Mohon tunggu...
sofyan yunus
sofyan yunus Mohon Tunggu... -

Just human like u

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hoax 1 Syawal, Luar Biasa Ceroboh

4 September 2011   20:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:14 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Riuh rendah, kecaman dan dukungan menghiasi Kompasiana. Terutama setelah kemunculan tulisan yang berkaitan dengan penetapan 1 Syawal di tanah Arab sana. Ada yang menilai kandungan tulisan itu hanya isapan jempol semata alias HOAX. Karena hasil analisa penulis (Kompasiner) lain melalui ceksilang atas informasi yang diungkapkan itu tidak memiliki akurasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sebagai konsekwensinya, para Kompasiner meminta pertanggungjawaban. Kepada penulis HOAX itu, agar melakukan koreksi yang disertai permintaan maaf atas ketidakakuratan informasi yang disampaikan (bila perlu tulisan itu harus dihapus). Sekaligus memprotes sang Admin Kompasiana yang salah langkah karena menetapkan sebagai tulisan yang direkomendasikan.

Permintaan pertama sah mengingat tulisan yang ada di Kompasiana bukanlah media ekspresi tempat HOAX beranak pinak. Kompasiana meski dibangun dengan platform blog, yang artinya, bahwa setiap penulis bebas berekspresi untuk mengungkapkan pikiran secara terbuka, merupakan media ekspresi yang disertai tanggungjawab.

Yakni tulisan yang dipublikasikan oleh Kompasiner harus menjunjung tinggi kebenaran informasi yang disampaikan lebih-lebih kalau informasi itu berkaitan dengan kepentingan (JUTAAN ORANG!). Selain atas dasar kebenaran, informasi yang disampaikan harus disertai dukungan fakta dan data yang memadai serta referensi yang akurat.

Kalau dikemudian hari, setelah melalui pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap informasi yang terbukti tidak benar, maka seorang penulis [0] wajib melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar.

Lebih-lebih, kalau penulis mengklaim diri bahwa tulisan itu merupakan hasil reportase dan menempatkan diri (seolah) sebagai “Pekerja Pers”, maka pada dirinya melekat sebuah acuan moral yang dikenal dengan “Kode Etik” yakni sama sekali tidak dibenarkan untuk menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta menjujung tinggi hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar[1].

Saya bisa memaklumi bila seorang komentator bersikap sinis atas kontradiksi ini, “Apa yang Anda lakukan sangat jauh dari kaidah jurnalistik yang baik dan benar. Sangat jauh! Sebaiknya tidak membawa-bawa ranah jurnalistik dalam tulisan yang Anda lakukan kemarin. …itu murni kesalahan amatir yang bersifat kekanak-kanakan dalam membuat sebuah tulisan. … Jurnalis sejati tidak akan pernah melakukan hal seperti itu.” [2]

Lewat sebuah pleidoi, pembelaan, dikatakan bahwa dalam dunia jurnalistik pemilihan judul yang kontroversial adalah lumrah dan digunakan hampir banyak wartawan profesional sekalipun. Tapi sebagian Kompasiner mempermasalahkan juga wajar,karena judul—-sesuai dengan konvensi jurnalistik—-setidaknya mencerminkan isi sebuah tulisan dan ternyata, lagi-lagi, yang terjadi justru tidak faktual (hoax).[3] Itulah yang menjadi inti kritik maupun koreksi bukan pada boleh atau tidaknya berkontroversial.

Saya agak ragu dengan kapasitas “wartawan professional” tempat ia “berguru”, terutama pada advisnya bagaimana menerapkan reportase yang benar. Sebagaimana pada pengakuan atas penggunaan kata “konon” dan “kabarnya” memperlihatkan isu yang diangkat berdasarkan sumber yang masih simpang siur (tidak jelas). Padahal, prinsip reportase paling mendasar adalah adanya isu (talking news) atau fakta yang diangkat harus dikonfirmasi (recheck) kepada sumber berita (narasumber) yang jelas (harga mati). Makanya dalam setiap reportase, selalu mengandung unsur (5 w + 1 h), sebagaimana terlihat berita di media massa umumnya. Kalau tidak, seorang redaktur yang benar-benar pro akan segera mengirim hasil reportase yang ber”konon” dan ber”kabarnya” ke recycle bin (alias tong sampah).

Sementara protes Kompasiner kepada Admin yang menempatkan HOAX sebagai tulisan yang direkomendasikan bisa sah bisa juga tidak. Kalau memang penempatan tulisan itu atas dasar pilihan Admin, maka sang Admin perlu dipertanyakan kredibilitasnya. Saya agak ragu bahwa sang Admin memiliki dasar jurnalistik yang memadai sebab seorang yang diserahi tanggung jawab untuk desk (rubrikasi dalam media) memiliki pemahaman yang kuat pada bidang tugasnya dan satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah soal AKURASI! Jika tidak, FATAL! (bisa berdampak hukum).

Sebaliknya, jikalau penempatan tulisan itu tidak dilakukan oleh sang Admin, berarti kita bisa memahaminya sebagai sebuah pola kerja mesin web yang bekerja secara otomatis berdasarkan rangking (banyaknya) jumlah hits (atau pembaca) HOAX tersebut. Artinya, melalui sebuah algoritma[4] yang melekat pada sistem itu, memungkinkan tulisan yang jumlah pembacanya terbanyak akan secara otomatis ditempatkan pada “rubrik” yang direkomendasikan (atau tulisan yang direkomendasikan). Semakin banyak hits atas HOAX itu, maka posisi dalam urutannya akan semakin tinggi (dan sempat menjadi jawara?)[5]. Sebaliknya, kalau hitsnya rendah, tulisan itu tidak terlihat sebagai tulisan yang direkomendasikan (ID posting terkait HOAX itu, dalam urutan buncit).

Catatan:

[0] Penanggung jawab biasanya lembaga (Kompasiana?). Kompasiner lain bisa baca di “Term and Use” Kompasiana, agar terhindar dari jebakan yang tidak perlu. Kalau Kompasiana, sudah menekankan bahwa seluruh isi adalah tanggung jawab Kompasiner, harap hati-hati sebab ada sejumlah mata di luar sana mengawasi opini Kompasiner. Melalui distribusi multi device (termasuk B=black B=Berry M=Messenger), opini Kompasiner bisa terdokumentasi dengan baik dan bisa dijadikan alat bukti meski di server Kompasiana terhapus.

[1] Kalau seseorang melanggar hak orang lain [melalui tulisan] yang terkait dengan ketidakbenaran informasi [karena hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar], maka Kompasiner penyebar HOAX bisa dikenai pasal pidana (kalau sempat, perhatikan KUHP, ada sejumlah pasal yang siap dijadikan ‘peluru’—aparat sangat lihai dalam hal ini). Bagaimanapun, atas dasar UU yang mengikat, seseorang bisa melapor atas nama hukum karena dirugikan. Yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah Kompasiana sebagai lembaga, jika [sekali lagi] Kompasiana mengelak melalui “Term and Use”, maka Kompasiner penyebar HOAX yang bertanggung jawab penuh.  Kompasiner lain, bisa bandingkan dengan UU kebebasan informasi.

[2] Sudah melalui editing struktur (tanpa mengubah maksudnya). Aslinya, Lihat di “Jawaban Atas Sebuah Kontraversi Tulisan” oleh Jiddan. Sejumlah komentator menggunakan agama (Islam) sebagai dasar, sebuah cara yang tidak fair, karena memang tidak masuk kedalam hukum positif Indonesia. Penulis melalui tulisan ini melakukan pembelaan diri, namun tidak mampu menghapus subtansi masalahnya: HOAX! Tidak akurat, LOW TASTE JOURNALISM dan alur logika yang buruk terutama “SILOGISME”nya serta penerapan eufimisme bahasa untuk menghindar dari tanggung jawab (ekspresi pengecut melalui penggunaan bahasa).
[3] Sebagai ditunjukkan oleh Mustofa B. Nahrawardaya, termasuk melalui cek silang, ternyata tidak didapatkan data yang mendukung 1 Syawal jatuh pada Rabu serta pemerintah A Saudi membayar kafarat.
[4] Secara sederhana dimaknai sebagai alur logika dalam bahasa pemrograman (mungkin juga meta bahasa-HTML dll). Untuk lihatnya, bisa Kompasiner klik kanan mouse saat online pilih “View Page Source”. Detailnya, Kompasiner bisa baca di Wiki.

[5] CMIIW (Correct me if I am wrong). Cara ini sebagai standar komunikasi online. Bedakan kritik (koreksi) atas isi dan serangan personal. Debat positif mengandung “Ongoing debate” yang berakhir pada, “Bahwa peserta debat tunduk pada kebenaran”.

----

About Me:

Saya, Kompasiner pemula, tidak memiliki cukup pengalaman jurnalistik. Tapi pernah berkecimpung di JPNN (Jawa Pos News Network), begitu amat langka melakukan rapat di Graha Pena, JP. Sering dimarahi sang Redaktur, kalau menyangkut soal akurasi tulisan. Sekali-skali diintegorasi oleh sang letnan kolonel militer plus pasi intel, skali-skali diberi stempel “provokator” oleh sang letnan kolonel polisi (pangkat lama), skali-skali dituduh biang rusuh!, dianggap musuh, juga karena protes akan akurasi tulisan… tapi untung, dibekali sebuah “tool” yang dikenal dengan “Hak Jawab”, “Hak Koreksi” (sebuah keharusan menurut UU). Tulisan ini hanya sebuah pendapat pribadi, sedikit inspirasi dari UU Pers dan Kode Etik Wartawan serta bayang-bayang wajah redaktur. Tidak berani mengklaim diri tulisan ini sebuah reportase—karena reportase, memiliki demarkasi jelas—fakta ya fakta, opini ya opini. Tidak boleh dicampuradukan… itulah sejatinya reportase… Saya tidak tau tentang kerja system Kompasiana, tapi, setidaknya, saya belajar pada system yang dikembangkan di www.inovasive.com...

Lampiran:

Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)

Kemerdekaan pers merupakan sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Dalam perwujudan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman masyarakat.

Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan suatu landasan moral (etika) profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.

Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan Kode Etik:

1.Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3.Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4.Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5.Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalah­gunakan profesi.
6.Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
7.Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.

Pengawasan dan penetapan sangsi atas pelanggaran kode etik ini sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun