Mohon tunggu...
Zahra Rabbiradlia
Zahra Rabbiradlia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Passionate mother, freelance translator, author of Metamorfosa Botulisme, and blogger at zahra-rabbiradlia.com.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

5 Cara Cerdas Jadi Economic Survivors di Era Pandemi

30 Juni 2020   23:54 Diperbarui: 1 Juli 2020   00:00 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai contoh : Institusi atau pelaku keuangan cenderung berperilaku prosiklikal (perilaku yang sejalan dengan naik turunnya perekonomian). Pada saat pertumbuhan ekonomi sedang baik dan pertumbuhan kredit serta pembiayaan terlalu tinggi (over-optimistic), institusi atau pelaku keuangan cenderung melakukan ekspansi. 

Untuk itu, Bank Indonesia perlu mengerem dengan menaikan porsi uang muka kredit atau menurunkan rasio Loan to Value (LTP) sehingga permintaan kredit akan melambat. Begitupun sebaliknya, saat pertumbuhan ekonomi lesu, institusi atau pelaku keuangan cenderung menahan ekspansi dengan membatasi penyaluran kredit (over-optimistic). Dalam hal ini, Bank Indonesia perlu mengurai kontraksi dengan menurunkan porsi uang muka kredit atau menaikkan rasio Loan to Value (LTP) agar masyarakat lebih mudah mengajukan permintaan kredit.

Dengan demikian, kebijakan makroprudensial bersifat countercyclical atau terbalik dengan sistem keuangan. Pada saat pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi, kebijakan ini mampu menekan pertumbuhan ke tingkat yang wajar, juga mengingatkan bank supaya berhati-hati untuk menghadapi kondisi berbalik. 

Bila perekonomian melambat, Bank Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif dengan melonggarkan ketentuan LTV kredit atau FTV (Finance to Value) pembiayaan properti dan kendaraan bermotor. Dengan kata lain, menurunkan porsi DP bila ingin mendapatkan kredit rumah atau mobil dari bank.

Apabila tidak ada yang mengatur laju percepatan dan perlambatan ekonomi ini, maka akan terjadi overheating atau resesi. Untuk itu, masyarakat sebagai satuan unit rumah tangga, perlu memahami perannya sebagai aktor ekonomi, baik sebagai nasabah, investor atau konsumen.

Cara Cerdas Kelola Finansial di Masa Pandemi

Di masa pandemi ini, ada banyak korporasi dan UMKM yang terkena dampak negatif akibat COVID-19. Perusahaan mulai banyak mem-PHK karyawannya, memotong gaji serta tunjangan demi keberlangsungan operasional perusahaan. Keputusan ini, mau tak mau menyebabkan perubahan perilaku sosial dan mentalitas di masyarakat.

Namun, mari kita cermati bersama bahwa ada banyak pula korporasi dan UMKM yang selamat dan bahkan untung berkali lipat di era pandemi ini. Tentu saja ada poin yang menjadi pembeda. Untuk itu, mari kita belajar dari para economic suvivor yang meski harus jatuh, mereka mampu untuk bangkit dan bertahan di era yang tidak pasti ini.

1. Cerdas Berpikir

Ada 2 skill utama yang memengaruhi kualitas ketahanan individu di masa krisis, yakni computational skill (kemampuan berpikir secara logis dan melakukan sesuatu based on data) dan skill to restart (kemampuan memulai dari awal). Dua kemampuan ini mampu menciptakan preparedness saat krisis datang. Sayangnya, tak semua individu mau menerapkan keduanya, terlebih bagi mereka yang berada di titik comfort zone karena rasa nyaman telah mematikan daya juang dan menumbuhkan ego yang membuat enggan untuk bersusah payah lagi.

Untuk itu, ubahlah cara berpikir dengan melakukan sesuatu berdasarkan data, membaca perkembangan zaman, terbuka dengan peluang yang ada, serta mau untuk memulai lagi dari awal.

2. Cerdas Kelola Emosi

Kemerosotan ekonomi secara masif dan tiba-tiba menyebabkan ketidaksiapan di semua lini. Perubahan situasi spontan seperti ini, apabila tidak dibekali dengan ilmu, akan menyebabkan situasi semakin runyam. Tak sedikit di antara masyarakat terkena stres dan melampiaskan emosinya dengan cara tak bijak seperti penggunaan obat-obatan terlarang, melakukan tindak KDRT hingga berujung perceraian.

Menurut hasil survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 95% keluarga dilaporkan stres akibat pandemi. Selain itu, Komnas Perempuan merilis data pengaduan kekerasan pada perempuan yang berjumlah sekitar 500 kasus hingga April 2020. Bahkan di Jepang, istilah コロナ離婚 (corona rikon/perceraian korona) menjadi tren dari banyak pasangan di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun