Mohon tunggu...
Zahra Rabbiradlia
Zahra Rabbiradlia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Passionate mother, freelance translator, author of Metamorfosa Botulisme, and blogger at zahra-rabbiradlia.com.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

5 Cara Cerdas Jadi Economic Survivors di Era Pandemi

30 Juni 2020   23:54 Diperbarui: 1 Juli 2020   00:00 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
olahan pribadi. gambar asli: shutterstock.com

Di era pandemi seperti ini, peran individu merupakan unsur terpenting dalam penatalaksanaan social distancing. Tak hanya menyoal pakai masker dan cuci tangan, perilaku masyarakat di bidang keuangan pun turut andil dalam kestabilan ekonomi. Isu hoaks tentang keuangan semakin membuat sebagian orang melakukan perilaku spontanitas yang mengakibatkan stabilitas ekonomi terhambat (kelangkaan barang, kenaikan harga, dan supply barang yang macet). 

Alih-alih menjaga diri dari terpaparnya virus, pembatasan jarak ini malah membuat lesu laju ekonomi di beberapa sektor. Pemerintah, dalam hal ini sebagai pengatur stabilitas keuangan negara, telah melakukan ragam upaya konkrit untuk mengatasi kemacetan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat perlu merespon secara positif setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah demi terciptanya stabilitas sistem keuangan (SSK).

COVID-19 dan Situasi Ekonomi Indonesia

Podcast yang saya simak pagi itu telah mengubah paradigma mengenai ketahanan ekonomi di masa pandemi Covid-19. Saya, yang sebelumnya merasa baik-baik saja, menjadi harus berpikir keras untuk mengembangkan diri di masa ketidakpastian seperti ini. Aakar, founder Jouska, menjelaskan dengan gamblang betapa bahayanya individu yang tidak memiliki ketahanan dalam menghadapi situasi kritis. Ada banyak kisah pilu yang ia bagi, dari mulai artis yang jatuh miskin, PHK massal, fenomena penimbunan barang, penjualan aset dan penarikan uang di bank, sampai kesehatan mental yang terusik.

Sejatinya, manusia memang diciptakan satu paket dengan kemampuannya untuk survive di dunia. Hanya saja di situasi kritis seperti ini, ada banyak orang salah memilih cara. Memang benar, keputusan untuk melakukan panic buying, panic redeeming, dan rush adalah langkah yang tepat untuk bertahan secara individu. Namun, keputusan spontan itu tak mengindahkan kesehatan ekonomi secara holistik.

"Saya kan termasuk perorangan. Apa pengaruhnya?"

Konstruksi berpikir apatis seperti itu perlu diubah. Bayangkan jika setiap orang membeli dan menimbun barang (panic buying), maka kelangkaan dan lonjakan harga akan terjadi. Jika semua orang melakukan penarikan simpanan di bank (rush), mengembalikan/menarik produk investasi (panic redeeming), serta melakukan transaksi spekulatif, maka kondisi penyangga ekonomi negara ini akan runtuh. 

Peran Individu Bagi Kesehatan Makroprudensial

Mari kita bayangkan pepohonan di sebuah hutan yang lebat. Kesehatan hutan bergantung pada kesehatan tiap pohon di dalamnya. Jika ada satu saja pohon yang terbakar, dampak kerusakannya akan menyebar dan mengakibatkan kerusakan parah. Pohon adalah ilustrasi dari mikroprudensial dan hutan sebagai makroprudensial. Secara umum, kebijakan mikroprudensial berfokus pada kesehatan individu lembaga keuangan, sedangkan makroprudensial lebih fokus pada sistem keuangan secara menyeluruh.

Ilustrasi menarik tersebut disampaikan oleh Ibu Ita Rulina, selaku Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, dalam Nangkring Webinar Bank Indonesia yang dihelat oleh Kompasiana pada pertengahan Juni 2020. Dalam paparannya, beliau menjelaskan bahwa cakupan makroprudensial tidak hanya menyoal perbankan. Unit rumah tangga, dalam hal ini masyarakat secara individu, juga termasuk dalam elemen sistem keuangan.  

