Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Price of Blood #Part 21

25 April 2015   23:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:40 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Part 21


Aksi baku tembak masih berlanjut, beberapa mayat sudah menggelepar dengan tubuh berlubang. Dengan adanya Rocky atau sebut saja Budi sekarang, meski nama itu cukup janggal terucap dari lidahnya tetap saja Danny memanggilnya dengan nama aslinya sekarang. Pria itu cukup membantunya saat ini, ya....setidaknya dirinya tak sendiri.

Tak terlalu lama untuk melumpuhkan mereka semua, keduanya sudah menguasai derah pos kedua.

"What next?" tanya Budi.
"Aku akan lanjut dan ku pikir....kau tinggal di sini!"
"Apa?"
"Aku butuh seorang sniper untuk melindungiku masuk, kau bisa lakukan itu kan?"
Budi terdiam, ia melihat ke atas menara. "ok, tak jadi masalah. Tapi jika kau kerepotan di dalam, mungkin aku juga bisa membantu!"
"Aku akan menghubungimu jika perlu nanti!"
"Jika perlu!" desis Budi mencibir,

Beberapa orang memasuki ruangan tempat Sammy berada, anak lelaki itu langsung bersiaga. Ketika orang-orang itu mendekatinya ia mencoba melawan. Kebetulan ikatannya sudah terbuka dengan pisau yang ia selipkan di dalam sepatunya, sebelumnya ia bahkan mencoba mencongkel pintu sayangnya, pintu itu hanya bisa di buka dengan menggunakan kode dari luar. Karena jumlah lawannya cukup banyak, Sammy sedikit kewelahan meski sebenarnya ia juga bisa mengalahkan mereka semua. Tapi saat dirinya mencoba meninju salah seorang, yang lain menangkap lengannya dan langsung menyuntikan sesuatu pada tubuhnya. Sammy menendang orang itu, tapi akibat dari suntikan itu membuatnya limbung. Matanya mulai kabur dan kepalanya berputar, ia masih mencoba melawan hingga kena pukul dan tak sadarkan diri.

Mereka membawanya keluar dari ruangan itu dan memindahkannya ke ruangan lain. Menidurkannya di sebuah ranjang. Ruangan itu penuh dengan perlatan, profesor Kemal mendekati tubuh Sammy yang tak sadarkan diri. Ia memandangi wajah anak itu, mengingatkannya pada seseorang.

Ferian memasuki ruangan itu, mendekati profesor Kemal.
"Apa lagi yang kau tunggu, lakukanlah?"
"Tapi Ferian, kita bahkan belum tahu apa efeknya nanti!"
"Bukankah kita sudah melakuan uji coba berulang kali!" kesalnya, "lalu apalagi yang kau takutkan?" tambahnya. "ujicoba yang kita lakukan terhadap binatang dan orang dewasa, bukan anak-anak!"
"Kau bisa mengatur dosisnya kan, nyatanya semua tes berjalan lancar. Aku ingin....kau lakukan itu sekarang!" suruhnya.

Ferian memandang Sammy, "anak ini bukan anak sembarangan, dia lebih kuat dari dugaanmu. Aku yakin ini akan berhasil. Lakukan sekarang atau.....kau mau keluargamu yang menanggung akibatnya?" ancam Ferian.

Ferian memang menahan keluarga profesor Kemal sebagai jaminan agar orang itu bersedia bekerja sama dengannya selama ini. Selama profesor Kemal menurutinya, keluarganya akan baik-baik saja. Tapi ia sempat kehilangan salah satu putranya karena pernah menolak keinginan Ferian beberapa tahun lalu dan ia tak ingin hal itu terulang.

*****

Danny mulai mengendap tak jauh dari gerbang pintu masuk lab itu, penjagaannya lumayan juga. Dari atas menara Budi sudah membidik beberapa cctv di jalan Danny. Ia juga mencoba mengamati, mencari jalan masuk lain selain melalui pintu utama. Danny bahkan sudah berpesan, jika keadaannya sudah memungkinkan maka Budi harus menghubungi Jenderal Jonan yang memang sudah siaga di Markasnya.

Jenderal Jonan sendiri mondar-mandir tak jelas menunggu kabar dari Danny. Sepertinya temannya itu tak memakai alat komunikasi yang sudah di persiapkan. Bahkan mobil yang sudah di beri alat pelacakpun di tinggalkan di hutan.

"Bagaimana Jendral, belum ada kabarkah?" tanya Kapten Radi.
"Sepertinya kita tidak bisa menunggu terlalu lama, persiapkan saja semuanya. Kita berangkat 5 menit lagi!" suruhnya,
"Siap Jendral!"

"Bagaimana, kau sudah menemukan jalan masuk?" tanya Danny,
"Aku masih mencari!"
"Bisakah kerjamu di percepat, anak-anakku bisa saja sedang sekarat di dalam!" marahnya, "jangan terlalu jadi pemarah, nanti kau cepat ubanan!"
"Bukan waktu yang tepat untuk bercanda!"

Tawa keluar dari mulut Budi yang masih mencoba mencari celah dari atas menara, ia melihat seseorang yang sedang memantau dari atas gedung. Ia pun membidik orang itu tepat di kepalanya hingga tersungkur tanpa suara.

"Jika kau bisa memanjat, pergilah ke kiri dan naik. Sepertinya kau bisa masuk dari atas, aku di belakangmu!"
"Sial, kenapa kau menyuruhku jadi serangga?"
"Itu lebih aman ketimbang kau harus membuang tenagamu bertarung dengan para bajingan di pintu masuk!"

Meski mengomel Danny tetap mengikuti instruksi pria itu, soal memanjat.....jangan di tanya. Danny juga ahli, apalagi itu hanya tiga lantai. Budi juga melumpuhkan seseorang lagi di atap, tak tanggung-tanggung ia membidik beberapa orang pula yang sedang berjalan di samping kiri. Dimana Danny sedang berusaha naik, jika ternyata musuhnya banyak begitu mereka memang membutuhkan bantuan lebih. Tapi itu hanya bisa di lakukan jika Danny sudah masuk dan tahu bahaimana keadaan anak-anaknya.

Danny sampai juga di atap gedung itu, ia sedikit mengendap. "bagaimana posisiku?" tanyanya pada Budi, "clear, ada lubang udara tak jauh darimu. Di ujung tempat itu juga ada akses pintu masuk, tapi sebaiknya jangan ambil jalan itu jika kau tak mau repot!"

Danny berjalan ke arah lubang udara itu dan membukanya, ia memasukan dirinya ke dalam. Semoga saja muat, tubuhnya meluncur turun satu lantai. Lalu ia harus melata untuk bisa menyusuri ruangan sempit itu hingga tembus ke suatu koridor, ia pun keluar dari sana. Celingukan setelah mendarat di lantai, ada kamera cctv di ujung. Ia pun merapat ke tembok, mencabut senjata apinya dan memasang peredam suara lalu membidik kamera itu. Ia mulai melangkahkan kaki, tapi ada suara langkah kaki dan suara dua orang pria. Danny segera berhenti, lalu dengan cepat ia melangkah seraya menodongkan senajatanya. Ketika dua orang itu muncul ia langsung menembaknya tepat di kepala hingga membuat keduanya tersungkur seketika. Ia tak menghiraukan dua mayat itu, ia langkahi saja.

Sharon juga berhasil memindahkan ikatannya ke depan dan membukanya dengan gigi. Ia mencoba menggedor pintu, membuka kunci dengan penjepit rambutnya tapi tetap saja tak berhasil. Tapi ia tak menyerah, ia terus memutar-mutar gagang pintu. Memukul-mukul daun pintunya dan berteriak. Danny yang melewati tempat itu berjalan dengan hati-hati, setiap ruangan yang ia lalui ia intip melalui kaca kecil yang ada di pintu. Hingga ia melalui ruangan dimana Sharon berada, kebetulan gadis itu sedang menyandarkan ujung dahinya di kaca. Mata Danny membelalak seketika, "Sharon!" desisnya. Tapi gadis itu tak mendengarnya, maka Danny memutar gagang pintunya. Membuat Sharon mengangkat kepalanya seketika. Ia begitu antusias melihat papanya.

"Papa" serunya meski Danny tak bisa mendengar suaranya, ia tetap berusaha berbicara agar papanya bisa mengeluarkannya. Danny tahu pintu itu hanya bisa di buka dengan kode, jika ia merusaknya pasti alarm akan berbunyi. Ia memandang putrinya dan meletakan tangannya di kaca seraya berdesis, "tunggu sebentar!"

