Beberapa bulan lalu, telah terjadi konflik agraria dan konflik sumber daya alam, khususnya terkait dengan sengketa tanah antara masyarakat adat dan perusahaan besar yang memiliki konsesi lahan dari pemerintah. Konflik ini muncul karena adanya perbedaan klaim atas hak kepemilikan dan penggunaan tanah antara masyarakat adat yang menganggap lahan tersebut sebagai tanah ulayat yang dimiliki secara turun-temurun dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang memiliki izin konsesi dari negara untuk mengelola hutan di area tersebut.
Dalam konteks ini, konflik yang terjadi adalah benturan antara hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang diakui secara adat tetapi seringkali tidak diakui oleh negara, dengan kepentingan perusahaan yang beroperasi berdasarkan izin negara untuk memanfaatkan sumber daya alam, seperti lahan hutan. Konflik ini juga menyentuh aspek hukum formal yang mempidanakan masyarakat adat seperti Sorbatua atas dasar pelanggaran hukum lingkungan atau pengelolaan lahan yang diklaim oleh perusahaan, meskipun secara adat mereka memiliki hak atas tanah tersebut.
Kronologi Kejadian
Beberapa waktu lalu, PT Toba Pulp Lestari (TPL) melaporkan Sorbatua Siallagan atas tuduhan pengrusakan, penebangan pohon eukaliptus, dan pembakaran lahan yang ditanami oleh perusahaan. Dari sudut pandang TPL, Sorbatua dan masyarakat di Dompu dinilai tidak berhak beraktivitas di wilayah tersebut karena masuk dalam area konsesi mereka. Juru bicara TPL, Salomo Sitohang, menegaskan bahwa komunitas Ompu Umbak Siallagan tidak tercantum dalam daftar klaim tanah adat yang telah diterima perusahaan.
TPL menganggap kasus ini sebagai tindakan kriminal individu, sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengkritik pendekatan tersebut, menilai bahwa masyarakat adat tidak seharusnya meminta hak mereka kepada perusahaan. Meskipun demikian, pihak kepolisian tetap memproses kasus ini.
Polisi mengklaim telah melayangkan panggilan pemeriksaan kepada Sorbatua dua kali tanpa tanggapan, sehingga dilakukan penangkapan pada 22 Maret 2024. Namun, AMAN dan Aliansi Gerak Tutup TPL menyatakan bahwa penangkapan dilakukan tanpa menunjukkan surat perintah yang sah, sehingga memicu protes dari masyarakat adat, aktivis, dan mahasiswa yang menuntut pembebasan Sorbatua. Mereka menggelar aksi di depan Polda Sumatra Utara, sementara perwakilan AMAN dan Aliansi Gerak Tutup TPL juga melakukan audiensi dengan kepolisian di Jakarta untuk menuntut penangguhan penahanan.
Kepolisian Sumatra Utara membantah tudingan keberpihakan kepada perusahaan dan menyarankan agar masyarakat mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Di sisi lain, keluarga Sorbatua khawatir dengan kondisi kesehatannya yang sudah lanjut usia.
Aspek Hukum Adat
Aspek hukum dari kasus Sorbatua Siallagan berpusat pada penerapan hukum pidana terkait penguasaan lahan dan perusakan lingkungan, serta konflik antara hukum adat dan hukum positif (hukum negara). Sorbatua dituduh menduduki lahan yang diklaim sebagai hutan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL), dan ia diproses secara hukum formal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Sorbatua dijerat dengan hukum pidana, yang mengarah pada vonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar atas tuduhan pengrusakan lahan yang dikelola perusahaan. Dalam hal ini, hukum negara mengakui konsesi lahan yang dimiliki TPL, sehingga tindakan Sorbatua dianggap melanggar aturan. Namun, dari perspektif hukum adat, Sorbatua dan komunitasnya menganggap tanah tersebut sebagai tanah ulayat mereka, yang diwariskan secara turun-temurun.
Kasus ini menunjukkan bagaimana hukum positif seringkali tidak mengakui atau mempertimbangkan klaim masyarakat adat, sehingga menimbulkan konflik ketika hak-hak adat berbenturan dengan kepentingan perusahaan besar yang didukung oleh izin negara.
Pidana Adat
Pidana adat dalam kasus Sorbatua Siallagan merujuk pada bagaimana masyarakat adat seharusnya menyelesaikan konflik melalui mekanisme hukum adat, yang biasanya lebih bersifat restoratif dan bertujuan memulihkan harmoni sosial. Dalam hukum adat, jika ada pelanggaran terkait tanah ulayat, penyelesaiannya biasanya melibatkan musyawarah komunitas dan sanksi adat seperti ganti rugi atau upaya rekonsiliasi, bukan melalui pidana penjara atau denda besar.
Namun, dalam kasus Sorbatua, ia tidak diadili berdasarkan hukum adat, melainkan dengan hukum positif (hukum negara) yang mengabaikan dimensi pidana adat. Masyarakat adat seperti Sorbatua umumnya akan lebih mengutamakan penyelesaian sengketa secara adat, mengingat tanah yang mereka kelola dianggap sebagai warisan leluhur. Penerapan pidana penjara dan denda dalam kasus ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara mekanisme penyelesaian konflik berdasarkan hukum adat dan hukum formal yang diterapkan negara, di mana masyarakat adat tidak mendapatkan pengakuan yang memadai atas hak-hak mereka.
Dampak Sosial Terhadap Masyarakat
Dampak sosial dari kasus Sorbatua Siallagan sangat signifikan bagi masyarakat adat di sekitarnya, menciptakan ketidakpastian dan ketegangan dalam hubungan antara komunitas dan pihak perusahaan serta pemerintah. Vonis penjara dan denda yang dijatuhkan kepada Sorbatua telah menimbulkan rasa ketakutan di kalangan anggota komunitas, yang merasa hak-hak mereka atas tanah ulayat terancam. Aksi protes dan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk aktivis dan mahasiswa, menunjukkan solidaritas terhadap Sorbatua, tetapi juga menciptakan perpecahan antara masyarakat yang mendukung dan menentang tindakan tersebut. Selain itu, kasus ini memperkuat stigma negatif terhadap masyarakat adat sebagai pelanggar hukum, sementara mereka berjuang untuk mengakui hak-hak tradisional mereka. Secara keseluruhan, kasus ini menciptakan tekanan sosial yang mengganggu kesejahteraan dan keutuhan komunitas adat, serta meningkatkan tantangan bagi mereka dalam memperjuangkan hak-hak mereka di tengah ketidakpastian hukum.
Kesimpulan
Kasus Sorbatua Siallagan mencerminkan ketegangan yang terjadi antara hak masyarakat adat dan kepentingan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Meskipun Sorbatua mewakili komunitas adat yang mengklaim hak atas tanah ulayat yang telah mereka kelola secara turun-temurun, proses hukum yang dihadapinya berfokus pada penerapan hukum positif, yang berujung pada vonis penjara dan denda yang signifikan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara hukum adat dan hukum negara, serta perlunya pengakuan yang lebih besar terhadap hak-hak masyarakat adat dalam sistem hukum nasional. Selain itu, kasus ini juga menyoroti tantangan yang dihadapi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka di tengah dominasi perusahaan besar dan kebijakan yang sering kali tidak berpihak kepada mereka. Ke depannya, diperlukan langkah-langkah yang lebih inklusif dan berkeadilan untuk menyelesaikan sengketa tanah dan memastikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H