Sistem keuangan tersebut saling berinteraksi dalam pendanaan atau penyediaan pembiayaan. Oleh karena itu, kebijakan makroprudensial rawan akan resiko sistemik. Sebagai contoh, perilaku individu yang melakukan transaksi spekulatif akan berdampak buruk pada kinerja bank, sehingga penyaluran kredit bagi korporasi yang melakukan pengajuan di bank tersebut menjadi terhambat. Dampaknya, produk yang dihasilkan korporasi tersebut ikut tersendat dan mengakibatkan kelangkaan serta lonjakan harga di pasaran.

Demi menjaga kestabilan elemen sistem keuangan, diperlukan regulator yang mampu mengatur kebijakan ekonomi secara sistematis, salah satunya adalah Bank Indonesia. Kebijakan makroprudensial yang dimiliki Bank Indonesia menjadikan lembaga negara independen ini memiliki kewenangan untuk mengawasi lalu lintas finansial secara keseluruhan supaya tetap berjalan teratur. 

Sebagai contoh : Institusi atau pelaku keuangan cenderung berperilaku prosiklikal (perilaku yang sejalan dengan naik turunnya perekonomian). Pada saat pertumbuhan ekonomi sedang baik dan pertumbuhan kredit serta pembiayaan terlalu tinggi (over-optimistic), institusi atau pelaku keuangan cenderung melakukan ekspansi. 

Untuk itu, Bank Indonesia perlu mengerem dengan menaikan porsi uang muka kredit atau menurunkan rasio Loan to Value (LTP) sehingga permintaan kredit akan melambat. Begitupun sebaliknya, saat pertumbuhan ekonomi lesu, institusi atau pelaku keuangan cenderung menahan ekspansi dengan membatasi penyaluran kredit (over-optimistic). Dalam hal ini, Bank Indonesia perlu mengurai kontraksi dengan menurunkan porsi uang muka kredit atau menaikkan rasio Loan to Value (LTP) agar masyarakat lebih mudah mengajukan permintaan kredit.

Dengan demikian, kebijakan makroprudensial bersifat countercyclical atau terbalik dengan sistem keuangan. Pada saat pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi, kebijakan ini mampu menekan pertumbuhan ke tingkat yang wajar, juga mengingatkan bank supaya berhati-hati untuk menghadapi kondisi berbalik. 

Bila perekonomian melambat, Bank Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif dengan melonggarkan ketentuan LTV kredit atau FTV (Finance to Value) pembiayaan properti dan kendaraan bermotor. Dengan kata lain, menurunkan porsi DP bila ingin mendapatkan kredit rumah atau mobil dari bank.

Apabila tidak ada yang mengatur laju percepatan dan perlambatan ekonomi ini, maka akan terjadi overheating atau resesi. Untuk itu, masyarakat sebagai satuan unit rumah tangga, perlu memahami perannya sebagai aktor ekonomi, baik sebagai nasabah, investor atau konsumen.

Cara Cerdas Kelola Finansial di Masa Pandemi

Di masa pandemi ini, ada banyak korporasi dan UMKM yang terkena dampak negatif akibat COVID-19. Perusahaan mulai banyak mem-PHK karyawannya, memotong gaji serta tunjangan demi keberlangsungan operasional perusahaan. Keputusan ini, mau tak mau menyebabkan perubahan perilaku sosial dan mentalitas di masyarakat.

Namun, mari kita cermati bersama bahwa ada banyak pula korporasi dan UMKM yang selamat dan bahkan untung berkali lipat di era pandemi ini. Tentu saja ada poin yang menjadi pembeda. Untuk itu, mari kita belajar dari para economic suvivor yang meski harus jatuh, mereka mampu untuk bangkit dan bertahan di era yang tidak pasti ini.

