Mohon tunggu...
Wyndra
Wyndra Mohon Tunggu... Konsultan - Laki-laki

Profesional, penikmat film Warkop DKI & X-File.\r\nHORMATILAH KARYA TULIS MILIK ORANG. Tidak ada FB dan Twitter

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Birahi Industri Energi (Makin) Merambah Rimba Bumi Pertiwi (1)

4 April 2010   20:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:59 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari ini dan ke depan nanti raut wajah dan hati para pebisnis energi bisa jadi makin sumringah  dan berbuncah. Penantian akan kepastian berusaha membangun negeri ini (baca : mengeruk kekayaan alam secara ekspansif) sedikit-banyak terjawab dan sepak-terjangnya akan semakin menggelora. Melalui Departemen Kehutanan, pemerintah menerbitkan kebijakan yang makin "ramah" untuk industri ini meski esensinya bukanlah hal baru karena pernah diatur sebelumnya, walau dalam bentuk yang berbeda.

Adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (PP 24/2010) yang dikemas Departemen Kehutanan itu. Bagi para kompasianer yang mencermati bidang kehutanan atau praktisi dalam bisnis energi, pastilah langsung mengetahui relevansi ketentuan tersebut terhadap prospek komersial kedua bidang itu, khususnya energi. Prospek komersial, bukan ekologi krn kalangan environmentalist justru melihat potensi buruk terhadap lingkungan.

Esensi dari beleid tersebut adalah lembaga pinjam-pakai dan penambangan bawah tanah (underground mining) sebagai metode/cara  bahan tambang dan migas  yang dikeruk dari perut bumi. Sejatinya kedua isu tersebut bukanlah hal baru karena telah disinggung dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu Pasal 38 ayat (3) dan (4), walau  cara penambangan bawah tanah tidak disebut secara eksplisit. Bahkan urusan pinjam-pakai kawasan hutan telah diatur penguasa sejak tahun 1994, dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 55/Kpts-II/1994 dan sempat dirubah 3 kali sebelum berlaku UU Kehutanan tahun 1999. Kedua isu tersebut juga pernah 2 kali diatur pak Menteri tahun 2006 dalam Keputusan No. P.14/Menhut-II/2006 lalu dirubah dengan Keputusan No. P.64/Menhut-II/2006. Keputusan yang disebut terakhir mengakomodir kebutuhan yang menjadi karakteristik bisnis energi, yaitu proses survei dan penyelidikan/eksplorasi terhadap pinjam-pakai kawasan hutan, yaitu permohonan, persyaratan dan  jangka waktunya.

Regulasi kehutanan untuk industri energi secara khusus juga pernah dibuat dengan Keputusan No. P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan, seiring dengan amanat pada pemerintahan Presiden Megawati dengan Perpu No. 1 Tahun 2004 yang menganulir Pasal 83 UU Kehutanan, akibat protes dari pemilik 13 ijin/perjanjian pinjam pakai hutan yang telah dibuat sebelumnya (siapa saja lihat disini). Terakhir, pemerintah mengatur urusan pinjam pakai hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008, sekaligus mencabut semua regulasi yang ada sebelumnya untuk urusan yang sama (disini) .

Secara substansial, tidak ada perbedaan mendasar antara PP 24/2010 dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008. Keduanya menyinggung soal pinjam pakai dan penambangan bawah tanah. Lantas apa yang membuat industri energi makin menggelora  dengan hadirnya PP 24/2010 seperti pandangan saya diatas? Tidak lain karena  berbentuk Peraturan Pemerintah seperti amanat  Pasal 39  UU No. 41/1999, sedangkan produk-produk sebelumnya  berbentuk keputusan menteri. Dari sisi ketatanegaraan, hierarki Peraturan Pemerintah berada diatas keputusan menteri sehingga kedudukannya lebih kuat. Dari sisi pelaku usaha, munculnya PP 24/2010 dirasakan  lebih melindungi kepentingannya serta menjamin kepastian prospek dan ekspansinya.

Meski demikian, pinjam pakai dan penambangan bawah tanah yang merupakan esensi PP 24/2010 tadi menyisakan sejumlah pertanyaan setidaknya dari tinjauan eksistensi hutan sebagai kekayaan hayati di masa mendatang : akankah kita masih bisa menikmati hutan alami dan berjuta kenekaragaman hayati didalamnya?

Pinjam Pakai

Sejurus dengan Pasal 6 UU Kehutanan, secara fungsional hutan terbagi kedalam hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pengertian hutan lindung menurut Pasal 1 huruf (j) UU Kehutanan :

"Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan menjaga kesuburan tanah."

Nah, dari ketiga jenis hutan tadi, dua diantaranya merupakan kawasan yang bisa dipinjam-pakai. Pasal 3 ayat (1) PP 24/2010 menyatakan :

"Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud Pasal 2 hanya dapat dilakukan didalam : a. kawasan hutan produksi; dan/atau b. kawasan hutan lindung."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun