"Omong-omong, May," saya memulai percakapan, sengaja memilih kata dengan hati-hati. Berniat masuk ke dalam inti pertemuan kami malam ini.
"Hmm, apa? Enggak usah tanya yang aneh-aneh, deh!"
"Belum juga mulai tanya!"
"Halah, kamu kalau sudah bilang omong-omong begitu pasti mau tanya yang aneh-aneh,"
Ah, sial! Dia memang sudah paham benar dengan kebiasaan saya.
"Nanti ya, Tan. Aku jawab nanti," katanya sebelum saya sempat bertanya. Entah kenapa dia sepertinya tahu pertanyaan yang baru saja mau saya lontarkan. Mungkin benar. Dari dulu, sejak berteman dengan dia bertahun-tahun lalu, dia selalu bilang kalau dia bisa lancar membaca raut muka saya seperti dia sedang membaca dongeng. Katanya, perasaan, kegelisahan, dan kemarahan saya semuanya kelihatan jelas dari wajah saya. Dari dulu saya tidak pernah percaya, tapi kalau kulihat dari betapa mudahnya dia memahami setiap keinginan saya, mungkin benar yang dia bilang.
"Kayak tahu saja apa yang mau aku tanya,"
"Tahulah!"
"Apa memangnya?"
"Soal kenapa aku enggak bisa terima kehadiran Bapak sampai sekarang. Iya, kan? Mau tanya soal itu, kan? Mama hubungin kamu lagi, kan? Minta kamu buat bujuk aku, kan?"
Dia benar-benar tahu apa yang ada dalam pikiran saya. Dan saya juga tahu, dia sedang tidak berminat membahas soal masalah itu. Saya diam. Tersenyum kikuk. Menyodorkan laptop dengan cerita sepotong yang baru saja saya tulis. Berusaha melepas canggung. Berusaha membuatnya kembali nyaman bercerita.