Entah dari mana saya harus memulai cerita ini. Saya pun bukan penulis. Jadi, harap maklum kalau-kalau nanti, banyak kata yang ternyata tak bermakna. Banyak makna yang ternyata susah dicerna. Juga banyak lagi hal-hal lain yang mungkin tak sesuai ekspektasi.
Saya Titan.
13 April 2021. Pukul 21.18 WIB.
Delapan menit selepas tarawih pada hari pertama puasa.
Di kafe, sembari istirahat dari pekerjaan yang memaksa diselesaikan secepatnya. Juga ditemani aroma kopi yang menguar sedap.
Saya tiba-tiba disodori laptop oleh teman terbaik saya: Maye. Katanya, saya harus membantunya menulis cerita malam ini---untuk di-posting di akun Kompasiana milik temannya yang entah saya tak tahu itu siapa. Saya menurut saja. Kalau dipikir-pikir, saya memang lebih banyak menurut saat di hadapannya.
Dia bilang, saya boleh menulis cerita apa saja: bebas, asalkan menarik. Saya protes: katanya bebas, tapi kok bersyarat? Lalu katanya: Di dunia ini, semua bebas memang bersyarat. Kita bebas bersuara, syaratnya mesti pakai tata krama. Kita bebas melakukan apa saja, syaratnya harus patuh ikuti norma. Begitu bukan, Titan Angkasa?
Dia memang pandai mendebat. Kalau hobi mendebatnya sedang kumat, saya tahu cuma pacarnya yang bisa meladeni sampai kumatnya tamat. Akhirnya saya menurut. Saya bilang kepadanya, akan saya buat cerita ini semenarik yang saya bisa. Dan katanya lagi: Kalau mau menulis cerita, yang natural saja, tidak usah dibuat-buat. Sekarang, jahilnya yang kumat. Saya pelototi dia. Dia tertawa. Puas. Berjalan hendak menuju kamar kecil.
...
Ini bukan cerita tentang dia. Ini tentang saya. Tapi dalam setiap cerita tentang saya, pasti selalu ada dia. Jadi jangan heran jika cerita ini pun nanti akan lebih banyak berkisah tentang dia.
Biar saya ulangi perkenalan saya sekali lagi: saya Titan.
Saya pernah jatuh cinta (meski tidak sampai sampai sejatuh-jatuhnya) kepada seorang perempuan. Dan sekali pun saya tidak pernah lupa, dia masih 18 tahun waktu pertama kali kami bertemu. Saya 20. Kami tidak jatuh cinta pada pandangan pertama. Saya jatuh cinta pada kebaikan hati dan sikap pantang menyerahnya. Dia, saya tahu, jatuh cinta pada cara saya mencintainya. Saya tahu, tidak semua hal tentang saya bisa dia suka. Tapi entah kenapa, dia bisa memaklumi hal-hal dalam diri saya yang tidak dia suka itu.
Kami pacaran setelah tiga bulan saling kenal. Semakin mengenalnya, saya mulai tahu bahwa dia punya banyak ketakutan dalam dirinya. Saya mulai bisa melihat bahwa dia, perempuan yang saya cintai, entah mengapa justru kesulitan mencintai dirinya sendiri. Saya juga mulai mengerti bahwa dia, perempuan yang sering dipuji banyak orang, entah mengapa justru tidak pernah berhenti merasa kurang dan mengkritik dirinya sendiri.
Pelan-pelan saya mulai takut dengan perhatian yang dia berikan. Dia, saya rasa, mulai terlalu banyak memberi. Bahkan, kelihatan sekali dia mulai menggantungkan kebahagiannya kepada saya. Dia mulai mencintai saya lebih dari dia mencintai dirinya sendiri. Dia mulai banyak menuntut, termasuk berharap agar saya bisa memahami isi kepalanya yang tidak banyak dia ungkapkan.
"Kamu berubah, Mas," katanya suatu waktu, ketika saya menolak membantunya sebab sedang banyak urusan lain.
"Kamu bukan satu-satunya orang yang harus aku urus. Masih banyak urusan lain yang mesti aku selesaikan," saya jawab begitu. Dan kalimat itu menjadi awal pertengkaran pertama kami setelah delapan bulan pacaran. Dia diam, menunduk. "Dan kamu tahu? Setiap hari, semua orang berubah. Kamu juga harus berubah," saya masih melanjutkan, melepas amarah. Dia makin menunduk dalam-dalam.
Dia tidak banyak bicara setelah pertengkaran itu. Dia yang sebelumnya rajin mengirimkan pesan teks dan membanjiri aplikasi chatting saya dengan curhatannya sejak saat itu mulai lebih banyak diam. Sebulan kemudian, kami putus. Dia yang memutuskan saya. Tapi saya tahu, sayalah yang diam-diam memaksanya meminta putus. Saya yang sengaja mengubah banyak sikap saya terhadapnya.
Malam setelah dia memutuskan hubungan kami, saya menghubungi teman-temannya, meminta kesediaan mereka untuk menemaninya. Dari selentingan kabar yang saya dengar, sampai sebulan setelah putus, dia jadi makin pendiam dan makin penyendiri. Kami masih kuliah di tempat yang sama. Sekali dua kali saya tak sengaja melihatnya. Dan saya rasa, dia sengaja menghindar dari saya. Berbulan-bulan setelahnya, saya tak pernah melihatnya lagi. Saya pun sengaja sibuk dengan dunia saya sendiri. Sampai hari ketika saya lulus kuliah, saya benar-benar tidak pernah melihatnya lagi. Saya cuma sesekali dengar kabar, konon dia punya mimpi baru yang tengah dikejar.
...
"Oh, cerita soal mantan?" Maye mengagetkan, sudah kembali dari kamar kecil, dan rupanya sempat sebentar mengintip tulisan saya dari belakang.
"Iseng saja kamu!"
"Cuma penasaran. Silakan dilanjutkan, Bapak," katanya sambil sekarang sibuk membuka buku sketsanya. Dia mulai menggambar sesuatu di sana.
"Omong-omong, May," saya memulai percakapan, sengaja memilih kata dengan hati-hati. Berniat masuk ke dalam inti pertemuan kami malam ini.
"Hmm, apa? Enggak usah tanya yang aneh-aneh, deh!"
"Belum juga mulai tanya!"
"Halah, kamu kalau sudah bilang omong-omong begitu pasti mau tanya yang aneh-aneh,"
Ah, sial! Dia memang sudah paham benar dengan kebiasaan saya.
"Nanti ya, Tan. Aku jawab nanti," katanya sebelum saya sempat bertanya. Entah kenapa dia sepertinya tahu pertanyaan yang baru saja mau saya lontarkan. Mungkin benar. Dari dulu, sejak berteman dengan dia bertahun-tahun lalu, dia selalu bilang kalau dia bisa lancar membaca raut muka saya seperti dia sedang membaca dongeng. Katanya, perasaan, kegelisahan, dan kemarahan saya semuanya kelihatan jelas dari wajah saya. Dari dulu saya tidak pernah percaya, tapi kalau kulihat dari betapa mudahnya dia memahami setiap keinginan saya, mungkin benar yang dia bilang.
"Kayak tahu saja apa yang mau aku tanya,"
"Tahulah!"
"Apa memangnya?"
"Soal kenapa aku enggak bisa terima kehadiran Bapak sampai sekarang. Iya, kan? Mau tanya soal itu, kan? Mama hubungin kamu lagi, kan? Minta kamu buat bujuk aku, kan?"
Dia benar-benar tahu apa yang ada dalam pikiran saya. Dan saya juga tahu, dia sedang tidak berminat membahas soal masalah itu. Saya diam. Tersenyum kikuk. Menyodorkan laptop dengan cerita sepotong yang baru saja saya tulis. Berusaha melepas canggung. Berusaha membuatnya kembali nyaman bercerita.
"Memang sudah selesai?"
"Segitu saja dulu, May. Belum tentu ada yang mau baca. Nanti, kalau ada yang penasaran, baru aku tulis lagi!"
"Hilih!"
"Sumpah, May! Nanti aku lanjutkan ceritaku kalau ada yang mau tahu!"
Saya bilang begitu. Dia segera meneliti tulisan saya sepintas lalu. Kemudian menuliskan dan mengetik entah apa. Mungkin segera mem-posting tulisan saya. Atau malah menghapusnya? Entahlah. Saya tidak tahu. Saya tidak seperti dia yang pandai membaca raut muka. Atau mungkin memang dia yang terlalu sulit dibaca?
...
Cerita sebelumnya tentang Maye bisa dibaca di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H