Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Price of Blood #Part 3

13 Desember 2014   23:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:22 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Di dalam Pesawat.....

Sammy duduk di dekat jendela, menerawang awan-awan putih yang betebaran. Pun kabut ikut menyelimuti angkasa. Sang Ibu duduk di sampingnya sambil membaca majalah.

"Kau puas sekarang, semoga saja Vincent cepat menemukan rumah untuk kita!"
"Who is him?"
"Your uncle, untuk sementara kita tinggal di rumahnya!"
"Anywhere!"
"Pertama aku akan mencarikanmu sekolah yang mungkin lebih ketat, agar kau tak membuat banyak masalah,"
"Aku punya pilihan sendiri."
"Dan dimana itu?"
"ACG International School,"

Sang Ibu menutup majalah dan menoleh padanya, Sammy membalas tatapan mamanya.

"No, I not allow you!"
"Why Mom? I want be there!"
"No Sammy!"
"Ok, Aku tidak akan pergi ke sekolah manapun!"
"Sammy!"

Sammy membuang muka ke depan dan menghempaskan tubuhnya ke sandaran. Sang Ibu menatapnya, ia tahu tujuan putranya memilih sekolah itu. Dan memang itu yang tak di inginkannya, tapi ia juga tahu sifat Samny sangat keras dan teguh dengan keinginannya, sama seperti ayahnya. Wanita itu menghela nafas lalu menjawab pelan,

"Ok, but I will you to promise me that you would never make any ....."
"I'm promise!" potong Sammy sambil menoleh mamanya.
"Good!" wanita itu kembali membuka majalahnya,
"Thank you, Mom!" desis Sammy, mamanya hanya mengangguk tanpa menoleh.

*****

Danny membolak-balikan badannya berkali-kali, ia sungguh tak bisa memejamkan mata. Ia pun bangkit dari pembaringannya, gara-gara peristiwa kemarin siang kini ia mulai mengmhawatirkan keselamatan Sharon. Ia pun meluncur dari ranjangnya dan berjalan keluar kamar. Menghampiri kamar putrinya, ia membuka pintu perlahan agar tak membuat Sharon terjaga. Danny menghampiri ranjang putrinya, memandang sekejap gadis yang terlelap itu sebelum menaikan dirinya di sisinya dan berbaring lalu memeluknya.

Sharon terjaga dengan sentuhan sang papa, ia membuka mata dan menoleh.
"Papa!" desisnya,
"Bolehkah papa tidur di sini?" tanya Danny meminta ijin.
"Kenapa sekarang papa yang takut tidur sendiri?"
"Mungkin papa sudah mulai jadi penakut!" jawab Danny,
"Papa tahu...., jika teman sekolahku tahu aku masih tidur dengan papa, mereka akan menertawakanku!"
"Dan kau akan menghajar mereka semua!"
"Sudah pasti!" tegas Sharon. Danny hanya menyunggingkan senyum, "tidurlah, besok harus bangun pagi!"
"Papa yang menggangguku!"
"Ok, aku minta maaf!"

Danny mengencangkan pelukannya, "papa, ada apa?" tanya Sharon, ia mulai tumbuh dewasa. Sudah bisa membaca kegelisahan sang ayah.
"Papa hanya merindukan mamamu!"

Sharon bisa merasakan itu, "aku juga!" sahutnya membalas pelukan sang ayah, "papa tidak akan pergi jauh lagi kan?"
Danny mengangguk!

*****

Wanita itu dan putranya sampai di rumah sepupunya sebelum fajar. Vincent sendiri yang menyambutnya dan membuka pintu.

"Aku senang kalian sampai dengan selamat, bagaimana perjalanannya?"
"Melelahkan!" sahut Sammy,
"Akhirnya kau memutuskan untuk kembali!" tambah Vincent dengan senyuman.
"Itu keinginannya bukan aku!" jawab Karen.

Sammy memperhatikan rumah mewah itu, Vincent sendiri memang belum menikah. Ia masih asyik dengan permainan bisnisnya.
"Do you stay alone at this house, Uncle?"
"With some maid," jawab Vincent, "itu bagus, dia sudah besar kan!" katanya pada sepupunya.
"Entahlah Vinc, ini pasti akan rumit!"
"Dia berhak tahu, Karen!"

Karen terdiam, "Sejujurnya....., aku belum siap dengan semua yang akan terjadi!"
"Ini sudah 13 tahun!"
Karen memandang Sammy yang berjalan menaiki tangga.

"Istirahatlah, kamarmu masih sama. Sammy bisa memilih sendiri kamarnya!"
"Terima kasih, aku terus merepotkanmu!"
"Kita saudara!" sahut Vincent seraya berjalan ke arah ruang kerjanya.

Karen memasuki sebuah kamar. 13 tahun lalu setelah rumahnya di sita oleh negara ia memang tinggal di kamar itu, sampai akhirnya ia mengetahui sesuatu dan memutuskan untuk pergi ke Amerika. Itu pun ia meminjam uang dari Vincent untuk memulai hidup baru di negeri paman Sam.

*****

Seusai mengantar Sharon Danny mendatangi Queen Fashion, bisnis di dunia fashion cukup berkembang sekarang. Perusahaan itu baru dua tahun berdiri, tapi memiliki kualitas internasional. Danny memasuki sebuah ruangan, Alicya duduk di balik mejanya. Papan nama beserta jabatannya terpampang di sana. Alicya adalah CEO nya, sebuah box bayi tergeletak tak jauh darinya. Seorang baby siter sedang menggendong Lexi, putra pertamanya.

"Apa aku mengganggumu?" tanya Danny seraya berjalan ke arahnya.
"Pagi sekali kau berkunjung, ada yang penting!" sahut Alicya dengan senyuman, ia berdiri dan berjalan mendekat ke arah Danny, memeluknya sekejap.
"Kau membawa bayimu bekerja, harusnya kau serahkan saja pekerjaanmu menejermu atau siapa?"
"Biasanya begitu, aku mengontrol dari rumah. Tapi karena semalam Brian pergi dinas ke timur tengah, kupikir tak ada salahnya aku ngantor. Jika Lexi sedang tidur aku bosan di rumah!" jawabnya sambil duduk kembali di balik mejanya.

Danny duduk, menyandarkan punggungnya dan menumpukan salah satu kakinya ke atas kaki yang lain.
"Pasti ada yang penting!" tanya Alicya.
"Aku hanya....., bisakah aku berinvestasi di sini?"

Alicya menatapnya heran, "investasi?"
"Kenapa?"
"Tidak, aku hanya heran saja. Sejak kapan kau tertarik dunia bisnis?"
"Aku tidak terlalu tahu dunia bisnis, itu sebabnya aku ingin menyerahkannya padamu saja. Kau bisa membantuku, ya....itung-itung untuk simpanan masa depan Sharon. Aku hanya punya pekerjaanku, Alicya. Tidak mungkin kan Sharon akan hidup hanya dari uang pensiunanku nanti!"
"Ya, benar juga. Kapan kau akan melakukannya?"
"Secepatnya, akan ku transfer nanti. Tolong kau urus semuanya!"
"Baiklah, akan ku atur semuanya. Jika sudah akan ku hubungi kau langkah selanjutnya!"
"Satu lagi...., aku ingin ini atas nama Sharon!" tambah Danny.

Alicya menatapnya dengan sedikit ngeri, memaknai kalimat Danny.

"Danny, kau jangan membuatku takut!" desisnya.

Danny menyunggingkan senyum, "ini hanya untuk berjaga-jaga, agar aku tidak repot nantinya!" jawabnya, padahal sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama yang sempat di pikirkan adik tirinya itu.

*****

Karen mendatangi ACG International School untuk mengurusi pendaftaran Sammy di sana. Jadi besok bisa masuk, kebetulan soal prestasi di mata pelajaran Sammy cukup unggul. Ia mewarisi kecerdasan kedua orangtuanya. Hanya beberapa masalah kecil di riwayat sikap dan kelakuan yang terkadang suka berkelahi. Tapi dia juga bukan satu-satunya yang suka melakukan hal itu, di sekolah ini juga tercatat beberapa siswa yang berkelahi, bahkan anak perempuan pun juga.

Mereka meninggalkan tempat itu setelah selesai, kini mereka sedang menuju ke beberapa rumah yang mau di lihat. Sebenarnya Vincent menawarkan salah satu rumahnya di Bintaro, tapi Karen menolak karena merasa tidak enak terus merepotkan sepupunya itu.

"Kau jaga janjimu untuk tak membuat masalah di sekolah. Mama tidak mau mendapat surat skorsingmu lagi!"
Sammy tak menyahut, ia memandangi jalanan di luar dari kaca jendela.
"Where do you go to work?"
"Perusahaan om mu, mengingat umur mama tidak akan mudah mencari pekerjaan baru!"

Danny kembali ke sekolah karena hari itu ada serangkaian acara yang di selenggarakan. Sharon mengisi salah satu acaranya. Sebenarnya dia juga punya bakat reporter seperti mamanya, tapi gadis itu lebih memilih menjadi abdi negara seperti ayahnya.

"I'm sorry, Mom." desis Sammy,
"For?"
"Everything. I've force you to came over here, even I know what you fell!"
"It's ok."
Ada keheningan sejenak di dalam mobil itu,
"Mom!" panggil Sammy.
"Hem?"
"Thank you!"

Karen tertegun dengan ucapan putranya, ia menolehnya untuk sesaat lalu tersenyum. Mungkin apa yang di katakan Vincent benar, Sammy memang sudah besar. Tak seharusnya ia terus menjauhkannya dari kenyataan, sudah sewajarnya jika Sammy sekarang mulai menuntut haknya. Tapi apakah ia akan siap nanti jika memang waktunya tiba. Bagaimana ia akan menghadapinya nanti.

Akhirnya mereka menemukan rumah yang cocok, memang tidak terlalu besar tapi cukup nyaman dan bangunannya juga baru. Rumah itu di kawasan Tebet barat, tidak terlalu jauh dari perusahaan Vincent.

"Mungkin ini memang lebih kecil dari rumah kita di Washington, kau tidak keberatan kan?" seru Karen.
"Dimanapun, asal bersamamu aku tidak keberatan!"

"Bagaimana?" tanya pemilik rumahnya,
"Mungkin kami akan mengambilnya secepatnya!"

*****

"Kau punya bakat di bidang itu, kenapa malah ingin jadi polisi?"
"Ku pikir karena itu lebih menantang!"
"Jadi reporter juga menantang, atau....mungkin kau bisa ambil yang lainnya!"
"Misal?"

Mereka berjalan menuju kantin.

"Ehm....., designer mungkin!" usul Danny,
"Aku tidak tertarik dan aku juga tak punya bakat di sana,"
"Sekolah masak?"
"Aku juga tak suka jadi koki!"
"Olahan tanganmu enak,"
"Mama juga, tapi dia bukan koki. Sudahlah papa, jangan membujukku terus. Papa tidak perlu khawatir, mungkin aku memang perempuan tapi aku akan buktikan sama papa kalau aku juga bisa!"
"Bisa apa?" ledek Danny,
"Tapi sepertinya aku punya ide yang jauh lebih bagus!"
"Apa itu?"
"TNI AU, mengendarai pesawat tempur sepertinya lebih menyenangkan!"

Danny menoleh dan menatap putrinya dengan tatapan tak percaya. Sharon membalas tatapan itu, tapi sepertinya ia justru senang dengan reaksi sang papa. Mengalihkan pandangannya kembali ke depan dan berjalan lebih cepat. Danny memperhatikan putrinya, tapi apa yang di ucapkan Sharon juga benar. Hanya karena dia perempuan tak seharusnya ia melarangnya masuk militer, jika anak itu memang menginginkannya. Dan Frans juga benar, Sharon adalah putrinya. Dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri.

Handphonenya berdering, ia pun merogoh saku celananya

Paman Radit!

Danny segera mengangkat telepon itu, "Hai, Paman!" sapanya.
"Hem...., sepertinya kau sudah lupa padaku. Apa karena aku sudah semakin tua?"

Danny tertawa.

"Maaf, paman. Rencananya kami akan berkunjung malam ini ke rumah paman!"
"Oh, begitu. Bukan karena paman menelponmu kan?"
"Tentu saja, bukan!"
"Ya sudahlah, kebetulan ada yang ingin aku bicarakan padamu!"
"Kedengarannya serius!" sahut Danny.
"Tapi mungkin aku akan sedikit terlambat sampai rumah, kau bisa ngobrol dulu dengan istriku!"
"Jangan khawatir, itu sudah biasa!"
"Aku harus kembali bekerja!"

Jabatan paman Radit sekarang juga sudah meninggi lagi. Ia malah sekarang bergelar Jendral, Danny sendiri sudah dua tahun terakhir ini menyandang pangkat sebagai BrigJend. Tapi saat ini ia ingin fokus saja dengan putrinya mumpung sedang cuti, setelah cutinya habis....., entahlah ia masih belum memikirkannya. Mungkin akan menjalaninya saja mengikuti takdir.

**********

The Danny Hatta Course Trilogi ;

# Price of Justice ( firts novel )
# Price of Honor ( second novel )
# Price of Blood ( last novel )

Tayang kembali hari Selasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun