"Ajaib karena kita masih bareng-bareng sampai sekarang?"
"Ya, itu salah satunya. Tapi memang terasa ajaib saja hidup ini. Kamu tahu, Di? Aku sering dipuji baik oleh orang-orang. Aku dipuji cantik. Aku dipuji pintar. Aku dipuji mandiri ..."
"Woi! Narsis amat!"
Haha! Maksudku, Di, semuanya terasa ajaib. Kamu tahu seberapa banyak orang yang sering berterima kasih kepadaku karena merasa bahwa aku sudah berbuat baik kepada mereka? Hampir setiap orang yang kukenal, Di. Keluargaku, teman-temanku. Mereka bilang aku baik. Mereka bilang aku seperti malaikat. Mereka berterima kasih atas kehadiranku.Â
Tapi kamu tahu? Tiba-tiba saja terpikirkan olehku pada suatu waktu: aku lelah membahagiakan orang-orang sementara aku sendiri tidak tahu di mana bahagiaku. Entah bagaimana tiba-tiba saja terpikir: orang-orang melulu yang dibahagiakan, terus akunya kapan?
Aku, Di, di awal usia 27-ku, sering merasa jadi munafik. Kamu sudah baca ceritaku di "1:31 AM", "Old Love", dan "My Sea", bukan? Cerita yang buat sebagian orang membosankan karena cuma begitu-begitu melulu. Tapi memang serumit dan semelalahkan itu jadi orang baik yang baiknya cuma karena terpaksa. People pleaser. Dan di awal usia 27-ku, sepertinya aku sudah sampai di puncak lelahku. Aku ingin benar-benar menjadi aku.
"Sekarang sudah benar-benar jadi aku?"
Hmmm ...
Terkadang, jujur saja kupikir aku sudah benar-benar jadi aku. Tapi terkadang juga, rasanya aku kembali jadi orang lain. Cuma, kamu benar: memang begitu adanya manusia. Seberapa pun aku telah menjadi diri sendiri saat ini, akan ada saatnya aku lelah dan ingin menyerah. Akan ada saatnya aku kembali lagi dengan semua pertanyaan dalam kepalaku. People change, right?Â
Mungkin itulah sebabnya dari dulu Mama selalu bilang: bersyukur saja. Nasihat yang sedari dulu aku benci sebab sulit sekali kupahami ketika aku sedang jatuh-jatuhnya, sedang patah-patahnya. Sekarang, rasa-rasanya memang mau bagaimanapun, ya sudah, syukuri saja. Memang begini adanya manusia, kan, Di? Selalu berputar-putar mencari sesuatu yang katanya kebahagiaan. Padahal, pencarian itu yang sepertinya justru menjauhkan kita dari bahagia. Begitu selalu katamu.Â
"Terus?" Kamu bertanya lagi.