"Auw!" seruku ketika seseorang menepuk sisi kepalaku dengan sesuatu, aku pun menoleh dengan memegang kepalaku itu. Sebuah buku tebal di tangannya itulah yang menjadi senjata untuk menyerang kepalaku barusan.
"Kamu...., kenapa kamu memukul kepalaku, kalau nanti aku jadi koplak gimana?" kesalku.
Sebuah tawa malah keluar dari mulutnya yang tergolong seksi, sebuah tawa yang jauh lebih gurih dari soto pak No di perempatan itu.
"Sebelum aku pukul, aja kepala kamu emang udah koplak!"
"Apa?"
"Ngapain kamu sendirian bengong di sini?"
"Bukan urusanmu!"
"Nanti di cium hantu pohon baru tahu rasa!"
"Paling mereka udah kabur duluan waktu lihat aku nyamperin kesini tadi!"
Dia tertawa lagi, nangkring di sisiku seraya memberantaki rambutku. Belakangan kami memang terlihat sering bersama, aku menikmati tawanya. Membuatnya tambah guanteng. Ya jelaslah...., emang dia tergolong salah satu yang paling ganteng satu sekolah belakangan. Namanya Devan, dia setengah bule. Anak baru di sekolahku, bukan pindahan dari Amerika atau inggris atau semacamnya. Tapi....dia pindahan dari Banjarmasin.
Kok Bisa?
Ya bisalah, jangankan yang setengah bule atau yang biasa di sebut blesteran. Yang bule murni aja sekarang udah menjamur sampai ke pelosok! Sementara aku,
Aku terbiasa di panggil kodok lapuk di sekolah ini, tahu kenapa? Itu karena aku yang paling nggak laku di sekolah ini. Seumur-umur aku nggak pernah ngerasain yang namanya pacaran, padahal aku nggak jelek tuh! Soal tampang? Aku nggak kalah cantik dari Kristen Stewart, apalagi body. Juga nggak kalah seksi dari Megan Fox, he...he....
Tapi....kenapa nggak ada yang naksir yak? Apa karena dua kaca bulat yang selalu terpasang di depan mataku ini? Apa salahnya jika aku berkaca mata silinder, daripada nggak pake malah pandangan aku kabur!
Kehadiran Devan merubah hidupku sekaligus predikat kodok lapuk yang selama ini aku sandang. Jantungku berdegup begitu kencang ketika dia memilih untuk duduk di sampingku saat makan di kantin daripaada meladeni rayuan-rayuan gombal Elie dan Irene. Dua gadis itu, huh....paling populer di sekolah.
"Boleh aku duduk di sini, kosong kan?" tanyanya, aku hanya terbengong menatapnya tersenyum padaku. "hei!" serunya lagi. "i-iya!" sahutku. Sejak itulah kami terlihat sering bersama, meski kami lebih sering berdebatnya ketimbang akur.
* * *
Suara bising kendaraan yang lalu-lalang menjadi saksi malam paling bersejarah dalam hidupku. Kami jalan kaki sepulang nonton film di bioskop, Devan menahan lenganku untuk menghentikan langkah kami. Dia memungut kedua tanganku, menggenggamnya erat dalam tangannya yang hangat kaya' selimut listrik. Menatapku dalam, membuat sekujur tubuhku meleleh. Jatungku berperang kencang menunggu apa yang akan terjadi.
"Putri Amalia Santika," dia menyebut namaku dengan lembut, "bersediakah kamu jadi pacar aku?"
Gubrakkkkk!
Aku mau pingsan rasanya. Eh, nggak deng....aku malah jadi patung mendengar pernyataannya. Diam tak percaya, kok bisa si Devan nembak aku? Rasanya aku mau nampar pipiku sendiri untuk memastikan kalau aku nggak lagi mimpi. Dengan malu-malu ku anggukan kepala seraya menjawab iya. Masa' aku mau nolak, kan yang nembak aku emang cowo yang aku harapkan. Pucuk di cinta ulampun tiba namanya.
Awalnya hubungan kami baik-baik saja, tetapi suatu hari di pesta ulangtahunku terjadi hal tak terduga yang begitu menusuk hatiku. Di tengah pesta ulangtahunku yang di rayakan sederhana di sebuah caffe, seorang wanita paruh baya menghampiri Dev dan menyapanya mesra. Meski gugup dan kikuk Dev menymabutnya hangat, hal yang membuatku malu sampai ke ubun-ubun. Kenapa? Karena itu terjadi di pesta ulangtahunku, di depan teman-temanku. Saat ku tanyakan padanya siapa wanita itu, malah wanita itu yang menyahut.
"Oh....jadi kamu sekarang sudah berubah selesa, makanya kamu mencoba menjauh dariku?"
Apa maksudnya, aku tak mengerti!ternyata wanita itu pernah punya hubungan dengan Dev. Jantungku rasanya seperti di tembus dengan panah beracun, membuatku sesak bernafas. Sebelumnya aku memang sempat mendengar isu kalau Dev itu seleranya tante-tante, ku pikir itu hanya lelucon makanya ku anggap angin lalu. Tapi ternyata....
"Aku memang sempat menjalin hubungan dengan tante Rury. Dan aku tak menyangka kalau kami akan bertemu lagi di sini ...... !"
Setelah Dev ceritakan semuanya padaku, hatiku rasanya melebur. Mataku memanas dan akhirnya meleleh, deras sekali.
