Surat Untuk Suamiku
Manakah yang Harus Kupilih, Berbakti Pada Suamiku atau Ibuku?
***
Duhai suamiku… sungguh berat rasanya mengatakan hal ini, karena aku sendiri adalah seorang ibu.
Duhai suamiku… hanya airmata yang mampu mewakili suaraku, karena aku juga seorang istri.
Hadist mengatakan:
“Barang siapa (isteri) yang bersabar terhadap perbuatan suaminya yang menyakitkan, maka Alloh akan memberinya seperti pahala yang diberikan Alloh pada Asiyah dan Maryam Binti Imran”
Bahkan Alloh SWT pun berfirman:
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 19)
***
Aku sadar bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kesalahan. Sangat wajar dan manusiawi. Apalagi, untuk seseorang seperti kita (aku dan dirimu) yang masih sering menyakiti hati orang tua.
Cerita ini berawal dari masalah pembayaran perawatan mobil. Sebagai seorang istri, aku sangat memahami kalau dirimu memang butuh kendaraan untuk mobilitas, termasuk konsekuensi biaya untuk perawatan mobil.
Masalah mulai muncul saat kami yang notabene seorang ibu rumah tangga (tidak bekerja tetap/freelancer) dan seorang pensiunan, harus ikut menanggung biaya operasional mobil. Mungkin, nominalnya tidak besar, tapi bagi kami yang memang sedang tidak memegang uang dalam jumlah banyak, menjadi beban tersendiri.
Hatiku rasanya pilu, mengingat bahwa nominal di bawah 500ribu saja suamiku pun ‘belum’ mampu membayar dan melimpahkan kepada ibu mertua dan istrinya. Aku tidak marah, namun di dalam hati menangis pedih seperti ada goresan luka di sana.
Kemudian, mungkin karena sedang tidak ada uang simpanan, ibuku pun juga protes. Aku sungguh sangat memakluminya. Kami sempat bertengkar kecil, karena aku membela suamiku dan tidak ingin terpengaruh dengan hal-hal negatif tentang suamiku yang mampir di telingaku.
Ibu berasumsi apakah selama ini suamiku menyimpan uang untuk dirinya sendiri. Bahkan, untuk biaya yang tergolong ringan pun ia harus meminta-minta kepada orang lain.
Lagi-lagi sesak dadaku rasanya…
***
Aku sebagai istrimu, sangat paham kalau kondisi perekonomian kita memang sedang ‘tidak tertata’. Tetapi, aku mohon dengan sangat jangan lupakan kewajiban-kewajiban sebagai seorang ayah dan suami (karena aku wajib mengingatkan kalau kamu lupa).
Di samping ada nafkah batin (seks, kasih sayang, spiritualitas), ada juga nafkah lahir berupa materi seperti biaya-biaya operasional rumah tangga, biaya uang belanja bulanan serta uang nafkah seperti yang tercantum di buku nikah.
Namun, aku tidak mau meminta lebih. Berapa pun aku terima. Tapi, kadang-kadang aku juga merasa jengah dan sedikit ‘malu’ mendengar perkataan orang, “Sebagai laki-laki kok malah minta uang ke istri?”, “kemana uang hasil suami bekerja?”, “kenapa dia sangat sayang dengan uangnya?, padahal dia wajib memprioritaskan menafkahi keluarganya”, “kenapa dia mampu membeli barang-barang rongsokan ratusan ribu, tetapi tidak mampu membayar operasional rumah tangga?”
***
Aku ini juga seorang wanita, jadi aku sangat-sangat tahu kalau ibuku kurang suka atau bahkan tidak suka dengan suamiku. Bukan tanpa alasan, mungkin karena perangai suamiku yang temperamental, perkataan cenderung intonasi tinggi dan keras, membuat ibuku yang seorang sensitif jadi mudah tersinggung.
Beliau adalah wanita yang sudah sepuh. Di lingkungan ia tinggal pun tergolong orang yang dihormati dan disegani.
Dalam kondisi ekonomi yang darurat, aku masih ikhlas memberi sedekah kepada suami demi kebaikan bersama. Tapi, entah sampai kapan? Karena kondisi keuanganku sendiri pun tidak bisa diandalkan.
**
Kalau orang sudah tidak suka, apa pun yang kita lakukan akan selalu tampak salah. Apalagi, saat sedang tidak mood, bisa lebih mudah lagi tersulut emosi.
Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan kedua orang yang aku sayangi itu. Belum lagi, masalah lain internal hubungan suami istri, dan juga hubungan parenting antara aku dan anak-anak. Semakin menambah tantangan dalam hidupku.
**
Kalau lah aku ini adalah seorang wanita yang lemah iman dan akal, pasti aku sudah meminta izin bercerai agar bisa terlepas dari kewajibanku seorang istri yang seabrek itu. Atau agar aku tidak merasa ‘terbebani’ lagi harus menghadapi masalah-masalah rumit lain dalam berumah tangga.
**
Di dalam relung jiwaku yang sedang remuk dan pedih, aku sadar bahwa hidup ini memang ujian. Apakah itu suami, anak, atau orang tua, semua adalah ujian yang harus mampu aku tempuh hingga lulus.
**
Di satu sisi, aku ingin bersama membentuk keluarga kecilku sendiri seperti yang sudah aku rencanakan. Di sana ada kami, yaitu suami, istri, dan anak-anak. Karena, setelah menikah, putus sudah hak orang tua kepada anak perempuannya, berganti menjadi hak penuh suaminya.
Bahkan, mungkin saja dengan berumah tangga lepas dari orang tua, kami juga bisa berlatih mandiri, tidak manja dari segi ekonomi ataupun kemapanan. Susah senang, sehat sakit, entah hanya makan nasi dan garam, kami masih bisa tersenyum, karena aku tidak perlu menyedihkan dan menyakiti hati orang tua dengan meminta uang dari gaji pensiunannya. Benar-benar lepas dari ketiak orang tua.
**
Kondisi dilematis ini hanya bisa dijawab dengan komunikasi yang baik antara suami dan istri. Keinginan satu orang yang terlalu memaksakan kehendak juga tidak akan berujung baik.
Aku hanya berharap bisa berumah tangga secara mandiri dan lepas dari orang tua. Alasanku hanya satu. Aku tidak mau lagi menyakiti hati ibuku. Aku hanya ingin meminimalisir ‘gesekan-gesekan’ antara orang tua dan anak. Mungkin kondisi ini hanya bisa dipahami oleh anak yang tinggal masih seatap dengan orang tua selepas pernikahan.
Aku ingin dipandang sebagai anak yang selalu membawa kenangan manis ketika aku jauh. Aku juga ingin dikenang memiliki suami yang berperangai baik di mata ibuku, setidaknya suamiku dan ibuku tidak perlu lagi tinggal seatap dan terlibat ‘gesekan’ yang menyulut perselisihan.
Ada ungkapan yang mengatakan, “Orang yang memiliki peluang paling besar untuk menyakiti kita adalah orang yang paling kita sayangi”. Jadi, sengaja atau tidak sengaja, kita akan lebih mudah menyakiti orang terdekat kita, termasuk ibu kita.
Bahkan, ada orang yang bilang, “anak yang tinggal jauh akan terasa lebih dirindukan, ketimbang anak yang tinggal dekat orang tua,” See… mungkinkah ada benarnya???
***
Aku ingin sekali bisa membahagiakan keduanya, suamiku dan ibuku. Jadi, izinkan aku untuk berbakti pada suamiku terlebih dahulu, baru ibuku.
Malang, 15-November-2016
Malam Supermoon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H