[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="http://ranselkecil.com/"][/caption]
Suro Dento, pemimpin kelompok golok terbang sangat marah, melihat anak buahnya dihabisi satu per satu, tanpa pernah mampu menemukan pelakunya, tanda dua jari pada empat belas korban terakhir, ditangkap Suro Dento sebagai tantangan. Anggota golok terbang ada 57 orang, kini tersisa 22, lainnya dikirim ke alam baka hanya dalam waktu enam bulan. Sebuah kenyataan yang menyakitkan. Lima belas tahun Suro Dento malang melintang di wilayah jawa timur, melindungi perusahaan ekspedisi dengan imbalan sejumlah uang, guna mencegah perampokan atas barang-barang kiriman. Para transportir operator truk-truk barang merasa aman dengan membayar sejumlah uang pada Suro Dento, truk mereka tidak pernah lagi diganggu perampok, pencuri kecil-kecilan segera diketemukan, diselesaikan. Golok terbang menjaga keamanan pada beberapa tempat hiburan, pabrik dan lokasi parkir. Bisnis preman dan security menghasilkan banyak uang, sehingga Suro Dento hidup mewah dengan dua istri di daerah lamongan. Suro Dento seorang pemimpin yang baik, tegas dan kejam, melindungi seluruh anak buah, membagi penghasilan dengan adil, mencukupi seluruh kebutuhan hidup anggota sehingga mereka hidup berkecukupan. Sebaliknya, bila ada anggota yang berani melanggar peraturan, merusak atau mencuri dari perusahaan, toko, pasar yang mereka lindungi, Suro Dento tidak segan-segan menghabisi atau menghukum berat anggota sendiri.
Lokasi Pembunuhan anggota golok terbang tersebar di berbagai kota, Tuban, Blora, Bojonegoro, Gresik. Suro Dento menghubungi sahabat-sahabat di kota semarang, jogyakarta dan madiun, guna meminta bantuan mereka jika mengenali si pembunuh, atau mengetahui dari kelompok mana. Akan tetapi hampir satu tahun, tidak ada umpan balik dari rekan-rekan Suro Dento. Satu-satunya petunjuk datang dari kelompok Gunung Muria, seorang kenalan pernah memergoki pertempuran di sebuah desa wilayah rembang, Panji Tumitir, demikian orang dari gunung muria. Melihat anggota golok terbang, bertahan mati-matian didesak lawan, Panji Tumitir datang membantu, dikeroyok dua orang, sang lawan dengan mudah mengatasi serbuan mereka. Panji Tumitir sendiri, terkena sebuah tusukan jari pada punda kanan sehingga menimbulkan luka bakar, pukulan keras pada tengguk membuat Panji Tumitir pingsan, sehingga ia tidak melihat bagaimana lawan menghabisi anggota golok terbang. Ketika sadar hanya melihat anggota golok terbang sudah kaku terbaring dengan dua luka bakar dikening dan tanda menghitam pada dada kiri.
Panji Tumitir menceritakan pengalamannya pada sang Ketua, sang ketua meminta Panji Tumitir datang ke lamongan untuk menceritakan hal tersebut pada Suro Dento. Sejak itu kelompok Golok terbang menjuluki musuhnya sebagai “Jari Maut”. Suro Dento mengerahkan daya upaya untuk memburu Jari Maut, namun tidak pernah berhasil mengendus keberadaannya. Berbagai kelompok yang bersahabat mencoba membantu, meskipun sebagian hanya basa basi, mereka sendiri tidak ingin mengorbankan sesuatu secara sia-sia. Hasilnya nihil, si jari maut bagaikan bayangan. Suro Dento sendiri beberapa kali berkeliling ke cabang cabang golok terbang untuk meyakinkan anggota mereka tidak berkurang serta meminta seluruh anggota meningkatkan kewaspadaan.
Suro Dento seorang lelaki dengan kegemaran pelesir, lima belas tahun menikmati kesuksesan dan kekayaan, mengubah gaya hidupnya. Dia bukan lagi pekerja keras sebagaimana dahulu, karena cukup dengan smart phone atau kata-kata Suro Dento mampu mengatur organisasi dengan baik. Lobby, hubungan baik serta hadiah, membuat Suro Dento semakin aman dari gangguan kelompok sejenis, maupun pihak berwajib. Kepolisian tidak menganggap golok terbang sebagai kelompok kriminal, faktanya mereka memang tidak pernah menimbulkan huru hara atau mengganggu ketenteraman masyarakat. Bisnis mereka adalah layanan keamanan, memberikan rasa aman para pelanggan. Kepolisian bahkan menganggap golok terbang sebagai rekanan, karena mereka bisa saja meminta bantuan Suro Dento untuk menemukan perampok, pencuri yang beraksi, menangkap, memenjarakan atau memusnahkan. Polisi sebagai penegak hukum, dibatasi oleh hukum itu sendiri.
Senja remang di kota malang, embun membujur, angin sejuk dingin bertiup. Tak lama gerimis menghiasi suasana, mendatangkan perasaan romantis wilayah batu. Lelaki 55 tahun, bernama Suro Dento duduk di teras sebuah villa, pikiran resah gelisah. Guna menghibur diri, Suro Dento pelesir mencari ketenangan, kota batu sungguh tempat cocok, ketenangan, bunga bermekaran, harum semerbak. Suro Dento mengajak selingkuhannya, seorang wanita muda berumur 22 tahun, meskipun memiliki dua istri, Suro Dento masih sangat suka menikmati daun muda, istri pertama, 48 tahun, istri kedua 37 tahun. Bisa jadi kedua istri menjadi belahan jiwa, namun lebih cocok disebut sebagai simbol status sosial. Suro Dento memperlakukan kedua istri dengan “baik”, memberikan masing-masing satu rumah, dan Suro Dento sering menginap di rumah istri muda, meskipun domisili resmi tetap di rumah istri tua. Sang istri tua sedikit tidak peduli, lebih tepat disebut “pasrah”, lebih baik ia menikmati situasi yang ada, berbelanja kapan, kemana dia suka. Kecukupan materi membuat istrinya tidak pernah protes pada situasi.
Suro Dento berusaha menyingkirkan keresahan dengan berkencan, Diah Maemunah, demikian nama selingkuhannya, sudah dua tahun menjalin hubungan dengan Suro Dento, bekas sales promotion girl gadungan sebuah dealer mobil, menerima “pinangan” Suro Dento, tokh Suro Dento tidak setiap waktu menyinggahi apartemen di Surabaya, hanya dua kali sebulan, Suro Dento mengunjungi Diah, sementara Diah memperoleh segala fasilitas, sebuah apartemen kelas menengah, mobil ditambah uang belanja bulanan lebih dari cukup.
Diah senang sekali saat diajak Suro Dento ke batu, sang sopir menjemput karena Suro Dento sudah berada di villa pribadi selama dua hari. Siang tadi Suro Dento memperolah layanan memuaskan, menghempaskan fantasi seksual, berimajinasi tentang kemudaan, dada ranum, kulit mulus, desahan mesra perempuan muda, melambungkan impian Suro Dento tentang kenikmatan, saat itu Ia benar-benar mampu melupakan segala masalah kehidupan, tenggelam dalam madu asmara, danau kemesraan.
Kursi goyang bagaikan singgasana para raja, Suro dento menikmati gerimis sore, coklat hangat membasahi kerongkongan. Tak urung pikiran kembali terganggu dengan bayangan “Jari Maut”. Persoalan yang tak mampu Ia atasi selama satu setengah tahun terakhir. Namun Diah Maemunah mampu memberikan hiburan, seharian bergelut, bermesraan, bercanda memusnahkan segala kekhawatiran. Meskipun demikian, saat hajat terpenuhi, kepuasan biologis terhempaskan, pikiran Suro dento kembali resah. Ia duduk sendiri memandang rerumputan. Melamun, tersenyum. Empat puluh menit kemudian, ketenangan Suro Dento terusik, ketika sebatang papan menderak lantai kayu teras villa. Clingak clinguk meningkatkan kewaspadaan, apakah ini sebuah ketidak sengajaan dari orang sekitar? Suro Dento tidak menemukan sesuatu yang ganjil. Dipungutnya papan selebar telapak tangan. Terkesiap Suro Dento saat melihat tanda dua titik tepat ditengah Papan. Secara reflek, Suro Dento masuk kedalam villa, menyambar sebuah golok diatas meja, golok pusaka. Golok inilah yang membesarkan nama Suro Dento sejak lima belas tahun silam. Suro Dento adalah murid terkasih Padepokan Macan Kumbang di blambangan.
Empat tahun Suro Dento malang melintang di wilayah Lamongan setelah selesai belajar, menaklukan berbagai kelompok preman, mendirikan kelompok Golok terbang. Para bekas preman, rampok dan copet ditaklukan, dibina, diberi pelajaran ilmu bela diri, dilatih kedisiplinan serta ketaatan pada organisasi. Muncullah kelompok golok terbang menawarkan layanan keamanan.
Kembali ke teras dengan golok terhunus, Suro Dento melangkah mantap ke halaman depan, Ia berpesan agar Diah bersembunyi di pavilliun villa dan jangan pernah keluar, apapun yang terjadi. Suro Dento bersuit tiga kali, sebagai isyarat memanggil pengawal, namun tidaka ada sahutan, biasanya bila ia bersuit tiga kali, pengawal akan menjawab dengan tiga kali suitan yang sama dan muncul sesudahnya. Kesunyian dalam gerimis membuat Suro Dento semakin berdebar, kembali Ia bersuit. 30 detik kemudian dua bayangan melayang dam jatuh berdebum dihadapannya. Suro Dento meloncat ke belakang, menghindar. Alangkah kaget hati Suro Dento saat melihat dua bayagan itu adalah mayat dua pengawal. “Setan, demit … keluar” teriak Suro Dento membahana, “Tunjukkan batang hidungmu”. Tidaka ada sahutan sama sekali, gerimis terus mengucur, menelan suara Suro Dento. Golok ditangan bergetar, Suro Dento mengerahkan tenaga, meningkatkan kewaspadaan, seluruh urat syaraf menegang, pandang mata makin tajam menatap, telinga dipasang guna menangkap suara-suara mencurigakan. Namun tidak ada sahutan sama sekali. Detik demi detik berlalu, Suro Dento berdiri tegak, dua kaki terpentang, gerimis membasahi seluruh tubuh tidak dipedulikan. Tidak tahan dalam kesunyian Suro Dento melangkah mengelilingi pagar, golok terhunus, urat syaraf menegang.
Sunyi, kecuali titik titik air menyuarakan nyanyian alam, Suro Dento semakin tegang. “kelepak …” Suro Dento menoleh ke kiri mendengar suara lembut, matanya terbelalak melihat bangkai ayam terjatuh entah darimana. “Bangsat, keluar kalo berani” Suro Dento berteriak mengusir kegusaran diri. Tiba-tiba Suro dento mengangkat tangan kiri dan menangkap sesuatu saat naluri menisyaratkan sebuah benda melayang ke arahnya, makin marah Suro Dento, karena benda yang ditangkap adalah bangkai kucing. Tiga puluh menit, bagaikan tiga tahun bagi Suro Dento, ketegangan, kemarahan, kegusaran bercampur jadi satu. Telinganya terus mengikuti setiap suara, menjamin kewaspadaan.
Memutuskan untuk kembali ke tangah halaman, Suro Dento berhitung cermat, lebih baik menghadapi lawan di medan terbuka daripada kena serangan gelap. Delapan belas menit kemudian, sebuah potongan kayu sebesar bantal guling meluncur ke arah Suro Dento, sigap Suro Dento menyambut, dua sabetan golok membuat batang kayu terpotong, luas biasa kekuatan Suro Dento.
Tepat saat suara adzan Iesya berkumandang, sebuah bayangan melangkah tenang dari gapura depan. Gerimis sedikit menghalangi pandangan, Suro Dento mencoba untuk tenang, golok melintang di dada, kaki terpentang. Sang bayangan pelan namun pasti, maju selangkah demi selangkah, berhenti pada jarak 10 meter. “Suro Dento” suara serak bayangan memanggil. “Aku Suro Dento” Jawab Suro Dento tenang, memang hatinya kini makin tenang, setelah yakin bahwa bayangan yang datang adalah sosok manusia, bukan setan atau hantu sebagaimana Ia pikirkan. “Siapa kau” Tanya Suro dento lantang. Bayangan itu tertawa, purau, tak urung Suro Dento bergidik. “Bukankah selama ini engkau menacariku Suro Dento”. “Hmm … engkaukah si Jari Maut”. Jari maut tidak menjawab, melainkan kembali tertawa purau. “Boleh saja engkau menamakan aku Jari Maut, tidak buruk” bayangan itu melanjutkan.
“Engkau mencari mati, membunuhi 35 anggota golok terbang, dan kini 37” bentak Suro Dento keren. Bayangan itu mendengus. Tanpa menunggu lagi, Suro Dento melompat, menyerang dengan sebetan golok. Luar biasa gerakan Suro dento, cepat, kuat, berirama, golok berubah menjadi gulungan-gulungan maut menerjang lawan. Jari maut, bergerak menyamping, menangkis lengan Suro dento, baginya gerakan Suro dento masih terlalu lamban, sehingga ia bisa mendorong lengan Suro dento tanpa tersentuh gulungan golok.
Suro dento merasakan tangan kanan kesemutan saat berbenturan dengan lengan sang bayangan. Segera tangan kiri Suro dento menyusulkan pukulan maut, batu pun akan pecah terkena pukulan Suro Dento, namun bayangan itu menyambut dengan tenang, mendorong tangan kanan kesamping sehingga pukulan Suro dento menyeleweng, Suro dento menyusulkan tendangan putar, sang bayangan mencondongkan tubuh ke belakang. Suro Dento kembali berdiri tegak setelah empat jurus serangan tidak mendatangkan hasil sama sekali, kaki melangkah ke samping satu satu, bagaikan ayam petarung mengelilingi lawan. Sang bayangan hanya berdiri tegak, tanpa bergerak. Tak lama Suro dento kembali melompat, menyerang dengan jurus golok terbang menyapu lautan, disusul kepalan tangan kiri memainkan jurus kumala berdendang. Serangan ini sangat dasyat karena golok menyerang dari atas langsung ke kepala lawan, sementara lengan kiri menyusul menyerang dada. Bagi petarung yang kurang waspada bisa tertipu, menyangka golok itulah serangan utama, sesungguhnya kepalan tangan yang lebih berbahaya. Namun bayangan itu, tidak bergeming, menunggu serangan golok semakin dekat, Suro dento bergembira mengira lawan tidak mampu menghindar, Ia bersiap untuk menyusulkan pukulan maut mematikan.
Suro Dento terkesiap, saat tiba tiba entah bagaimana caranya, mendadak merasakan dagunya dihantam sebuah tangan terbuka, saat masih melayang di udara. Tangan kiri menyusulkan serangan maut, namun tertangkap tangan lembut, Suro Dento mencoba membacokkan golok menabas tangan yang menangkap lengan kirin, namun Ia kalah cepat, tangan lembut bagaikan jepitan besi memelintir lengan sehingga Suro Dento menggaduh, otomatis sabetan golok menyelewen. Suro dento terpelanting, terbanting di tanah, mengerang karena sendi lengan kiri lepas. Tertatih tatih Suro dento mencoba bangun, mulut menyeringai menahan sakit di siku kiri. Suro Dento mengatur nafas, mengerahkan tenaga cadangan, membangkitkan tenaga dalam, melompat tinggi, bersalto dua kali dan meluncur, tangan kanan lurus memegang golok terhunus, langsung menyerang ubun-ubun lawan. Sang bayangan, bergerak kesamping satu langkah, kepala masih menunduk, hanya mengandalkan pendengaran, karena bagaimanapun telinga masih lebih unggul dibanding pandangan mata dalam ituasi gerimis berkabut. Suro Dento sangat yakin, kali ini jurus elang menerkan anak ayam akan menyudahi sang lawan. Ia menambah tenaga pada lengan kanan untuk memperkuat tusukan golok. Saat golok Suro dento berjarak sejengkal dari ubun-ubun sang bayangan, Suro Dento merasakan sebuah sentuhan lembut pada pundak kiri, secara reflek Suro dento memutar tubuh di udara, karena sendi siku kiri semakin nyeri, tanpa mengubah arah serangan tangan kanan. Suro dento mengeluh pendek, lambung kiri kembali merasakan telapak tangan menyentuh, menggeliat Suro dento, jatuh berdebam di tanah, kehilangan keseimbangan. Tulang pundak kiri terasa sangat nyeri, saat mencoba bangkit, Suro dento terhuyung, tak mampu menahan keseimbangan, pinggang kiri terasa lumpuh. Rasa panas menjalar ke seluruh tubuh, tulang panggul kiri remuk. Suro dento berdiri, menumpu pada lutut kanan, pundak dan pinggang kiri tidak mampu menopang tubuhnya untuk berdiri tegak. Tangan kanan bertumpuk pada golok yang tertancap di tanah, seluruh tubuh panas, nyeri, ngilu. Kepala mendongak, menatap sang bayangan diam membisu.
“Siapa yang menyuruhmu merampok seorang saudagar di Bojonegoro, satu setengah tahun lalu?” sang bayangan bertanya, pelan namun jelas mengatasi derik gerimis. Suro Dento mengeluh, menggigit bibir menahan kesakitan sekujur tubuh. “Bunuhlah aku” Suro Dento mencoba bersikap gagah, meskipun suara terbata. Sang bayangan mendengus, “Kematianmu tiada guna bagiku” suara sang bayangan masih tenang, “aku bukan menghendaki nyawamu” lanjutnya pula. Suro Dento susah payah menahan sakit, nafasnya tersengal.
Sang bayangan mendekat, melempar sepotong gerabah, tampaknya potongan genteng rumah. “aku menunggu khabar darimu dalam bulan depan” katanya pula, kemudian melangkah mundur tiga tindak, membalikkan badan, menggeloyor pergi, melihat kesempatan ini, Suro Dento mengerahkan tenaga tersisa dan melemparkan golok dengan kekuatan penuh menyerang punggung sang bayangan, terdengar suara “tap”, dan tiga detik kemudian, Suro dento mengerang panjang karena paha kanan sudah tertembus goloknya sendiri. “Bulan depan” suara sang bayangan bagaikan suara iblis, Suro Dento jatuh terjerembab, pingsan. Tangan kanan erat menggenggam potongan gerabah, agaknya saat-saat terakhir, naluri survival secara reflek menyuruh meraih sepotong gerabah didepan lututnya.
Warna putih mendominasi pandangan Suro Dento saat Ia tersadar, berhias senyum manis Diah Maemunah. Tujuhpuluh jam Suro Dento tak sadarkan diri di rumah sakit, dokter berhasil merekonstruksi tulang panggulnya, namun tidak tulang pundaknya, sehingga dua potong pin besi dipasang untuk memperkuat. Rasa nyeri bukan alang kepalang, menyerang pinggang dan pundak, Suro Dento memejamkan mata, Diah membelai kening sang kekasih. Suro Dento mengatur nafas, membuka mata, coba tersenyum “dimana kedua mbakyumu” tanya Suro Dento lirih, yang Ia maksud adalah kedua istrinya. Diah menggelengkan kepala “Beristirahatlah, Diah akan merawat, ndak usah kuatir” Diah kembali tersenyum duduk ditepi pembaringan. Suro Dento mengangguk, tak lama kembali tertidur.
Keesokan harinya, Suro Dento meminta Diah menghubungi Jauhari, wakil ketua golok terbang agar datang ke malang, menemui di rumah sakit. Sore Hari Jauhari muncul tergopoh-gopoh “apa yang terjadi kangmas?”. Suro Dento tidak menjawab, menanyakan keberadaan potongan gerabah pada Diah, untunglah Diah masih menyimpannya, karena Ia berpikir potongan gerabah itu sangat penting, karena dipegang erat Suro Dento saat Ia pingsan. Suro Dento menatap potongan gerabah, mengamatinya. Matanya menangkap 11 deret angka terukir jelas 85744441111, menarik nafas dalam-dalam dan meminta Diah menyimpan kembali.
“Jauhari” suara Suro dento pelan dalam.
“Dalem kangmas” jauhari menyahut.
“Setahuku, proyek bojonegoro, kamulah yang membawa” Suro dento berkata dengan nada serius.
“Benar kangmas” Jawab Jauhari takzim.
“Siapa pelanggan kita” Tanya Suro Dento lagi.
Jauhari, menahan nafas, melepaskannya pelan. Ia tidak terlalu memperhatikan, karena menganggap proyek bojonegoro bukan hal besar. Namun kini, Jauhari menyadari inilah awal dari malapetaka yang menimpa golok terbang, pikirannya melayang mengurut kembali peristiwa demi peristiwa. Dia lah yang mengatur eksekusi proyek, mengirim tiga utusan dari tataran rendah, karena beranggapan itu pekerjaan mudah. Suro Dento sendiri, tidak menganggap itu hal penting sehingga menyetujui usulan Jauhari
“Saya menerima dari seorang penghubung kangmas” Jauhari menjawab.
“Hmm… “ Suro Dento menghela nafas “apakah dia masih bisa dikontak?” lanjutnya pula.
“Masih kangmas, dia bahkan tidak membayar sisa tagihan karena kita dianggap gagal”
“Kontak dia, minta dia datang ke mari” pungkas Suro Dento. Jauhari mengangguk, melangkah keluar dan melakukan sambungan telepon.
Bersamsung ...
#010
Catatan : Tulisan berikut ini seluruhnya FIKTIF, sebuah FIKSI kreasi Penulis. Persamaan Nama, Peristiwa, Tempat tidak lebih hanya sebagai bingkai cerita. Tidak ada maksud dan tujuan untuk mendiskreditkan siapapun atau pihak manapun, segala usul, saran, kritik, keberatan agar menghubungi penulis. Penerbit tidak bertanggung jawab atas Isi tulisan. Selamat menikmati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H