Sharon mengangguk, ia mengerti perkataan papanya meski tak mendengar suaranya. Tapi begitu Danny menoleh, beberapa orang melihatnya dan langsung menembaknya. Ia pun menghindar, hal itu terlihat oleh Sharon dan membuatnya panik. "papa!" sekali lagi ia berteriak.

Danny melawan, salah satu lawannya itu memberitahukan yang lain kalau ada penyusup melalui HT. Sehingga membuat para penjaga di semua tempat mulai siaga dan mencari. Budi yang masih mengamati dari tempatnya bisa melihat pergerakan dari kaca-kaca jendela. Ia pun membidik beberapa orang dari tempatnya tanpa beranjak, karena sepertinya Danny akan butuh bantuan maka ia pun menghubungi Jendral Jonan yang memang sedang siaga untuk berangkat.

"Siapa kau?" tanya Jonan,
"Tidak penting siapa aku, yang jelas aku bersama BrigJend Hatta!"
"Bagaimana disana?"
"Sepertinya genting!" sahutnya seraya membidik beberapa orang, "maaf, aku sedang sibuk!" tambahnya,

Di dalam gedung itu pun terjadi baku tembak, kalau sudah begini tak ada jalan lain. Ia pun kembali ke ruangan dimana Sharon di tahan. Menembak kuncinya sehingga pintu bisa terbuka, "papa!" seru Sharon memeluknya dengan segera. Tapi ia juga sadar sekarang keadaannya cukup genting hingga iapun melepaskan pelukannya.

Danny membawa Sharon bersamanya, "dimana Sammy?" tanya Danny, "di sebuah ruangan, jika masih di sana!" sahutnya. "aku senang papa menemukan kami!"
"Tentu aku akan menemukan kalian!" sahutnya seraya berjalan dengan cepat, Sharon memegang baju papanya dari belakang seraya ikut celingukan. Ia memandang pistol di pinggang papanya, "papa!" desisnya lirih, "bolehkan aku pegang satu?"
"Pegang apa?"
"Senjatamu, ku rasa aku akan butuh. Dan papa pasti akan butuh bantuan!"

Danny menoleh ke arah putrinya, ia diam sejenak sebelum memberikan satu untuk gadis itu. "ini otomatis, jadi kau harus hati-hati!" pesannya. Sharon tersenyum girang seraya memungutnya, "jangan khawatir, aku sering main xbox!" sahutnya.
"Ini bukan game!" geram Danny. Tapi seketika ia sedikit merunduk karena ada serangan, sebelum ia membalas Sharon sudah menembak orang itu duluan, dan tepat sasaran. Danny melirik putrinya, "bidikan bagus!" pujinya.
"Aku kan putri papa!" sahut Sharon.

Mereka kembali berjalan mengendap dengan cepat, derap kangkah kaki terdengar dan keduanya sudah sangat siaga untuk melawan. Posisi mereka saling memunggungi, mata Danny berputar ke segala arah untuk antisipasi. Dengan posisi seperti itu mereka bisa melihat musuh yang datang darimana saja. Sementara Budi ikut turun, setelah ia melumpuhkan beberapa panjaga dari pintu belakang iapun memasuki tempat itu. Baku tembak pula dengan beberapa orang, sementara Ferian sedang menunggu reaksi yang terjadi dengan Sammy.

Anton mulai panik, ia pikir tempat itu tidak akan mudah di datangi penyusup. Ia mengeluarkan banyak uang untuk membuat tempat itu super ketat, tapi nyatanya sekarang malah terjadi serangan. Ternyata orang-orang yang di bayarnya di setiap jalan menuju ke lab itu hanyalah segelintir amatiran sehingga dengan mudah di kalahkan hanya oleh satu tentara. Sepertinya Danny Hatta memang bukan sembarang prajurit seperti yang ia dengar selama ini, pantas saja intelijent dunia memakainya. Ia di kawal beberapa orang dengan senjata lengkap menuju tempat penyimpanan serum itu, ia harus bisa membawa sebagian besar serum keluar dari tempat itu, di basement ada mobil supercepat yang bisa ia gunakan untuk kabur melalui akses jalan rahasia bawah tanah yang di bangunnya beberapa tahun terkahir ini. Persetan dengan Ferian dan dendam gilanya.

**********

The Danny Hatta Course Trilogi ;

# Price of Blood (the last novel)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun