Aku selalu bilang kalau aku akan berubah jadi versi terbaikku. Tapi tetap saja, susah sekali buatmu mencintaiku. Jadi jangan heran kalau orang lain tak pernah paham meski inginmu sederhana saja.
Lagipula, kamu memang sederhana, aku tahu itu. Tapi buat orang-orang yang tidak benar-benar mengenalmu, kesederhanaanmu terlalu rumit buat dipahami.Â
Dan masalahnya, tak banyak orang yang benar-benar mengenalmu. Kamu sendiri jarang mau dikenali. Sampai-sampai terkadang aku heran.Â
Kamu sering tak bisa melampiaskan. Sering tak bisa terbuka soal apa saja dan kepada siapa saja. Kamu cuma terlatih jadi pendengar, tapi tak pernah diajari dan tak pernah belajar jadi pencerita.Â
Terkadang aku suka kamu yang begitu. Tapi terkadang aku bingung juga. Kalau kamu selalu jadi tempat orang-orang bersandar, lantas kepada siapa kamu harus pulang?
...
Nah, sekarang, biar kuberitahukan satu rahasia tentang hari itu.
Waktu kita berdiri di tepi lautan sore itu, aku benar-benar hampir meninggalkanmu. Aku hampir menyerah terhadapmu. Sepenuhnya. Seutuhnya. Selamanya. Aku melangkah, entah kenapa tiba-tiba terpikir untuk berjalan ke tengah lautan.Â
Bahwa masalahmu besarmu kala itu benar-benar tak boleh diceritakan kepada siapa pun, aku tentu saja paham. Dan bahwa kamu juga tak punya siapa pun selain aku, aku tahu.Â
Tapi hari itu kurasa aku benar-benar lelah. Sebab sama sepertimu yang terkadang merasa tak dihargai oleh orang-orang, aku pun terkadang merasa tak dihargai olehmu.
Selangkah. Dua langkah. Laut sore itu kurasa sepi. Cuma ada kita berdua. Dan aku terus melangkah. Aku benar-benar hampir meninggalkanmu waktu kamu akhirnya menangis sambil meneriakkan namaku keras-keras. Kamu ketakutan setengah mati melihatku tiba-tiba begitu.