Mohon tunggu...
Sunan Doro
Sunan Doro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Linux Lover

Linux Defender, Android Supporter, Coffee Lover

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

#009: Bulan Sabit di Ufuk Republik

11 Agustus 2014   03:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:52 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://ranselkecil.com/

Kembali ke teras dengan golok terhunus, Suro Dento melangkah mantap ke halaman depan, Ia berpesan agar Diah bersembunyi di pavilliun villa dan jangan pernah keluar, apapun yang terjadi. Suro Dento bersuit tiga kali, sebagai isyarat memanggil pengawal, namun tidaka ada sahutan, biasanya bila ia bersuit tiga kali, pengawal akan menjawab dengan tiga kali suitan yang sama dan muncul sesudahnya. Kesunyian dalam gerimis membuat Suro Dento semakin berdebar, kembali Ia bersuit. 30 detik kemudian dua bayangan melayang dam jatuh berdebum dihadapannya. Suro Dento meloncat ke belakang, menghindar. Alangkah kaget hati Suro Dento saat melihat dua bayagan itu adalah mayat dua pengawal. “Setan, demit … keluar” teriak Suro Dento membahana, “Tunjukkan batang hidungmu”. Tidaka ada sahutan sama sekali, gerimis terus mengucur, menelan suara Suro Dento. Golok ditangan bergetar, Suro Dento mengerahkan tenaga, meningkatkan kewaspadaan, seluruh urat syaraf menegang, pandang mata makin tajam menatap, telinga dipasang guna menangkap suara-suara mencurigakan. Namun tidak ada sahutan sama sekali. Detik demi detik berlalu, Suro Dento berdiri tegak, dua kaki terpentang, gerimis membasahi seluruh tubuh tidak dipedulikan. Tidak tahan dalam kesunyian Suro Dento melangkah mengelilingi pagar, golok terhunus, urat syaraf menegang.

Sunyi, kecuali titik titik air menyuarakan nyanyian alam, Suro Dento semakin tegang. “kelepak …” Suro Dento menoleh ke kiri mendengar suara lembut, matanya terbelalak melihat bangkai ayam terjatuh entah darimana. “Bangsat, keluar kalo berani” Suro Dento berteriak mengusir kegusaran diri. Tiba-tiba Suro dento mengangkat tangan kiri dan menangkap sesuatu saat naluri menisyaratkan sebuah benda melayang ke arahnya, makin marah Suro Dento, karena benda yang ditangkap adalah bangkai kucing. Tiga puluh menit, bagaikan tiga tahun bagi Suro Dento, ketegangan, kemarahan, kegusaran bercampur jadi satu. Telinganya terus mengikuti setiap suara, menjamin kewaspadaan.

Memutuskan untuk kembali ke tangah halaman, Suro Dento berhitung cermat, lebih baik menghadapi lawan di medan terbuka daripada kena serangan gelap. Delapan belas menit kemudian, sebuah potongan kayu sebesar bantal guling meluncur ke arah Suro Dento, sigap Suro Dento menyambut, dua sabetan golok membuat batang kayu terpotong, luas biasa kekuatan Suro Dento.

Tepat saat suara adzan Iesya berkumandang, sebuah bayangan melangkah tenang dari gapura depan. Gerimis sedikit menghalangi pandangan, Suro Dento mencoba untuk tenang, golok melintang di dada, kaki terpentang. Sang bayangan pelan namun pasti, maju selangkah demi selangkah, berhenti pada jarak 10 meter. “Suro Dento” suara serak bayangan memanggil. “Aku Suro Dento” Jawab Suro Dento tenang, memang hatinya kini makin tenang, setelah yakin bahwa bayangan yang datang adalah sosok manusia, bukan setan atau hantu sebagaimana Ia pikirkan. “Siapa kau” Tanya Suro dento lantang. Bayangan itu tertawa, purau, tak urung Suro Dento bergidik. “Bukankah selama ini engkau menacariku Suro Dento”. “Hmm … engkaukah si Jari Maut”. Jari maut tidak menjawab, melainkan kembali tertawa purau. “Boleh saja engkau menamakan aku Jari Maut, tidak buruk” bayangan itu melanjutkan.

“Engkau mencari mati, membunuhi 35 anggota golok terbang, dan kini 37” bentak Suro Dento keren. Bayangan itu mendengus. Tanpa menunggu lagi, Suro Dento melompat, menyerang dengan sebetan golok. Luar biasa gerakan Suro dento, cepat, kuat, berirama, golok berubah menjadi gulungan-gulungan maut menerjang lawan. Jari maut, bergerak menyamping, menangkis lengan Suro dento, baginya gerakan Suro dento masih terlalu lamban, sehingga ia bisa mendorong lengan Suro dento tanpa tersentuh gulungan golok.

Suro dento merasakan tangan kanan kesemutan saat berbenturan dengan lengan sang bayangan. Segera tangan kiri Suro dento menyusulkan pukulan maut, batu pun akan pecah terkena pukulan Suro Dento, namun bayangan itu menyambut dengan tenang, mendorong tangan kanan kesamping sehingga pukulan Suro dento menyeleweng, Suro dento menyusulkan tendangan putar, sang bayangan mencondongkan tubuh ke belakang. Suro Dento kembali berdiri tegak setelah empat jurus serangan tidak mendatangkan hasil sama sekali, kaki melangkah ke samping satu satu, bagaikan ayam petarung mengelilingi lawan. Sang bayangan hanya berdiri tegak, tanpa bergerak. Tak lama Suro dento kembali melompat, menyerang dengan jurus golok terbang menyapu lautan, disusul kepalan tangan kiri memainkan jurus kumala berdendang. Serangan ini sangat dasyat karena golok menyerang dari atas langsung ke kepala lawan, sementara lengan kiri menyusul menyerang dada. Bagi petarung yang kurang waspada bisa tertipu, menyangka golok itulah serangan utama, sesungguhnya kepalan tangan yang lebih berbahaya. Namun bayangan itu, tidak bergeming, menunggu serangan golok semakin dekat, Suro dento bergembira mengira lawan tidak mampu menghindar, Ia bersiap untuk menyusulkan pukulan maut mematikan.

Suro Dento terkesiap, saat tiba tiba entah bagaimana caranya, mendadak merasakan dagunya dihantam sebuah tangan terbuka, saat masih melayang di udara. Tangan kiri menyusulkan serangan maut, namun tertangkap tangan lembut, Suro Dento mencoba membacokkan golok menabas tangan yang menangkap lengan kirin, namun Ia kalah cepat, tangan lembut bagaikan jepitan besi memelintir lengan sehingga Suro Dento menggaduh, otomatis sabetan golok menyelewen. Suro dento terpelanting, terbanting di tanah, mengerang karena sendi lengan kiri lepas. Tertatih tatih Suro dento mencoba bangun, mulut menyeringai menahan sakit di siku kiri. Suro Dento mengatur nafas, mengerahkan tenaga cadangan, membangkitkan tenaga dalam, melompat tinggi, bersalto dua kali dan meluncur, tangan kanan lurus memegang golok terhunus, langsung menyerang ubun-ubun lawan. Sang bayangan, bergerak kesamping satu langkah, kepala masih menunduk, hanya mengandalkan pendengaran, karena bagaimanapun telinga masih lebih unggul dibanding pandangan mata dalam ituasi gerimis berkabut. Suro Dento sangat yakin, kali ini jurus elang menerkan anak ayam akan menyudahi sang lawan. Ia menambah tenaga pada lengan kanan untuk memperkuat tusukan golok. Saat golok Suro dento berjarak sejengkal dari ubun-ubun sang bayangan, Suro Dento merasakan sebuah sentuhan lembut pada pundak kiri, secara reflek Suro dento memutar tubuh di udara, karena sendi siku kiri semakin nyeri, tanpa mengubah arah serangan tangan kanan. Suro dento mengeluh pendek, lambung kiri kembali merasakan telapak tangan menyentuh, menggeliat Suro dento, jatuh berdebam di tanah, kehilangan keseimbangan. Tulang pundak kiri terasa sangat nyeri, saat mencoba bangkit, Suro dento terhuyung, tak mampu menahan keseimbangan, pinggang kiri terasa lumpuh. Rasa panas menjalar ke seluruh tubuh, tulang panggul kiri remuk. Suro dento berdiri, menumpu pada lutut kanan, pundak dan pinggang kiri tidak mampu menopang tubuhnya untuk berdiri tegak. Tangan kanan bertumpuk pada golok yang tertancap di tanah, seluruh tubuh panas, nyeri, ngilu. Kepala mendongak, menatap sang bayangan diam membisu.

“Siapa yang menyuruhmu merampok seorang saudagar di Bojonegoro, satu setengah tahun lalu?” sang bayangan bertanya, pelan namun jelas mengatasi derik gerimis. Suro Dento mengeluh, menggigit bibir menahan kesakitan sekujur tubuh. “Bunuhlah aku” Suro Dento mencoba bersikap gagah, meskipun suara terbata. Sang bayangan mendengus, “Kematianmu tiada guna bagiku” suara sang bayangan masih tenang, “aku bukan menghendaki nyawamu” lanjutnya pula. Suro Dento susah payah menahan sakit, nafasnya tersengal.

Sang bayangan mendekat, melempar sepotong gerabah, tampaknya potongan genteng rumah. “aku menunggu khabar darimu dalam bulan depan” katanya pula, kemudian melangkah mundur tiga tindak, membalikkan badan, menggeloyor pergi, melihat kesempatan ini, Suro Dento mengerahkan tenaga tersisa dan melemparkan golok dengan kekuatan penuh menyerang punggung sang bayangan, terdengar suara “tap”, dan tiga detik kemudian, Suro dento mengerang panjang karena paha kanan sudah tertembus goloknya sendiri. “Bulan depan” suara sang bayangan bagaikan suara iblis, Suro Dento jatuh terjerembab, pingsan. Tangan kanan erat menggenggam potongan gerabah, agaknya saat-saat terakhir, naluri survival secara reflek menyuruh meraih sepotong gerabah didepan lututnya.

Warna putih mendominasi pandangan Suro Dento saat Ia tersadar, berhias senyum manis Diah Maemunah. Tujuhpuluh jam Suro Dento tak sadarkan diri di rumah sakit, dokter berhasil merekonstruksi tulang panggulnya, namun tidak tulang pundaknya, sehingga dua potong pin besi dipasang untuk memperkuat. Rasa nyeri bukan alang kepalang, menyerang pinggang dan pundak, Suro Dento memejamkan mata, Diah membelai kening sang kekasih. Suro Dento mengatur nafas, membuka mata, coba tersenyum “dimana kedua mbakyumu” tanya Suro Dento lirih, yang Ia maksud adalah kedua istrinya. Diah menggelengkan kepala “Beristirahatlah, Diah akan merawat, ndak usah kuatir” Diah kembali tersenyum duduk ditepi pembaringan. Suro Dento mengangguk, tak lama kembali tertidur.

Keesokan harinya, Suro Dento meminta Diah menghubungi Jauhari, wakil ketua golok terbang agar datang ke malang, menemui di rumah sakit. Sore Hari Jauhari muncul tergopoh-gopoh “apa yang terjadi kangmas?”. Suro Dento tidak menjawab, menanyakan keberadaan potongan gerabah pada Diah, untunglah Diah masih menyimpannya, karena Ia berpikir potongan gerabah itu sangat penting, karena dipegang erat Suro Dento saat Ia pingsan. Suro Dento menatap potongan gerabah, mengamatinya. Matanya menangkap 11 deret angka terukir jelas 85744441111, menarik nafas dalam-dalam dan meminta Diah menyimpan kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun