Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Teman (Kencan)

20 Oktober 2020   18:26 Diperbarui: 20 Oktober 2020   20:10 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ardi

"Marigold?"

Perempuan di sebelah gue bertanya, memastikan nama bunga yang baru saja gue berikan. Gue mengangguk sambil lalu. Dia mencium bunga itu, merasakan aromanya, tersenyum, lalu meletakkannya di dekat jendela mobil bagian depan.

"Suka?" Gue bertanya. Dia mengangguk.

"Kenapa kali ini pilih marigold, Di?" Dia membuka percakapan setelah lima menit sebelumnya khusyuk mendengarkan lagu "All My Days" milik Alexi Murdoch yang kebetulan sedang diputar di siaran radio favoritnya. 

Tapi seperti biasa, dia selalu penasaran dengan makna di balik bunga-bunga yang gue berikan. Padahal seringnya gue cuma mengikuti saran Riza, pemilik toko bunga langganan gue, setelah dia mengomel karena gue berdiri terlalu lama di toko bunganya cuma demi memilih sebuket bunga.

"Pasti enggak tahu artinya, ya?"

"Kata Riza, marigold sering jadi lambang kebahagiaan yang pasti datang suatu hari nanti,"

"Riza pulang? Kapan? Bukannya lagi di Amerika nyusul Abi? Kok kamu enggak bilang mau ke sana?"

Dia melontarkan banyak tanya, beralih fokus menanyakan kabar terbaru tentang temannya itu. Sepertinya dia sudah tidak penasaran lagi dengan arti marigold.

"Masa gue harus bilang-bilang? Nanti bunganya enggak jadi surprise, dong!"

"Sejak kapan kamu peduli sama surprise? Biasanya juga kamu kasih aku bunga bekas yang enggak jadi kamu kasih ke gebetan," katanya. Gue tertawa.

Cerita tentang Riza dan Abi dapat di baca di link ini.

...

Namanya May.

Perempuan yang sedang duduk di sebelah gue: May.

Gue bertemu dia dua tahun lalu. Dia orang pertama yang jadi pasangan kencan buta gue---seumur hidup gue pun, baru sekali gue kencan buta. Dua tahun lalu, di mata gue, dia cuma perempuan 25 tahun yang datang ke acara kencan buta karena dipaksa orang tua. Masih jelas di ingatan gue, dia kelihatan kikuk. 

Duduk dengan kaos pendek kedodoran warna pink yang dimasukkan ke dalam rok putih berenda sebawah lutut, dipadu dengan sepatu kets yang juga warna putih. Ditambah dengan dengan rambut pendek model bob tanpa poni dan mata bulat hitam yang kelihatannya punya cerita. Dia cantik. Dan kikuk.

Rasanya gue masih ingat betapa canggungnya suasana di antara kami hari itu. Di sebuah kafe lantai dua. Di meja paling ujung yang tepat menghadap ke jalan raya. 

Dia memesan segelas kopi yang sama sekali tidak dia sentuh sampai dia pamit pulang---setelah cukup dekat, gue tahu kalau dia memang tidak bisa minum kopi, dia cuma suka aromanya.

 Gue mungkin juga enggak akan lupa dengan dia yang tiba-tiba membahas Harry Potter untuk mencairkan suasana. Dia bertanya siapa karakter favorit gue di film Harry Potter. Gue asal memilih Harry. Waktu gue balik bertanya, entah kenapa, dia terlihat serius dan memilih Snape sebagai tokoh favorit. Dia kemudian pamit tiba-tiba setelah menerima telepon entah dari siapa.

Tapi siapa yang menyangka kalau kecanggungannya hari itu akan berubah jadi bahan olok-olok yang selalu bisa membuat gue tertawa. Siapa sangka, setelah kencan buta pertama yang dia anggap gagal total, kami bertemu lagi lima bulan kemudian. Tanpa sengaja. Tanpa diduga. Dan siapa sangka dia sekarang jadi teman baik gue. Teman yang selalu menyenangkan untuk diajak bercerita atau sekadar duduk bersama.

...

"Di, kita mau ke mana, sih?" Dia bertanya, memutus lamunan.

"Jalan-jalan,"

"Tahu, tapi jalan-jalan ke mana, Ardi Wisenja?" katanya, menyebut nama lengkap gue.

"Mau ajak kamu makan saja, May,"

"Di mana?"

Gue jawab singkat sambil menunjukkan foto tempat antah berantah yang akan kami datangi. Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi gue tahu, foto tempat itu sudah cukup untuk membuat mata bulatnya tersenyum. 

Cukup susah untuk menyenangkannya. Seringnya, hal-hal yang gue pikir akan membuat dia bahagia malah cuma dianggap biasa. Di hari ulang tahunnya bulan lalu, setelah gue susah payah mencari kado yang akhirnya tidak dia suka, gue pernah bercanda dengan bilang: susah tahu, May, mau nyenengin kamu. Dia tertawa sambil bilang: enggak susah, Di.

"Radionya aku matiin boleh, Di?" Dia bertanya, meminta izin.

"Silakan saja, May,"

Dia segera mematikannya. Siaran di saluran radio favoritnya baru saja berakhir. Gue baru tahu belum lama ini kalau dia ternyata cuma mendengarkan satu siaran radio dan tidak pernah pernah tertarik dengan siaran lain. 

Sama seperti gue juga belum lama tahu kalau dia cuma punya satu film komedi favorit, satu film romantis favorit, dan satu film tragedi favorit yang selalu dia tonton lagi dan lagi lewat Netflix setiap kali dia sedang butuh ditemani. Ada kalanya gue kesulitan memahami dia.

"Eh, Di, tahu enggak? Mama sudah lama enggak pernah minta aku kencan buta lagi," kali ini dia bercerita sambil memutar lagu "Creep" yang dinyanyikan Karen Souza lewat playlist Spotifynya. Gue tahu, sudah lama ibunya tidak pernah lagi menyuruhnya pergi ke acara kencan buta.

"Kenapa memangnya? Mau kencan buta lagi? Paling juga cuma bahas Harry Potter lagi pas kencan buta nanti," gue jawab begitu, meledek. Dia melotot, tidak terima.

"Aneh saja, Di. Dulu waktu aku baru 25 tahun, Mama mau aku buru-buru menikah. Sekarang, Mama malah kelihatan santai dan enggak peduli aku punya pacar atau belum,"

"Mungkin Mama kamu sudah pasrah dan siap kalau anaknya jadi perawan tua," gue bercanda lagi.

"Ingat umur! Kamu lebih tua, Ardi! Harusnya aku panggil kamu Bapak, tahu!"

"Silakan, Ibu. Panggil saja saya Bapak,"

Dia menepuk pundak gue. Agak keras. Gue tertawa.

Selalu menyenangkan mengobrol dengan dia. Sudut pandangnya selalu terasa baru. Dan gue suka. Gue suka semua hal yang ada di kepalanya, yang dia utarakan dengan cara khasnya setiap kali bercerita. Gue suka punya teman seperti dia. Dan ada kalanya, bukan cuma sesekali, gue masih berharap bisa jadi teman kencannya.

...

Cerita sebelumnya tentang May dapat dibaca di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun