Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Masih) Pelupa

12 Juli 2019   08:58 Diperbarui: 12 Juli 2019   09:15 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa sih dulu kamu minta putus?"

Pertanyaan pertamamu hari ini. Entah memang benar atau hanya perasaanku saja, hari ini kamu lebih banyak diam. Kamu tidak banyak bercerita seperti biasanya. Juga tidak sama sekali mengacau dengan menarik lengan bajuku atau iseng menggambari buku kuliahku dengan entah apalah itu.

"Aku enggak ngerti kenapa dia biasa marah cuma gara-gara aku belikan makanan pedas," sekarang kamu mengganti topik, membahas pacarmu yang sedang marah karena kamu belikan makanan pedas kemarin---padahal dia sudah sering bilang kalau dia tidak suka pedas.

"Kenapa sih perempuan kayaknya ribet banget," kamu mengganti topik lagi. Padahal beberapa menit lalu aku baru saja berpikir harus menjawab apa waktu kamu tanya soal kenapa aku minta putus denganmu. Pertanyaan yang mungkin sudah kamu lupakan sekarang.

...

Juni 2017.

Kita bertengkar tepat di hari jadi pertama kita. Kamu pasti merasa sudah melakukan yang terbaik dengan tiba-tiba bernyanyi di panggung kafe sebuah mal yang ramai pengunjung. Di depan banyak orang, kamu terlihat bangga mengucapkan selamat untuk hari jadi kita. Kamu terlihat bahagia mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Kamu pasti lupa: aku tidak suka keramaian, aku tidak suka dipamerkan di depan orang-orang yang tidak kukenal.

Aku cuma diam. Tapi aku akhirnya menangis waktu seorang pramusaji membawa kue mangga ke meja kita, sekembalinya kamu dari bernyanyi di panggung. Kamu bingung, tidak tahu kenapa aku menangis sampai tersedu. Mungkin sekarang kamu masih juga tidak tahu. Nah, biar kuberi tahu: karena aku alergi dengan mangga dan aku sudah berkali-kali mengatakannya.

Kita tidak bicara banyak setelah hari itu. Toh pertengkaran kita memang lebih sering ditandai dengan saling mendiamkan. Tapi kita putus dua hari setelahnya. Masih Juni, 2017. Aku ingat bagaimana kamu dengan wajah kusutmu berkali-kali bertanya kenapa. 

Kubilang karena kamu pelupa. Kamu tidak percaya. Kamu bertanya lagi di mana letak kepelupaanmu. Kamu mendebatku tentang bagaimana bisa kata pelupa dijadikan alasan untuk minta putus.

Mau tahu kenapa bisa begitu?

Kamu sudah berkali-kali salah sangka: pernah mengira kakak iparku adalah selingkuhanku, pernah mengira aku sedang bersama laki-laki lain waktu aku tidak ingin kamu datang ke rumahku, dan pernah mengira aku sudah bosan denganmu waktu aku lama membalas pesanmu. 

Kamu sering lupa bahwa dulu aku mencintaimu tanpa perlu alasan dan penjelasan. Ingat? Kamu juga sering tidak suka setiap melihatku melakukan ini atau itu, termasuk tidak suka kalau aku ke mana-mana sendiri. Kamu maniak patriarki. Kamu lupa, bagiku perempuan juga berhak mandiri. 

...

 "Za!" kamu memanggilku.

"Bukan masalah makanan pedasnya," kita kembali membahas masalah pacarmu.

"Terus?"

"Kamu pelupa,"

"Pelupa bagaimana sih? Cuma lupa kalau dia enggak suka pedas,"

"Itu bikin dia merasa enggak dihargai. Atau malah enggak berarti,"

"Enggak dihargai bagaimana?"

"Tahu, Dan? Manusia umumnya lupa sama hal-hal yang dianggap enggak penting,"

"Hubungannya sama aku?"

Kamu masih tidak mengerti. Aku mulai malas menjelaskan.

"Eh sebentar, Za," katamu, melihat ponsel, beranjak, mungkin mengambil pesanan. Kamu sempat bilang kalau kamu sedang memesan minuman lewat aplikasi daring. Kamu kembali lima menit kemudian.

"Buat kamu," katamu sambil menyerahkan satu cup minuman berwarna kuning.

"Ini apa?" kutanya.

"Jus mangga," kamu menjawab, "Tuh, aku kurang baik apa coba?" lanjutmu percaya diri. Kurangmu memang cuma satu: kamu masih pelupa.

...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun