Senada dengan perihal tersebut, seseorang mantan menteri pertahanan Israel, Moshe Dayan mengatakan alibi mereka tidak khawatir dengan umat Islam:Â
"Yakinlah, mereka itu malas membaca, serta bila mereka membaca tidak paham, serta bila mereka paham, mereka tidak berperan."
Sementara itu, sejarah sudah mencatat gimana kejayaan Islam pada waktu kemudian dibentuk dengan budaya membaca yang kokoh sampai melahirkan ilmuan besar semacam Ibnu Syna, Ibnu Rusdy dll. Cerita diatas barangkali jadi sinyal hendak berartinya membaca. Lalu dalam konteks penindakan radikalisme barangkali membaca ialah senjata yang mematikan The Deadly Weapon.
Orang yang malas membaca pasti menjadikan pola pikir serta pemikiran mereka dan pengetahuan mereka jadi dangkal dan gampang terprovokasi. Hingga orang yang terdidik serta luas bacaannya hendak mustahil bersudut pandang kecil, serta radikal, serta pula orang yang literat hendak mempunyai kebijaksanaan dalam menyikapi, memperhitungkan serta mengambil keputusan.
Hingga yang butuh setelah itu multi pihak (pentahelix) bergotong royong menggelorakan literasi dengan membuat warga bisa menggemari pustaka, membuat serta memusatkan warga supaya bisa memilah serta memilah teks yang pas, dan memahamkan kalau membaca merupakan sebuat kebutuhan bukan tuntutan semata.
Karena membaca memiliki impact yang bagus dalam membangun konstruk berpikir, semacam adagium yang kerap didengungkan kalau hati hati dengan pikiranmu, sebab hendak jadi ucapanmu, hati hati dengan ucapanmu sebab hendak jadi tindakanmu, hati hati dengan kebiasaanmu sebab hendak sebab jadi karaktermu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H