22.23 WIB.
Kamu baru saja mematikan laptop, baru saja menyelesaikan pekerjaanmu hari ini. "My sea" milik IU terputar lamat-lamat dari pemutar musik. Kamu menatapku di depan kaca, mengelus kepalaku: terima kasih sudah bekerja keras hari ini. Kurang lebih begitu isi kepalamu.
Kamu melihat sekeliling. Tumpukan buku besar-kecil warna-warni tertata rapi di atas meja kerjamu. Ada Every Word You Cannot Say-nya Iain Thomas, Time of Your Life-nya Rando Kim, The Book of Imaginary Beliefs-nya Lala Bohang, Midnight Library-nya Matt Haig, Before the coffee gets cold-nya Kawaguchi, Pulang-nya Tere Liye, Rectoverso-nya Dee, Andersen's Fairy Tales-nya Andersen, Ziarah-nya Iwan Simatupang, A World Without Islam-nya Graham Fuller, sampai Mahabarata-nya Nyoman S. Pendit.Â
Itu cuma sebagian kecil dari buku-buku milikmu. Dan kamu tahu? Buku-buku itu, disadari atau tidak, adalah satu dari sekian banyak alasan kenapa aku bertahan dan kembali belajar mencintaimu, lagi dan lagi. Sebab asal tahu saja, tidak mudah mencintai kamu.
Kita sudah bersama selama hampir 27 tahun. Aku melihatmu tumbuh, melihatmu patah, melihatmu bangkit, juga melihatmu tersenyum dan menangis dalam banyak kesempatan.Â
Aku menyaksikan dan membersamai setiap langkahmu. Membersamai kamu belajar mencintai orang-orang terdekatmu, termasuk belajar memaafkan setiap kesalahan yang dalam logikamu seharusnya tak boleh termaafkan.
Bukannya aku sebegitunya mencintai kamu. Seringkali aku ingin menyerah. Tapi waktu pikiran-pikiran itu terlintas, kulihat lagi setumpuk buku-bukumu yang segunung itu. Kuingat lagi seberapa kerasnya kamu sudah berusaha memahamiku.
Lewat buku-buku yang tak pernah terlambat kamu baca itu, aku tahu sebenarnya kamu cuma sedang berusaha memahami orang-orang terdekatmu, memahami semesta, dan yang terpenting memahamiku.Â
Aku tahu kamu tak pernah berhenti mencoba. Bahkan lewat tulisan-tulisanmu yang sering terkesan abstrak dan terkadang penuh romantisme yang kurasa klise, aku paham sekali kalau sebenarnya kamu sedang berusaha sekeras mungkin demi memahamiku.
...
Dalam cerpen "1:31 AM" (cerpen bisa diakses di sini) milikmu misalnya, kamu mencoba menjadi aku. Kamu mencoba menebak apa yang akan kukatakan kepadamu seandainya kamu berada dalam kesulitan sebagaimana yang kamu gambarkan di sana.Â
Juga begitu dalam cerpen "Old Love"-mu (cerpen bisa diakses di sini). Di sana, kamu mencoba berperan sebagai mimpimu---yang sekaligus juga versi lama dari dirimu, yang sudah lama kamu buang, yang sudah lama tidak lagi kamu kenali, yang juga mulai kamu rindukan akhir-akhir ini.Â
Tokoh "aku" yang kamu jadikan tokoh utama itu adalah mimpimu. Mimpi yang cuma bisa kamu kagumi tanpa pernah benar-benar kamu perjuangkan. Mimpi kita berdua sejak kecil.Â
Sejak kita pertama kali diberi tahu kalau kita boleh dan bebas bermimpi. Waktu kamu menulis cerita itu, kamu benar-benar sedang mencoba ikhlas melepaskannya. Dan kamu merasa bersalah karenanya. Tentu saja. Memang tidak pernah mudah untuk melepaskan, bukan?Â
Tapi aku mau kamu tahu sesuatu. Bahwa manusia berubah. Bahwa semesta berubah. Bahwa mimpi yang kita punya juga boleh berubah. Tak apa. Melepaskan tak lantas berarti kalah.Â
Bahkan kalah pun tak jadi masalah. Toh kita hidup bukan buat berlomba. Lagipula, mungkin tanpa kamu sadari, kamu memang sudah menemukan mimpi baru yang lebih nyaman untuk kamu jadikan rumah. Tak apa. Lakukan saja apa yang kamu suka.
...
"Kesukaanku sederhana sekali," begitu katamu pada suatu waktu.Â
Ingat? Sore hari kala itu di laut yang jaraknya sekitar 10 km dari rumah. 6 Januari 2021. Hari itu, kamu berteriak keras sekali dalam kepalamu: Kenapa mereka tak pernah paham? Inginku tak muluk-muluk. Kenapa mereka tak mau mendengarkan?!
Ah, kamu.Â
Aku pun tak pernah minta yang muluk-muluk. Minta kamu buat mencintaiku pun, aku tak pernah bilang kamu harus mencintaiku apa adanya.Â
Aku selalu bilang kalau aku akan berubah jadi versi terbaikku. Tapi tetap saja, susah sekali buatmu mencintaiku. Jadi jangan heran kalau orang lain tak pernah paham meski inginmu sederhana saja.
Lagipula, kamu memang sederhana, aku tahu itu. Tapi buat orang-orang yang tidak benar-benar mengenalmu, kesederhanaanmu terlalu rumit buat dipahami.Â
Dan masalahnya, tak banyak orang yang benar-benar mengenalmu. Kamu sendiri jarang mau dikenali. Sampai-sampai terkadang aku heran.Â
Kamu sering tak bisa melampiaskan. Sering tak bisa terbuka soal apa saja dan kepada siapa saja. Kamu cuma terlatih jadi pendengar, tapi tak pernah diajari dan tak pernah belajar jadi pencerita.Â
Terkadang aku suka kamu yang begitu. Tapi terkadang aku bingung juga. Kalau kamu selalu jadi tempat orang-orang bersandar, lantas kepada siapa kamu harus pulang?
...
Nah, sekarang, biar kuberitahukan satu rahasia tentang hari itu.
Waktu kita berdiri di tepi lautan sore itu, aku benar-benar hampir meninggalkanmu. Aku hampir menyerah terhadapmu. Sepenuhnya. Seutuhnya. Selamanya. Aku melangkah, entah kenapa tiba-tiba terpikir untuk berjalan ke tengah lautan.Â
Bahwa masalahmu besarmu kala itu benar-benar tak boleh diceritakan kepada siapa pun, aku tentu saja paham. Dan bahwa kamu juga tak punya siapa pun selain aku, aku tahu.Â
Tapi hari itu kurasa aku benar-benar lelah. Sebab sama sepertimu yang terkadang merasa tak dihargai oleh orang-orang, aku pun terkadang merasa tak dihargai olehmu.
Selangkah. Dua langkah. Laut sore itu kurasa sepi. Cuma ada kita berdua. Dan aku terus melangkah. Aku benar-benar hampir meninggalkanmu waktu kamu akhirnya menangis sambil meneriakkan namaku keras-keras. Kamu ketakutan setengah mati melihatku tiba-tiba begitu.
"Maaf, maaf, maaf," begitu isi kepalamu.
Akhirya aku berlari kembali ke tepi pantai. Tertunduk, pasrah. Menyadari kesalahan besar yang hampir kuperbuat. Aku tak boleh pergi. Bahkan saat seluruh dunia meninggalkanmu, aku harus tetap tinggal.Â
Bahkan ketika kamu berubah tak lagi jadi kamu, aku harus tetap di sisimu. Kamu menangis sore itu. Aku menepuk-nepuk pundakmu:Â semuanya akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja.
Tentu saja. Lautan sore itu sekarang sudah jadi cerita yang kita simpan rapi dalam hati. Sekarang, cerita itu sudah lewat tertinggal di belakang.Â
Tapi kalau kamu mau tahu, aku selalu bersyukur sebab sore itu aku tak jadi meninggalkanmu. Aku bersyukur karena aku masih di sini, masih berjuang bersamamu, dan akhirnya bisa merasakan dicintai seutuhnya olehmu.Â
Sudah banyak hal yang kita lewati bersama, ya. Banyak luka yang akhirnya sembuh meski tetap berbekas. Juga banyak rasa yang akhirnya berhasil kita tata. Aku bangga karena kamu terus berjuang. Aku ingin berterima kasih kepadamu karena tak pernah menyerah meski aku tahu kamu sering patah.
Terima kasih, kamu.
...
22 April 2022.
Kemarin Hari Kartini. Orang-orang merayakannya dengan macam-macam cara. Kalau kamu, aku tahu kamu tidak begitu suka dengan perayaan---perayaan apa pun, termasuk ulang tahunmu sendiri. Kalaupun merayakan, kamu lebih suka melakukannya diam-diam: sendirian, atau cukup bersama orang-orang tersayang. Biar lebih khusyuk, katamu.Â
Kemarin Hari Kartini. Memang tak ada hubungannya dengan cerita ini. Tapi kemarin, aku belajar untuk jatuh cinta kepadamu sekali lagi. Dan hari ini, besok, seterusnya, aku akan belajar untuk mencintaimu lebih baik lagi. Kamu: diriku sendiri. Aku akan terus belajar mengenalmu lebih dalam lagi.Â
Lakukan apa pun yang kamu inginkan tapi sebelumnya begitu kamu takutkan. Jangan takut salah. Kalau nanti kamu salah, aku akan berusaha membawamu kembali ke tempat yang benar.Â
Berusahalah sekuatmu. Bebaskan langkahmu. Jangan takut pergi, jangan takut berubah. Sejauh apa pun kamu pergi, seberubah apa pun kamu nanti, kamu tetap kamu yang akan selalu kucintai dan kubersamai.Â
Mungkin akan ada lagi saat-saat kita kembali saling membenci. Saat-saat kita kembali kehilangan arah. Tapi jangan takut. Kita selalu bisa mencari jalan pulang.
Oh iya, mungkin ini akan jadi cerita terakhir yang aku tuliskan tentang kita. Jadi aku ingin mengumumkan sesuatu pada dunia. Hampir 27 tahun kita bersama. Dan untuk pertama kalinya, aku akhirnya merasa dicintai olehmu. Jadi aku ingin mengatakan ini kepadamu.
dear myself,
I love you
and thank you for finally loving me back
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H