apa yang di lakukannya, tapi....hari itu aku menemukannya dalam keadaan yang cukup mengenaskan!"

Alisa terperanjat,

"Aku baru tahu kalau ternyata Cheryl mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan sudah sangat parah!" jelah Ryan, Alisa diam mendengarkan, "aku menemukan di dalam kamarnya, setengah over dosis, untungnya....nyawanya bisa di selamatkan!"

Alisa sedikit tenang mendengarnya, "tetapi....tidak dengan mentalnya," sekarang Alisa melotot, kembali terperangah. "dia seperti sedang ketakutan akan sesuatu, aku tidak tahu apa itu!" Ryan mengeluarkan hpnya, membuka sebuah video dan memperlihatkannya pada Alisa. Apisa pun menerimanya, di dalam rekaman itu terlihat Cheryl dengan rambut yang kusut, matanya kosong, dia memakai pakaian pasien, sedang menggigit kuku jarinya, sesekali mendekap dirinya sendiri. Entah kenapa hatinya perih melihat wanita itu dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

"Aku terpaksa menempatkannya di rumah sakit jiwa, dan aku berharap....dia bisa pulih kembali!" Alisa menatap Ryan, terlihat matanya mengambang merah.

Alisa mengembalikan hp itu pada pemiliknya, "aku membaca berita di surat kabar, tentang kamu, aku berfikir.....mungkin saja.....Cheryl....!" desis Ryan, Alisa menatapnya, dan kilatan di matanya seperti membenarkan apa yang akan di katakannya. "apakah Cheryl datang ke rumahmu saat itu, dia ada di sana?"

Alisa tak menyahut.

"Jawab aku Alisa, Cheryl datang ke rumahmu kan! Apakah sebenarnya...dia yang melukai Nadine?"

Alisa tak menjawab, dengan keadaan Cheryl saat ini ia tak mungkin meminta Cheryl mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ia tahu kenapa Cheryl jadi seperti itu, dulu mereka pernah dekat semasa kuliah. Mereka sama-sama menyukai balet, Cheryl terang-terangan menyatakan suka terhadap Ridwan pada Alisa, sayangnya Alisa sudah lebih dulu menjalin hubungan dengan Ridwan. Saat Cheryl tahu itu, itu adalah awal dari semuanya. Meski Alisa sudah menjelaskan bahwa hubungan mereka sudah di mulai jauh sebelum Cheryl mulai dekat dengan Ridwan, tetapi nampaknya Cheryl tetap menganggap Alisa mengkhianatinya.

Hingga saat ini sepertinya Cheryl masih terobsesi terhadap Ridwan, "kenapa kamu diam, memang dia yang melakukannya kan?" seru Ryan, "Yan, dia atau bukan....saat ini....dia lebih membutuhkan dokter, dan mungkin membutuhkanmu. Lagipula....dalam keadaan seperti itu, dia tidak bisa mengakui perbuatannya bukan. Dan Nadine, juga masih koma!"

"Lalu apa kamu hanya akan diam?"

"Aku sudah menyerahkan semuanya pada yang Maha Kuasa, kalau pun sekarang aku mengatakan yang sejujurnya, itu tidak akan membantu dengan keadaan Cheryl yang saat ini!"

Ryan diam memandang wanita di depannya, "Alisa, jika kamu butuh bantuanku....!"

"Terima kasih, kamu sudah datang dan memberitahukanku tentang Cheryl saja...itu sudah cukup. Setidaknya aku tahu, dia tidak sedang sembunyi!"

"Tapi Alisa....!"

"Aku sudah memaafkannya, tentang semuanya. Dan aku juga ingin titip salam untuknya," airmata Alisa merembes, "katakan padanya, bahwa aku minta maaf...atas apa yang pernah terjadi dulu. Aku juga sudah melupakan semua yang pernah di lakukannya padaku!"

* * *

Lucas menemui Nadine di ruangannya, ia memakai jubah dokter dan masker wajah agar tak di kenali. Ia memandang dalam wajah wanita itu yang masih terlihat pucat, dengan selang di lubang hidungnya. Perlahan ia mendekat,

"Apa kamu bisa mendengarku?" desisnya, tapi ia tahu Nadine tak bisa mendengarnya, "kenapa kamu begitu lemah, membiarkan semua ini terjadi?" geram Lucas,

"Aku mohon bangunlah Nadine, hanya kamu yang bisa membantu Alisa. Aku sudah sangat putus asa, karena aku tak punya apapun untuk bisa membelanya!" tapi Nadine tetap tak bereaksi, Lucas memandangnya bertambah dalam, berharap wanita itu bergerak dan membuka mata.

"Demi Tuhan Nadine, bangunlah jika kamu tidak ingin menyesal!" suruhnya, ia mulai gregetan. "kalau kamu menganggap Alisa sebagai temanmu, maka bangunkan dan selamatkan dia. Jika tidak....aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kamu tahu kebenarannya, sekarang aku hanya bisa mengandalkanmu!" desis Lucas kembali melembut, sekali lagi di tatapnya wajah wanita itu sebelum dirinya beranjak.

Ketika Lucas keluar, jermari Nadine bergerak pelan. Hanya satu gerakan, seolah ia bisa merasakan apa yang ada di sekitarnya. Bola matanya juga terlihat bergerak di balik kantung mata yang terkatup. Ridwan memasuki lobi rumah saki, sementara Lucas keluar dari lift. Tetapi karena Lucas masih memakai jubah dokter dan masker, maka Ridwan tidak mengenalinya.

* * *

Ryan memandang Cheryl dari luar ruangan, dan sekarang saat ini ia bingung. Di depannya ada seorang wanita yang sedang menderita karena perbuatannya sendiri, dan di tempat lain ada seseorang yang harus menerima hukuman dari perbuatan wanita yang ada di depannya. Tetapi Alisa benar, kalau pun ia maju sebagai saksi, ia sendiri tidak memiliki bukti bahwa Cheryllah pelakunya, kecuali Nadine sadar dari komanya.

Ruang sidang sudah penuh, semuanya terdiam. Alisa duduk di kursi terdakwa. Dari semua yang bisa Lucas kumpulkan ternyata memang tak bisa membantu apapun, tetapi ia tetap memberikan pembelaan terhadap wanita itu.

Saat ini Ridwan duduk di kursi sebagai saksi, beberapa pertanyaan di lemparkan oleh jaksa kepadanya. Hingga sampai pertanyaan yang terpenting di sana,

"Anda mengaku bahwa terdakwa pernah mengancam, apakah itu benar?" tanya jaksa penuntut. "iya!" sahutnya. Ponsel Nadine yang berisi pesan ancaman dari nomor Alisa melalui sms juga di serahkan sebagai barang bukti, pesan itu masih belum terhapus. Dan setelah di cek, memang itu berasal dari nomor Alisa.

"Apakah ada saksi saat itu ketika terdakwa mengancam hendak membunuh korban?"

Suasana hening, Ridwan berfikir, apakah itu perlu? Dengan sedikit berat ia berkata, "ada, seorang cleaning service di rumah sakit itu, entah dia mendengarnya atau tidak tidak!"

Keluarga Nadine memang sudah mencari cleaning service tersebut dan akhirnya hari ini juga di datangkan sebagai saksi, "apakah anda mendengar percakapan mereka secara jelas saat itu?"

"Tidak terlalu jelas, tapi memang saya sempat mendengar ancaman itu keluar!" sahut wanita cleaning service yang waktu itu sedang kerja di rumah sakit tempat Sinta di rawat.

Alisa memjamkan mata, tangannya menggenggam erat ujung bajunya. Selama sidang berlangsung dan beberapa pertanyaan di berikan padanya, ia hanya menjawab dengan iya atau tidak. Meski ia tak mengakui saat di tanya apakah benar dirinya yang menusuk Nadine, ia hanya diam saat pertanyaan itu di ajukan padanya, Lucas beberapa kali menyatakan keberatan karena kuasa hukum Nadine seolah menekan Alisa untuk mengakui semuanya, tetapi selalu mendapat penolakan dari hakim.

Akhirnya, tiba waktu yang di tunggu oleh semua orang, jantung Alisa mulai berdegub kencang sekali, ia tahu ia akan di jatuhi hukuman karena semua bukti sudah menjelaskan bahwa dirinya bersalah, di tambah lagi dengan di perkuat kesaksian Ridwan pada malam itu. Ia hanya tak menyangka kalau Ridwan bisa maju menjadi saksi, dan mengutarakan amarah yang dulu pernah ia lontarkan di rumah sakit terhadap Nadine. Itu membuat Alisa kecewa, sangat kecewa. Mata sudah mulai panas, Lucas terus memandangnya dengan rasa bersalah karena tak mampu melakukan apapun sebagai kuasa hukumnya.

Setelah berdiskusi, hakim mulai membuka mulut, "dengan ini pengadilan memutuskan, bahwa saudari Alisa Paramita telah terbukti bersalah, melanggar undang-undang pidana pasal 340 KUHP, tentang pembunuhan berencana yang di lakukan terhadap saudari Nadine Sukma Dewi. Dengan vonis hukuman, seumur hidup penjara!" palupun di ketuk tiga kali oleh hakim pertanda sidang sudsh selesai.

Hampir semua orang tercengang karena Alisa harus mendekam seumur hidup di dalam penjara, terutama Ridwan dsn Lucas. Ridwan tak menyangka kalau ternyata kesaksiannya akan membuat Alisa mendapatkan hukuman seberat itu. Sementara keluarga Nadine senang karena keputusan hakim di anggap mereka sebagai keputusan yang adil.

Alisa mengatupkan matanya lebih rapat dengan sedikit menunduk, meremas ujung bajunya dengan lebih keras mendengar putusan hakim. Matanya mulai merembes basah,

Tidak Alisa, kamu tidak boleh menangis! Kamu harus kuat, kamu harus kuat!

Hatinya menjerit pedih, ia ingin kuat, tetapi tetap saja airmatanya menggelinding di pipinya. Butuh waktu beberapa saat untuk bisa menenangkan diri dan menyeka airmatanya. Lucas menatapnya dalam, ia juga masih terduduk di kursinya ketika semua orang meninggalkan ruangan.

Alisa di giring keluar ruang sidang untuk menuju lapas sekarang, Ridwan berdiri di dekat pintu keluar saat wanita itu melewatinya, Alisa menunduk, ia tahu Ridwan di sana tetapi ia sengaja tak mau menatapnya. Padahal pria itu tak melepaskan matanya darinya hingga masuk mobil polisi, Ridwan berharap Alisa menatapnya, berhenti lalu menamparnya mungkin! Tapi sikap Alisa justru membuat hatinya pedih, sesungguhnya di dalam hatinya ia tak percaya Alisa yang melukai Nadine. Tapi semua bukti memang begitu.

* * *

Lucas berdiri dengan lunglai dari kursinya, berjalan meninggalkan ruangan itu dengan beban yang makin berat. Ia gagal, ia benar-benar gagal, ini adalah kasus pertama yang gagal yang berada di tangannya. Dan ini tentang Alisa, rasanya dadanya sesak sekali sampai mau pecah. Saat keluar ia melihat Ridwan berdiri di teras, mobil yang mebawa Alisa sudah tidak nampak. Ia menghentikan langkah menatap pria itu, benci, marah, kesal, beraduk jadi satu. Saat menoleh ia melihat Lucas menatapnya tajam.

Hanya dalam sekejap Lucas sudah sampai padanya dan melayangkan sebuah tinju di wajahnya hingga ia terpental ke belakang dan jatuh terjerembat, ia memgang pipinya yang lebam akibat pukulan itu. Tetapi ia masih diam tidak berusaha bangkit, nafas Lucas tak teratur, ia tak mengucap sepatah katapun. Kecuali memandang Ridwan lalu pergi menuju mobilnya terparkir.

Ridwan masih diam, ia tidak tahu seperti apa hubungan Lucas dengan Alisa tetapi pria itu sangat memperjuangkan kebebasan Alisa, meski dia sadar dia tak punya apapun untuk itu, sementara dirinya...apa yang telah di lakukannya?

* * *

Alisa termangu di dalam selnya, duduk memeluk kakinya sendiri. Ia ingin mencoba iklas, tetapi dadanya sakit sekali, semuanya sudah hancur, semua impiannya, sekarang ia harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam sel. Rasanya begitu sakit ketika satu-satunya orang yang ia harapkan percaya padanya malah menentangnya di pengadilan, airmata secara perlahan menuruni pipinya, semakin deras hingga ia terisak.

"Mama!" desisnya lirih, "aku butuh mama," tangisnya, "tolong kuatkan aku ma....!" ia menangis tersedu sendirian, hanya di temani dinding yang dingin.

* * * * *

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun