Hari-hari ini dan ke depan nanti raut wajah dan hati para pebisnis energi bisa jadi makin sumringah dan berbuncah. Penantian akan kepastian berusaha membangun negeri ini (baca : mengeruk kekayaan alam secara ekspansif) sedikit-banyak terjawab dan sepak-terjangnya akan semakin menggelora. Melalui Departemen Kehutanan, pemerintah menerbitkan kebijakan yang makin "ramah" untuk industri ini meski esensinya bukanlah hal baru karena pernah diatur sebelumnya, walau dalam bentuk yang berbeda.
Adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (PP 24/2010) yang dikemas Departemen Kehutanan itu. Bagi para kompasianer yang mencermati bidang kehutanan atau praktisi dalam bisnis energi, pastilah langsung mengetahui relevansi ketentuan tersebut terhadap prospek komersial kedua bidang itu, khususnya energi. Prospek komersial, bukan ekologi krn kalangan environmentalist justru melihat potensi buruk terhadap lingkungan.
Esensi dari beleid tersebut adalah lembaga pinjam-pakai dan penambangan bawah tanah (underground mining) sebagai metode/cara bahan tambang dan migas yang dikeruk dari perut bumi. Sejatinya kedua isu tersebut bukanlah hal baru karena telah disinggung dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu Pasal 38 ayat (3) dan (4), walau cara penambangan bawah tanah tidak disebut secara eksplisit. Bahkan urusan pinjam-pakai kawasan hutan telah diatur penguasa sejak tahun 1994, dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 55/Kpts-II/1994 dan sempat dirubah 3 kali sebelum berlaku UU Kehutanan tahun 1999. Kedua isu tersebut juga pernah 2 kali diatur pak Menteri tahun 2006 dalam Keputusan No. P.14/Menhut-II/2006 lalu dirubah dengan Keputusan No. P.64/Menhut-II/2006. Keputusan yang disebut terakhir mengakomodir kebutuhan yang menjadi karakteristik bisnis energi, yaitu proses survei dan penyelidikan/eksplorasi terhadap pinjam-pakai kawasan hutan, yaitu permohonan, persyaratan dan jangka waktunya.
Regulasi kehutanan untuk industri energi secara khusus juga pernah dibuat dengan Keputusan No. P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan, seiring dengan amanat pada pemerintahan Presiden Megawati dengan Perpu No. 1 Tahun 2004 yang menganulir Pasal 83 UU Kehutanan, akibat protes dari pemilik 13 ijin/perjanjian pinjam pakai hutan yang telah dibuat sebelumnya (siapa saja lihat disini). Terakhir, pemerintah mengatur urusan pinjam pakai hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008, sekaligus mencabut semua regulasi yang ada sebelumnya untuk urusan yang sama (disini) .
Secara substansial, tidak ada perbedaan mendasar antara PP 24/2010 dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008. Keduanya menyinggung soal pinjam pakai dan penambangan bawah tanah. Lantas apa yang membuat industri energi makin menggelora dengan hadirnya PP 24/2010 seperti pandangan saya diatas? Tidak lain karena berbentuk Peraturan Pemerintah seperti amanat Pasal 39 UU No. 41/1999, sedangkan produk-produk sebelumnya berbentuk keputusan menteri. Dari sisi ketatanegaraan, hierarki Peraturan Pemerintah berada diatas keputusan menteri sehingga kedudukannya lebih kuat. Dari sisi pelaku usaha, munculnya PP 24/2010 dirasakan lebih melindungi kepentingannya serta menjamin kepastian prospek dan ekspansinya.
Meski demikian, pinjam pakai dan penambangan bawah tanah yang merupakan esensi PP 24/2010 tadi menyisakan sejumlah pertanyaan setidaknya dari tinjauan eksistensi hutan sebagai kekayaan hayati di masa mendatang : akankah kita masih bisa menikmati hutan alami dan berjuta kenekaragaman hayati didalamnya?
Pinjam Pakai
Sejurus dengan Pasal 6 UU Kehutanan, secara fungsional hutan terbagi kedalam hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pengertian hutan lindung menurut Pasal 1 huruf (j) UU Kehutanan :
"Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan menjaga kesuburan tanah."
Nah, dari ketiga jenis hutan tadi, dua diantaranya merupakan kawasan yang bisa dipinjam-pakai. Pasal 3 ayat (1) PP 24/2010 menyatakan :
"Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud Pasal 2 hanya dapat dilakukan didalam : a. kawasan hutan produksi; dan/atau b. kawasan hutan lindung."
Ada 12 jenis kegiatan yang dapat diberikan ijin pinjam-pakai hutan produksi/lindung, diantaranya pertambangan (termasuk migas), instalasi pembangkit, transmisi dan distribusi listrik, jaringan telekomunikasi, radio dan relay televisi, serta jalan umum, jalan tol dan jalur kereta api. Sekalipun kepada pemegang ijin prinsip pinjam-pakai dibebani kewajiban antara lain membayar biaya inventarisasi tegakan, dan kepada pemegang ijin pinjam pakai antara lain melakukan reboisasi, reklamasi, revegetasi terhadap hutan yang tidak terpakai dan melarang bangunan permanen untuk kegiatan survei dan penyelidikan/eksplorasi, toh ada sejumlah "peluang" untuk bebas melakukan perluasan lahan dan memanfaatkan tebangan pada hutan lindung yang dipinjam-pakai. Pasal 16 PP 24/2010 menyebutkan :
"Berdasarkan ijin pinjam pakai kawasan hutan, pemegang ijin dapat melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan dengan membayar penggantian nilai tegakan, provisi sumber daya hutan, dan/atau dana reboisasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku"
Sedangkan Pasal 17 Keputusan Menteri Kehutanan No. P.43/2008 berbunyi :
"Pemanfaatan kayu sebagai akibat adanya ijin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (4), Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 16 diatur sesuai peraturan perundang-undangan."
Sudah begitu, ada pula "kemudahan" lain bagi pemohon pinjam pakai, yaitu "dispensasi", tanpa dijelaskan lebih detail maksud dan jenis dispensasi tsb, seperti bunyi Pasal 19 Keputusan Menteri Kehutanan No. P.43 :
"Menteri dapat memberikan dispensasi untuk melaksanakan kegiatan pinjam pakai kawasan hutan."
Dengan demikian, adakah kepastian pemanfaatan hutan masa mendatang terbatas pada hutan produksi dan lindung? Cukup meragukan untuk menjawabnya secara tegas walau secara normatif tertuang pada Pasal 24 UU Kehutanan yang berbunyi :
"Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba taman nasional."
Mestinya kita masih ingat berbagai skandal "alih fungsi hutan" yang berbuntut pada putusan dan tuduhan korupsi. Coba telisik Pasal 19 ayat (10 dan (2) UU Kehutanan :
1. Perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu; 2. Perubahan peruntukkan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR."
Untuk diketahui, redaksi tersebut mirip dengan Pasal 8 PP 24/2010.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H