"Itu artinya tante Rury bukan satu-satunya?"
"Iya!"
Tangisku semakin menjadi, aku tak sanggup lagi. Dev tak hanya menjalin hubungan dengan para tante kesepian itu, tetapi juga beberapa di antaranya dengan sesama jenis. Kenyataan yang membuat hatiku semakin hancur. Lalu aku, selama ini apa? Hanya mainankah? Hanya karena aku tak pernah pacaran bukan berati aku bodoh kan, tapi mungkin aku memang bodoh karena jatuh cinta pada Dev.
"Kamu sudah tahu semuanya, sekarang terserah kamu. Aku tidak akan memaksa untuk kita bisa melanjutkan hubungan ini, tentu saja. Gadis baik-baik seperti kamu tidak akan mungkin menjalin hubungan dengan cowo macam aku kan?" akunya.
"Bagaimanapun, terima kasih!" dia berterima kasih padaku? "terima kasih karena kamu pernah memberiku kesempatan untuk mengisi hari-harimu. Terima kasih untuk tawa yang kamu bawa dalam hidupku, dan terima kasih...., karena saat bersamamu aku merasa memiliki hidup yang normal seperti yang lainnya!"
Hatiku perih mendengar penyataannya itu, tapi rasa sakit ini sudah menembok. Tebal dan keras, dan rasanya tak mau tahu. Mata kami masih berpagutan, "aku sayang sama kamu!" itu kalimat terakhirnya sebelum kami benar-benar berpisah. Dev memutuskan untuk kembali ke Banjarmasin, karena di sini dia lebih tak punya tempat. Keadaan kembali seperti dulu, tidak! Malah lebih parah. Teman-teman kembali mencemoohku, terutama dia. Dan predikat si Putri Kodok Lapuk kembali aku sandang. Aku tak mempermasalahkan hal itu, yang sekarang menganggu adalah.....
Aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku dengan perginya Dev, sebagian dari jiwaku musnah bersama kepergiannya. Dia pergi dengan mengantongi separuh nafasku, kini....di setiap aku memandang aku selalu melihatnya. Setiap ku pejamkan mata, suaranya terdengar jelas di telingaku. Aku tak bisa berfikir jernih kecuali memikirkannya, bahkan papa pernah ku panggil Dev ketika membuyarkan lamunanku. Rasanya, aku jadi gila tapi aku tidak mau masuk rumah sakit jiwa.
Akupun mulai bangkit setelah berfikir keras, aku mulai mengerti kenapa Dev tak menceritakan masalalunya padaku. Masalalu seperti itu....
"Ya Tuhan....., apa yang aku lakukan? Seharusnya aku membantunya, bukan malah membencinya atau menjauhinya....!"
* * *
Masa orientasi mahasiswa baru itu biasa terjadi kan, tetapi kalau setiap hari telat rasanya jarang terjadi.
"Auw!" seruku ketika tubuhku terjerembat ke bumi, dengkul dan telapak tanganku jadi panas dan perih. Aku pun menarik diri hingga terduduk seraya meniup-niup dengkulku. Sebuah tangan tersodor di hadapanku, tanpa menoleh orangnya aku pun menyambut tanganku itu hingga berdiri di atas kakiku sendiri. Saat itulah mata kami kembali beradu. Lama kami diam saling menatap, berpelukan melalui bahasa mata. Dan akhirnya....
"Putri!"
"Dev!"
Kami pun duduk di pinggiran lapangan saat break, susana masih hening padahal kicauan teman-teman terdengar meracau di sekitar. Dan diaah yang memecah kesunyian di antara kami lebih dulu.
"Jadi, kenapa kamu kuliah di sini. Bukannya kamu bilang mau masuk IKJ saja?"
"Karena aku mau bersama seseorang!" sahutku, pandangan kami kembali menyatu. "seseorang yang membuatku kehilangan sebagian dari diriku saat dia pergi!"Â jelasku. Dia masih diam, tak menyahut.
"Dev, maafkan aku!"
"Apa?"
"Aku belum sempat minta maaf karena dengan egoisnya aku sudah menilaimu secara kejam. Semua orang pernah punya masalalu kan, entah itu hitam atau putih. Dan aku nggak mau menilai kamu hanya dari masalalu kamu saja!"
"Putri...!"
"Bisakah kita menyambung tali yang pernah putus? Mungkin tidak akan sempurna, tapi kita bisa mengikatnya bersama-sama agar lebih kuat!" tawarku.
Kami kembali di selimuti keheningan, dia menatapku dengan harapan-harapan yang dulu pernah ia tatapkan padaku.
"Kamu yakin, tidak keberatan punya pacar seorang gigolo?"
Aku tersenyum tipis, "man-tan kan, asalkan kamu tidak diam-diam di belakangku menemui tante Rury lagi. Kalau iya....!"
"Terima kasih!" potongnya, ia memberiku senyuman yang sangat aku rindukan selama ini. Lagi-lagi kami terjebak situasi ini, hanya bisa diam berpandangan menikmati wajah satu sama lain.
"Auw!" aku kembali menjerit ketika hidungku terasa sakit, Dev mencubitnya kencang lalu melarikan diri. Ku pegang hidungku yang tidak terlalu mancung itu alias standar seraya menatapnya yang sedang meledeku seperti dulu. Aku pun geram dan mengejarnya, dan.....tidak akan ku lepaskan lagi. Itu saja.
* * * * *
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H