Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bougenville Street ...

24 Februari 2015   20:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:35 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam 11.55 malam,


Lolongan anjing masih memekik di telinga, suara derik jangkrik cukup menyayat ku rasakan. Hembusan sang bayu menerpa kulitku, membawa hawa dingin ke sekujur tubuhku. Peluh membanjiri di setiap pori-pori, menciptakan nyeri di sekitar lukaku yang menganga.

Sudah ribuan meter aku berlari, tapi rasanya suara desingan peluru masih memburu-menginginkan nyawaku. Seperti ada langkah malaikat maut di belakangku yang siap menarik ruh dari ragaku, entah apa yang terjadi? Tapi sekarang aku terjebak tak tentu arah, selama keremangan masih merebak aku masih merasa aman. Tapi bagaimana jika terang mulai menyibak, ajal rasanya mengintip dimana-mana.

Sialan! Umpatku tak henti.

Bagaimana mungkin aku begitu bodoh, seharusnya aku tak datang ke sana. Seharusnya ku terima saja saat Felix menyuruhku meliput berita soal perayaan di taman kota, brengsek! Damn! Aku tak berhenti mengumpat sekarang, apalagi yang bisa ku lakukan selain mengumpat sebelum nyawaku terbang entah kemana!

Tugas pertama bekerja sebagai jurnalis di sebuah surat kabar ternama malah membuatku hendak kehilangan hidupku. Di terima di sana adalah impianku, tapi bukan untuk terjebak jadi buronan seperti ini. Aku ingin menjadi jurnalis hebat, aku ingin menjadi koresponden profesional. Bukan begini, dimana aku berdiri saja aku tidak tahu!

Tubuhku mulai gemetaran, darahku berceceran lumayan banyak di sepanjang aku berlari. Rasanya sudah hampir habis, air.....aku butuh air.

Sialan! Dimana bisa ku dapatkan seteguk air untuk melegakan kerongkonganku yang sudah kering kerontang ini! Lagi-lagi aku hanya bisa mengumpat, memaki. Tenagaku sudah hampir habis, mataku rasanya berat sekali, tapi aku tak boleh terlelap atau aku tak akan bisa membuka mataku lagi. Aku menatap ke dalam keremangan ini, di situlah bisa ku lihat wajah seseorang.....

Ariana.....

Oh.... Damnit!

Di saat seperti ini aku membutuhkanmu, membutuhkan senyumanmu, semangatmu! Pelukan hangatmu, kini hanya dingin dunia yang memelukku. Jika kau melihat berita kriminal di televisi apa kau juga akan berfikir sama, bahwa aku tidak lebih hanya seorang bajingan? Apa kau akan percaya itu, atau kau akan percaya padaku? Bolehkan aku sedikit berharap bahwa kau akan lebih mempercayaiku, bukankah kau lebih mengenalku dari siapapun?

Ku angkat tanganku, ku pandangi kilauan permata di benda bundar berbentuk lingkaran yang menyelip di jari manisku. Cincin pertunangan kita, oh....tidak! Sudah berlumuran darah. Ku harap kau tak melempar cincinmu ke sumur, atau ke hutan!

Oh.....ahh.....

Aku merintih lagi, dan hanya cicak yang mendengarkan. Dan mereka tak bisa melakukan apapun untuk membantu, untuk menghilangkan rasa sakit yang ku rasakan. Ku tekan dada kananku sekali lagi, berharap agar tak ada lagi darahku yang menetes.

Nathan, kau memang bajingan. Bangsat! Seenaknya saja kau lemparkan kotoran ke wajahku. Jika aku berhasil survive, aku sendiri yang akan memecahkan batok kepalamu. Ingat itu!

Ku dengar suara sirine memenuhi jalanan, para polisi itu masih mengejarku, apa mereka tidak lelah? Ku intip dari lubang jendela yang sudah tak berkaca lagi, anjing pelacak lagi. Sialan! Mereka terlihat sedang menciumi darahku yang berceceran, dan bergerak mendekati persembunyianku. Ku tenggelamkan kembali diriku di balik tembok. Jantungku mulai berpacu lebih cepat dari detik jarum jam, ku hela nafas sedalam-dalamnya. Mumpung masih sempat, mungkin beberapa menit lagi aku sudah tak menghirup nafas untuk selamanya.

Bayangan teriakan dan jeritan wanita di rumah itu kembali memenuhi otak dan pikiranku, aku berbicara dengan Nathan Rodriguez selama hampir setengah jam. Dia adalah seorang anggota dewan yang di gosipkan sedang terlibat kasus gravitasi, tak hanya itu ada desas-desus yang ku terima dia terlibat bisnis gelap obat bius.

Aku mengekorinya selama beberapa hari, sempat ku layangkan secarik kertas padanya melalui satpam di depan gerbang rumahnya yang super mewah itu. Kertas itu memang berisi ancaman, tapi itu berhasil. Nyatanya, dia memberiku secarik kertas melalui satpamnya pula. Sebuah alamat, aku pun pergi ke sana sesuai jam dan tempatnya.

Sebuah rumah yang tak terlalu besar, aku berbicara padanya. Melemparkan sejuta pertanyaan, sejujurnya aku bunya seorang nara sumber yang bisa membuatku membongkar kebusukannya. Aku tak pernah memberitahunya tapi sepertinya dia mengetahui hal itu.

Nara sumberku adalah istri sirinya sendiri yang sudah di campakannya beberapa bulan lalu. Wanita itu belum terseret media kalau sudah di buang oleh Nathan. Kabar yang beredar, wanita itu sedang hamil dan kini tinggal di salah satu rumah yang di berikan Nathan padanya. Rumah yang ternyata aku datangi.

Brengsek!

Ternyata wanita itu ada di sana, saat aku hendak meninggalkan rumah itu ku dengar jeritan histeris melengking memekakan telingaku. Aku berlari mencari arah suara, ketika aku sampai di sebuah ruangan sesosok tubuh menubrukku. Dengan sigap ku tangkap tubuh wanita itu yang sudah berlumuran darah. Wajahnya hancur karena di hantam beberapa kali, darah mengalir dari sisi kepalanya. Terdengar suara tembakan sekali, tubuh wanita itu tersentak dan merosot jatuh terkapar ke lantai tanpa nyawa lagi. Sekali lagi ku dengar tembakan, ku toleh Nathan yang menembak lengannya sendiri, saat itu juga ia melemparkan senjata api ke arahku. Ku tangkap dengan cepat karena refleks. Suara sirine mobil polisi mendekati rumah itu, Nathan berlari ke bawah dengan cepat. Aku masih termangu, tak tahu harus berbuat apa karena aku masih syok dengan apa yang ku lihat. Yang ku alami, ketika suara derap langkah kaki mulai mendekat aku baru sadar. Ada mayat wanita di dekatku. Dan sebuah senjata api di tanganku yang telanjang, sudah pasti sidik jariku akan membekas di sana. Aku berjalan gontai mendekati jendela, ku dengar sebuah teriakan.

"Dia, dia orangnya!" seru suara itu, suara yang ku kenal. Suara bajingan itu! "dia memperkosa dan membunuh istriku!" tambah suara itu lagi.
"Jangan bergerak, jatuhkan senjata apimu! Lau sudah di kepung!" sambung sebuah suara lain, suara salah seorang polisi.

Tubuhku gemetaran, kakiku rasanya menancap di dalam lantai hingga aku tak bisa bergerak. Senjata api di tanganku, darah melumuri tangan dan bajuku. Semua bukti sungguh membuatku tak bisa mengelak, tapi bukan aku pelakunya. Entah keberanian darimana yang ku dapat, aku berbalik menerjang jendela kaca hingga membiarkan tubuhku jatuh dari lantai dua. Suara tembakan bertubi-tubi menghujamiku. Aku bangkit tapi sebuah peluru menembus dada kananku, rasanya perih dan panas seperti terbakar. Aku terpental kembali, beberapa polisi menghampiriku. Aku berusaha bangkit dan berlari secepat yang ku bisa. Asalkan kakiku tak tertembak, aku bisa lari secepat mungkin. Aku juara di bidang marathon. Tak ku pedulikan rasa nyeri di dadaku, yang aku tahu aku masih ingin hidup dan membuktikan bahwa aku tak bersalah.

Datang ke rumah itu membawa bencana bagiku, rumah itu..... Berada di Bougenville Street block B no. 11

Aku masih ingat jalannya, dan aku masih ingat semuanya. Tapi sepertinya sebentar lagi aku tidak akan mengingat apapun lagi. Tidak rumah itu, tidak alamat itu, tidak Airana.....

Ketika langkah kaki dan derap kaki anjing pelacak mendekatiku, ku hela nafas dalam sekali lagi. Tahukan kau.....berada di mana aku sekarang. Aku baru ingat, saat menuju rumah itu aku melewati sebuah gedung kosong yang hampir ambruk. Masih berada di Bougenville Street! Oh Tuhan.....jadi karena kegelapan aku berlari berputar-putar di sekitar kompleks!

Sialan! Damn!

Dan ternyata aku tak pernah berlari jauh, hanya.....aku berlari terlalu lama memutari kompleks super luas itu hingga ku pikir aku sudah berada jauh. Tapi nyatanya....aku masih di sini, di Bougenville Street.

Ku beranikan diri untuk muncul, sorot cahaya menyilaukan mataku. Aku tak sanggup lagi berlari, nafasku saja sudah hampir habis. Ku pejamkan mata menantang para pemburuku, kepalaku mulai pusing. Sebenarnya sudah pusing 70 keliling sejak tadi, ku dengar suara peringatan agar aku menyerah. Terdengar sayup di telingaku, dan aku masih terdiam di tempatku berdiri. Setelah itu semuanya menjadi gelap.

**********

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun