"Tapi apa yang kamu lakukan?"
Airmata Alisa meleleh sekarang, cengkeramannya terhadap jeruji besi itu menguat.
"Kamu tahu....akibat perbuatanmu...., sekarang Nadine sedang sekarat!"
"Dia masih hidup?" tanya Alisa, "kenapa, kamu mengharapkannya mati?" sahut Ridwan, Alisa terdiam. Bukan seperti itu arti pertanyaannya.
"Dokter bilang....., pisau yang menusuknya melukai ginjalnya. Mereka terpaksa mengangkat salah satu ginjalnya," Alisa kembali terperangah, ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya,
"Tetapi.....dia membutuhkan donor ginjal yang cocok untuk bisa bertahan hidup!"
Perlahan tangan Alisa terlepas dari mulutnya, "jika tidak....dia tidak akan bertahan sampai besok!" lanjut Ridwan. Airmata Alisa menetes kembali, "bukankah....golongan darahmu juga A plus!" tambah Ridwan, perlahan Alisa menatap pria itu. Sekarang ia mengerti kenapa Ridwan menemuinya, dia datang karena Nadine membutuhkan ginjalnya, bukan karena ingin mengunjunginya. Airmatanya bertambah deras, tetapi ia segera menghapusnya. Ia tak ingin menjadi selemah itu,
Ia menyeka airmata yang tersisa, meski sebenarnya masih ingin mengalir. Tetapi ia menahannya, dan ia kembali menatap Ridwan, "jika ginjalku bisa membuatnya bertahan hidup, aku bersedia mendonorkannya untuk Nadine!"
"Kamu memang bertanggung jawab atas nyawanya!"
Alisa tak lagi menyahut, kalimat terakhir Ridwan cukup menyudutkannya. Cukup membuktikan bahwa pria itu benar-benar percaya bahwa dirinya yang bersalah, apakah dia sudah tak mampu lagi membaca matanya? Sehingga dia juga berfikir kalau dirinya bisa menjadi sekejam itu, membunuh sahabatnya sendiri?
Alisa mengangguk tetapi sebutir airmata kembali menetes. Rasanya cukup sakit karena pria itu tak cukup mempercayainya, sekuat tenaga Alisa menahan tangis yang sesungguhnya sudah ingin meledak.