Part 16
Masih malam yang sama, Danny melirik arlojinya seraya mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Jam 3.20 dini hari, ia mendapat informasi bahwa satu setengah jam yang lalu ada pesawat jet pribadi atas nama Anton Surya Permana. Seorang pengusaha sukses di bidang Pertambangan baru saja melesat menuju kota Aceh. Anton sendiri ikut dalam penerbangan itu, siapa saja awak dan penumpangnya mereka masih belum bisa memastikan. Tapi dugaan kuat bahwa Sharon Azalea Hatta dan Samuel Hatta Junior ada di sana juga.
Saat ini Danny sedang dalam perjalanan ke Lanud Halim Perdana Kusuma untuk mengambil penerbangan jam 4 pagi tujuan Aceh. Ia merasa bersyukur karena kedua anak itu tak di jadikan kelinci percobaan oleh orang yang masih ia terka identitasnya. Tapi bajingan yang bernama Anton ini terlibat, apa hubungannya dengan dirinya? Seumur hidup ia merasa tak pernah punya urusan dengannya atau pun keluarganya.
Karen menyikap dirinya sendiri di atas ranjang, tangannya mencoba meraih seseorang yang bau parfumnya masih tak berubah hingga sekarang. Tapi yang ia rasakan hanyalah sprei dingin yang di kuasai AC, iapun membuka matanya perlahan. Melihat sekeliling ruangan itu, Danny sudah tidak ada di sampingnya tapi aroma tubuhnya masih bisa ia rasakan.
Semalam setelah terlibat percakapan panjang, Danny memutuskam untuk membawa dirinya ke rumah pria itu karena di sana lebih aman. Sesampainya di rumah Danny mereka masih terlibat pembicaraan bahkan sampai bertengkar, hingga akhirnya Danny harus menenangkannya dengan sebuah ciuman yang berakhir kemesraan.
Ia bangkit dan membungkus tubuhnya dengan selimut, melirik jam dinding yang jarum pendeknya hampir mendekati angka 4. Lalu matanya berputar hingga menemukan hpnya yang tergeletak di sampingnya dengan sebuah tulisan di secarik kertas. Ia memungut kertas itu,
Buka rekaman terakhir!
Itu isi tulisan yang bertengger dalam secarik kertas yang Danny tinggalkan, ia masih ingat betul tulisan tangan pria itu. Sangat rapi dan indah. Karen meletakan kertas itu di kasur dan memungut hpnya, mulai membukanya hingga menemukan rekaman terakhir yang jam dan tanggalnya baru di ambil sejam yang lalu. Iapun membuka rekaman itu, wajah Danny muncul di sana. Dia sedang duduk.
Hai,
Lama dia terdiam sebelum melanjutkan kalimatnya.
Mungkin aku tidak pantas minta maaf padamu, aku tahu aku banyak menyakitimu. Selama kita bersama dulu, tapi kau tidak pernah marah padaku meski kau tahu apa yang ku lakukan!
Danny kembali diam.
Mungkin aku pernah berkata.....bahwa aku tak pernah bisa mencintaimu, meskipun aku sudah mencobanya. Tapi aku ingin kau tahu sesuatu, saat Sarah masih hidup. Terkadang aku memikirkanmu dan aku tak pernah memberitahukannya, karena aku takut menyakitinya.
Belakangan.....terkadang kau juga membersit dalam otakku. Apa yang kau lakukan, dan dimana kau sekarang? Aku sering bertanya sendiri di dalam hati. Apakah perasaan itu sesungguhnya? Saat kita bertemu lagi, aku merasakan ada sesuatu yang aneh....dan aku tidak tahu apakah itu. Karen......, aku sangat senang kau menghadirkan Sammy dalam hidupku. Terima kasih, kau sudah menjaganya dengan baik.
Aku punya satu permintaan, yang mungkin dulu tak pernah aku minta darimu. Maukah.....kau menjadi ibu dari anak-anakku? Ibu yang sesungguhnya, Sharon membutuhkan seorang ibu dan Sammy membutuhkan seorang ayah. Ku rasa itu adil untuk mereka, aku yakin.... Sarah tidak akan keberatan.
Karen menitikan airmata.
Kau boleh menolak jika kau tak mau, tapi aku mohon....ijinkan aku....untuk tetap dekat dengan putra kita!
Danny tersenyum perih.
Mungkin ini bukan saat yang tepat meminta hal seperti ini padamu, tapi kau tahu....anak-anak bukanlah satu-satunya alasanku memintamu menikah denganku. Mungkin sebenarnya dulu...., aku menyimpan sedikit cinta untukmu. Dan aku tak pernah menyadarinya....., aku senang akhirnya kau kembali!
Soal anak-anak....., kau tidak perlu khawatir. Aku akan menemukan mereka, aku tidak akan membiarkan mereka terluka. Aku bertaruh itu padamu dengan nyawaku, aku janji. Aku akan membawa mereka pulang....., dengan utuh!
Danny terdiam, dan rekaman itu pun habis. Karen menghapus airmatanya, ada senyuman yang mengembang di wajahnya. Ia percaya Danny akan membawa Sammy dan Sharon pulang dengan selamat.
*****
Sharon membuka matanya, tubuhnya sedikit berguncang. Tangannya terikat di belakang, ia membangkitkan tubuhnya dan melihat ke sekeliling. Matanya menangkap Sammy yang masih belum sadarkan diri. Ia pun menggeser duduknya mendekati anak lelaki itu.
"Sammy, Sammy!" lirihnya menyenggol tubuh Sammy dengan tubuhnya. Seketika Sammy tersentak, ia mmebuka matanya perlahan. Kepalanya sedikit pusing karena obat bius, matanya menangkap wajah Sharon yang sedang menatapnya.
"Sharon!" desisnya, lalu juga bangkit duduk. "aku sudah menduga mereka memang mengincarmu!" lanjutnya. Ia mencoba membuka ikatannya tapi terlalu kencang hingga membuat tanganya sakit. "tapi mereka juga membawamu!" sahut Sharon. "jadi aku tidak sendiri!"
Sammy tertawa kecil, "aku tidak akan membiarkan kamu sendirian, kamu tahu siapa mereka?" tanya Sammy. Sharon menggeleng, "yang jelas mereka pasti musuh papa, siapa lagi!" sahutnya.
Keduanya melihat seluruh ruangan itu, mereka sadar mereka berada di dalam mobil box. "kamu tahu mereka membawa kita kemana?" tanya Sharon. "mana aku tahu, mereka menembakku dengan obat bius dan aku baru saja membuka mata!"
"Papa akan menemukan kita, cepat atau lambat!" desisnya. "sebelumnya kamu pernah di culik?" tanya Sammy, "tidak, ini yang pertama. Tapi papa ahli dalam memecahkan kasus, jadi aku tidak khawatir!"
"Dia akan menghabisi mereka semua, bukankah dia orang yang kejam dalam menghabisi penjahat!" cibir Sammy, "kenapa kamu tak memanggilnya papa?" tanya Sharon.
"Apa kamu akan mengijinkanku?"
"Kenapa tidak, kamu kakakku. Suka atau tidak....., aku justru merasa senang karena mulai sekarang akan ada yang menjagaku selain papa!"
"Apa dia kurang menjagamu?" guraunya.
"Dia bahkan terkadang over protektif, tapi yang membuatku jengkel terkadang dia begitu genit padaku!"
Sammy memandangnya dengan senyuman.
*****
Danny langsung mencegat taksi begitu keluar dari airport, ia menuju kediaman Farrel sesuai dengan alamat yang ia temukan di identitasnya. Pasti ada petunjuk di sana, begitu dapat informasi tentang pesawat jet itu ia langsung berlari ke bandara tanpa menunggu bantuan yang di tawarkan untuk ikut pergi bersamanya.
Sementara Karen cukup terkejut ketika keluar dari kamar. Ia menemukan beberapa polisi yang sedang bermain catur di ruang tamu.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya. Dua orang polisi itu pun berdiri, "maaf nona Martin, tapi BrigJend Hatta meminta kami untuk menjaga rumah ini dari kemungkinan buruk!" jawab salah satunya. Karen menghela nafas,
"Kau tidak perlu khawatir, kau akan aman di sini!" seru Toni yang muncul dari dapur, "paman Toni!" sapanya.
"Bukan diriku yang aku khawatirkan!"
"Danny akan membawa pulang anak-anak, percayalah!"
"Dimana dia sekarang?" tanya Karen.
"Beberapa saat lalu ia terbang ke Aceh!"
Karen melotot, "Aceh?" spontannya, "anak-anak ada di sana," jawab Toni. "apa kalian yakin?" ragunya. Toni hanya memandangnya, Karen segera memungut hpnya dan menghubungi seseorang.
"Frans, aku ingin tahu apa yang terjadi!"
"Tenang dulu, kau tidak perlu panik Karen!" sahut Frans,
"Kau berani melarangku untuk tidak panik, sementara kau tahu sendiri bagaimana keadaannya?" marahnya. "kenapa kau jadi seperti Sarah?" gurau Frans.
"Apa!"
"Jangan marah, aku hanya bercanda!"
Tapi Karen malah menutup sambungan teleponnya. "halo, Karen....!" seru Frans, ia mengangkat bahu lalu menaruh hpnya di meja.
Karen melangkah menuju pintu keluar, "kau mau kemana?" tanya Toni. "aku....aku harus melakukan sesuatu!" sahutnya menoleh.
"Kau akan lebih aman jika tetap di sini!" cegah Toni.
"Aku tidak bisa berdiam diri seperti ini, Paman!"
"Karen....!"
"Mungkin Vincent bisa membantu, aku akan menemuinya!"
"Biar ku antar!"
"Tidak perlu,"
"Danny menitipkanmu padaku, jika terjadi sesuatu padamu dia bisa membunuhku!"
Karen menghela nafas, "aku tak yakin dia akan membunuh, paman!" sahutnya melanjutkan langkahnya. Toni memberi isyarat pada dua polisi itu untuk mengikuti Karen. Keduanya langsung beranjak membuntutinya.
Karen menoleh ketika sudah di teras, "kalian mau apa?" tanyanya, "kami yang akan mengantar nona, mungkin BrigJend Hatta tidak akan membunuh tuan Toni, tapi untuk membunuh kami....dia tidak akan berfikir dua kali!" sahut salah satunya.
Karen memandang dua orang itu lalu menurut saja, ia menelpon Vincent saat dalam perjalanan. "Vinc, kau masih di rumah!"
"Ya, aku sudah dengar dengan apa yang terjadi pada Sammy. Aku sudah menghubungi polisi dan....sekarang aku ada di Polda!"
"Oh...., kalau begitu aku akan ke sana!" katanya menutup telepon. "kita ke Polda saja!" pintanya.
*****
Danny keluar dari taksi di depan sebuah rumah yang tak terlalu mewah, ia memandangi bangunan itu. Celingukan untuk memastikan sesuatu, ia pun mendekati gerbang besi yang tak terlalu tinggi. Nampaknya rumah itu cukup sepi, seperti baru saja di tinggal penghuninya. Mungkin mereka tahu kalau dirinya akan menemukan tempat ini makanya rumah itu sudah di kosongkan. Tapi bagaimana pun ia tetap harus masuk ke dalam. Tangannya merogoh lubang gerbang besi itu, di gembok. Lalu ia meloncat saja tak peduli ada yang melihat atau tidak. Ia tetap berjalan secara hati-hati, memutar gagang pintu depan, terkunci dengan sempurna. Semua jendela juga, akhirnya ia harus mengelilingi rumah itu hingga di belakang. Pintunya terkunci juga, akhirnya ia terpaksa harus mendobraknya untuk bisa masuk. Matanya terus mengawasi di sekitarnya, siapa tahu saja ada jebakan. Ia menelusuri ke setiap ruangan dan tak ada siapapun di sana, tapi ia tak puas jika tak melakukan apapun dan tak menemukan apapun. Maka iapun mencoba mencari sesuatu, mengobrak-abrik sisi lemari, bifet dan apapun yang ada di rumah itu.
"Damn!"
Ia mengumpat karena tak menemukan satupun petunjuk, tak ada foto atau apapun di sana. Atau mungkin rumah ini hanyalah sebuah pengalihan? Ia menendang apa yang bisa ia tendang. Ia memungut hpnya dan menghubungi seseorang.
"Bisa beritahu aku informasi apalagi yang kalian dapat?" kesalnya, "aku tak menemukan apapun di sini!"
"Ada Vincent di sini, dia ingin bicara denganmu!" seru Letnan Heru lalu memberikan teleponnya pada Vincent,
"Hai Danny!"
"Hai!" sapanya, "apa kau mengetahui sesuatu?"
"Aku tahu sedikit tentang Anton, jika kau ingin dengar!"
"Katakan saja!"
"Dia seorang pengusaha pertambangan batu bara, tapi bukan hanya itu. Sepupunya adalah anggota intelijent negara. Sebenarnya bukan itu masalahnya!"
"Kenapa kau bertele-tele, katakan saja dengan jelas!" teriak Danny. Vincent mendesah, "aku mendapat bocoran dari seorang teman yang menaruh mata-matanya di perusahaan bajingan itu. Dia mendanai sebuah proyek tertutup di sebuah lab. Ada yang bilang mereka sedang melakukan ujicoba pembuatan sebuah virus dan mereka akan menjualnya ke beberapa negara adidaya. Aku juga dengar tentang beberapa mantan rekanmu yang di jadikan kelinci percobaan mereka!"
Danny masih menunggu informasi pentingnya, "kau tahu....siapa rekan bisnisnya dalam pembuatan Virus itu?" seru Vincent, "mana ku tahu, bajingan yang bernama Anton saja aku tak pernah punya hubungan!" kesalnya menyeringai.
"Apa kau kenal Ferian....., Ferian Fernandes!" desis Vincent.
Danny terpaku, mendengar nama itu darahnya seakan berhenti mengalir. Jantungnya pun kehilangan detaknya. Nama itu.....
**********
The Danny Hatta Course Trilogi ;
# Price of Blood ( the last novel )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H