Mohon tunggu...
Alda Rizqi Amalia
Alda Rizqi Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

My hobbies are drawing, painting, and cooking.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tuduhan "Menduduki" Hutan Konsesi Toba Pulp Lestari Sumatera Utara Divonis 2 Tahun Penjara dan Denda Rp. 1 Miliar

13 Oktober 2024   16:50 Diperbarui: 13 Oktober 2024   16:56 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beberapa bulan lalu, telah terjadi konflik agraria dan konflik sumber daya alam, khususnya terkait dengan sengketa tanah antara masyarakat adat dan perusahaan besar yang memiliki konsesi lahan dari pemerintah. Konflik ini muncul karena adanya perbedaan klaim atas hak kepemilikan dan penggunaan tanah antara masyarakat adat yang menganggap lahan tersebut sebagai tanah ulayat yang dimiliki secara turun-temurun dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang memiliki izin konsesi dari negara untuk mengelola hutan di area tersebut.

Dalam konteks ini, konflik yang terjadi adalah benturan antara hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang diakui secara adat tetapi seringkali tidak diakui oleh negara, dengan kepentingan perusahaan yang beroperasi berdasarkan izin negara untuk memanfaatkan sumber daya alam, seperti lahan hutan. Konflik ini juga menyentuh aspek hukum formal yang mempidanakan masyarakat adat seperti Sorbatua atas dasar pelanggaran hukum lingkungan atau pengelolaan lahan yang diklaim oleh perusahaan, meskipun secara adat mereka memiliki hak atas tanah tersebut.

Kronologi Kejadian

Beberapa waktu lalu, PT Toba Pulp Lestari (TPL) melaporkan Sorbatua Siallagan atas tuduhan pengrusakan, penebangan pohon eukaliptus, dan pembakaran lahan yang ditanami oleh perusahaan. Dari sudut pandang TPL, Sorbatua dan masyarakat di Dompu dinilai tidak berhak beraktivitas di wilayah tersebut karena masuk dalam area konsesi mereka. Juru bicara TPL, Salomo Sitohang, menegaskan bahwa komunitas Ompu Umbak Siallagan tidak tercantum dalam daftar klaim tanah adat yang telah diterima perusahaan.

TPL menganggap kasus ini sebagai tindakan kriminal individu, sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengkritik pendekatan tersebut, menilai bahwa masyarakat adat tidak seharusnya meminta hak mereka kepada perusahaan. Meskipun demikian, pihak kepolisian tetap memproses kasus ini.

Polisi mengklaim telah melayangkan panggilan pemeriksaan kepada Sorbatua dua kali tanpa tanggapan, sehingga dilakukan penangkapan pada 22 Maret 2024. Namun, AMAN dan Aliansi Gerak Tutup TPL menyatakan bahwa penangkapan dilakukan tanpa menunjukkan surat perintah yang sah, sehingga memicu protes dari masyarakat adat, aktivis, dan mahasiswa yang menuntut pembebasan Sorbatua. Mereka menggelar aksi di depan Polda Sumatra Utara, sementara perwakilan AMAN dan Aliansi Gerak Tutup TPL juga melakukan audiensi dengan kepolisian di Jakarta untuk menuntut penangguhan penahanan.

Kepolisian Sumatra Utara membantah tudingan keberpihakan kepada perusahaan dan menyarankan agar masyarakat mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Di sisi lain, keluarga Sorbatua khawatir dengan kondisi kesehatannya yang sudah lanjut usia.

Aspek Hukum Adat

Aspek hukum dari kasus Sorbatua Siallagan berpusat pada penerapan hukum pidana terkait penguasaan lahan dan perusakan lingkungan, serta konflik antara hukum adat dan hukum positif (hukum negara). Sorbatua dituduh menduduki lahan yang diklaim sebagai hutan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL), dan ia diproses secara hukum formal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

Sorbatua dijerat dengan hukum pidana, yang mengarah pada vonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar atas tuduhan pengrusakan lahan yang dikelola perusahaan. Dalam hal ini, hukum negara mengakui konsesi lahan yang dimiliki TPL, sehingga tindakan Sorbatua dianggap melanggar aturan. Namun, dari perspektif hukum adat, Sorbatua dan komunitasnya menganggap tanah tersebut sebagai tanah ulayat mereka, yang diwariskan secara turun-temurun.

Kasus ini menunjukkan bagaimana hukum positif seringkali tidak mengakui atau mempertimbangkan klaim masyarakat adat, sehingga menimbulkan konflik ketika hak-hak adat berbenturan dengan kepentingan perusahaan besar yang didukung oleh izin negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun