Di satu sisi, aku ingin bersama membentuk keluarga kecilku sendiri seperti yang sudah aku rencanakan. Di sana ada kami, yaitu suami, istri, dan anak-anak. Karena, setelah menikah, putus sudah hak orang tua kepada anak perempuannya, berganti menjadi hak penuh suaminya.
Bahkan, mungkin saja dengan berumah tangga lepas dari orang tua, kami juga bisa berlatih mandiri, tidak manja dari segi ekonomi ataupun kemapanan. Susah senang, sehat sakit, entah hanya makan nasi dan garam, kami masih bisa tersenyum, karena aku tidak perlu menyedihkan dan menyakiti hati orang tua dengan meminta uang dari gaji pensiunannya. Benar-benar lepas dari ketiak orang tua.
**
Kondisi dilematis ini hanya bisa dijawab dengan komunikasi yang baik antara suami dan istri. Keinginan satu orang yang terlalu memaksakan kehendak juga tidak akan berujung baik.
Aku hanya berharap bisa berumah tangga secara mandiri dan lepas dari orang tua. Alasanku hanya satu. Aku tidak mau lagi menyakiti hati ibuku. Aku hanya ingin meminimalisir ‘gesekan-gesekan’ antara orang tua dan anak. Mungkin kondisi ini hanya bisa dipahami oleh anak yang tinggal masih seatap dengan orang tua selepas pernikahan.
Aku ingin dipandang sebagai anak yang selalu membawa kenangan manis ketika aku jauh. Aku juga ingin dikenang memiliki suami yang berperangai baik di mata ibuku, setidaknya suamiku dan ibuku tidak perlu lagi tinggal seatap dan terlibat ‘gesekan’ yang menyulut perselisihan.
Ada ungkapan yang mengatakan, “Orang yang memiliki peluang paling besar untuk menyakiti kita adalah orang yang paling kita sayangi”. Jadi, sengaja atau tidak sengaja, kita akan lebih mudah menyakiti orang terdekat kita, termasuk ibu kita.
Bahkan, ada orang yang bilang, “anak yang tinggal jauh akan terasa lebih dirindukan, ketimbang anak yang tinggal dekat orang tua,” See… mungkinkah ada benarnya???
***
Aku ingin sekali bisa membahagiakan keduanya, suamiku dan ibuku. Jadi, izinkan aku untuk berbakti pada suamiku terlebih dahulu, baru ibuku.
Malang, 15-November-2016
Malam Supermoon