Saat meeting berlangsung hp Nicky berdering, ia sengaja tak mematikannya untuk berjaga-jaga. Iapun segera mengangkatnya karena yang muncul nomor rumah.
"Ya!"
......
"Apa?"
Sekujur tubuhnya mendadak jadi lemas, ia bahkan hampir roboh jika saja Daren tidak segera bangkit dan menopangnya.
"Nicky, ada apa?"
Liana duduk di samping ranjang yang di atasnya terbaring William, matanya sembab. Tadi, ia menemukan pria tua itu sedang sekarat di kamarnya. Kata dokter serangan jantung yang di alaminya kali ini cukup hebat, ternyata belakangan kondisi William memang cukup nenurun tapi orang tua ini selalu berpura-pura dalam keadaan yang sehat.
Nicky berhambur ke ruangan itu, kakeknya masih belum sadarkan diri. "Liana bagaimana keadaan kakek?" tanyanya cemas. Wanita itu hanya memandangnya dengan deraian airmata lalu menggeleng pelan. Tangisnya pun pecah, "maafkan aku...., aku tidak menjaga kakek dengan baik!" Nicky menatapnya. Guncangan di pundak wanita itu semakin kuat. Iapun melangkah menghampirinya, meraih kepala istrinya ke dalam dekapannya.
"Maafkan aku!" desis Liana lagi, "jangan salahkan dirimu!" sahut Nicky. Setelah Liana sedikit tenang, Nicky menemui dokter. Saat ini kondisi kakeknya ssngat lemah, ada kemungkinan dia tidak akan bertahan lama. Sejujurnya ia juga belum siap jika harus kehilangan kakeknya sekarang, bagaimana ia akan menjalani semua ini?
Bagaimana ia akan bersikap terhadap Liana tanpa nasehat kakeknya? Ia berjalan lemas ke ruangan kakeknya, tapi ia malah berhenti di depan pintu. Di lihatnya Liana menyandarkan kepalanya di tepi ranjang, matanya terpejam dan pipinya masih basah. Jaya memandangnya tak jauh darinya.
"Kau harus kuat t...., tn. Willy mempercayakan tanggungjawab yang begitu besar di pundakmu. Aku akan selalu disisimu, semampuku!" janjinya.