1. Cerdas Berpikir

Ada 2 skill utama yang memengaruhi kualitas ketahanan individu di masa krisis, yakni computational skill (kemampuan berpikir secara logis dan melakukan sesuatu based on data) dan skill to restart (kemampuan memulai dari awal). Dua kemampuan ini mampu menciptakan preparedness saat krisis datang. Sayangnya, tak semua individu mau menerapkan keduanya, terlebih bagi mereka yang berada di titik comfort zone karena rasa nyaman telah mematikan daya juang dan menumbuhkan ego yang membuat enggan untuk bersusah payah lagi.

Untuk itu, ubahlah cara berpikir dengan melakukan sesuatu berdasarkan data, membaca perkembangan zaman, terbuka dengan peluang yang ada, serta mau untuk memulai lagi dari awal.

2. Cerdas Kelola Emosi

Kemerosotan ekonomi secara masif dan tiba-tiba menyebabkan ketidaksiapan di semua lini. Perubahan situasi spontan seperti ini, apabila tidak dibekali dengan ilmu, akan menyebabkan situasi semakin runyam. Tak sedikit di antara masyarakat terkena stres dan melampiaskan emosinya dengan cara tak bijak seperti penggunaan obat-obatan terlarang, melakukan tindak KDRT hingga berujung perceraian.

Menurut hasil survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 95% keluarga dilaporkan stres akibat pandemi. Selain itu, Komnas Perempuan merilis data pengaduan kekerasan pada perempuan yang berjumlah sekitar 500 kasus hingga April 2020. Bahkan di Jepang, istilah コロナ離婚 (corona rikon/perceraian korona) menjadi tren dari banyak pasangan di negeri ini.

Langkah terbaik untuk menghindari stres adalah dengan membuat hati gembira dan tenang. Bisa dengan maraton serial drama atau talkshow favorit, bermain game daring, olahraga, bermain musik, menulis, menyulam atau membaca sepuasnya. Ada banyak hobi yang bisa ditekuni termasuk berselancar di dunia maya untuk mencari inspirasi. Mumpung diminta rebahan di rumah, maksimalan waktu tersebut. Dan yang tak kalah penting, beribadah dan selalu meminta pertolongan pada-Nya, berbincang dengan sahabat atau meminta bantuan profesional.

3. Cerdas Mencari Peluang Usaha

Patah satu tumbuh seribu. Meski banyak kinerja korporasi dan sektor UMKM melandai, nyatanya ada banyak pula bidang usaha yang berkembang seperti produk perusahaan IT dan teknisinya, permintaan jasa cleaning service, petugas packing di perusahaan ekspedisi, pengrajin bambu, penjual diffuser, masker kain motif, jaket anti korona, dan lain sebagainya. Selain itu, membuka usaha daring secara mandiri atau melalui marketplace adalah strategi pemasaran terbaik di masa karantina ini.

Kita bisa memulai usaha dengan pertanyaan : apa barang atau jasa yang dirasa sulit didapat? Dengan begitu, kita bisa mulai menyusun strategi usaha dari jawaban tersebut. Masih menurut Aakar, masa pandemi ini adalah momentum bagi UMKM untuk mencari tenaga ahli dengan harga miring sebab banyak orang pintar yang dirumahkan.

4. Cerdas Bertransaksi

Tak perlu panik kehabisan stok barang di pasaran sebab ada cara lain untuk bertahan. Kamu kehabisan masker? Coba buat sendiri dengan melihat tutorial di Youtube. Atau kamu kesulitan mendapatkan diapers anak? Mulailah untuk hidup zero waste dengan menggunakan popok kain. Kehabisan beras? Masih ada kentang, ubi dan sumber karbohidrat lainnya.

Lihat, ada banyak cara untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan. Tak perlu kontak fisik, sebab kini hampir transaksi tunai dan non tunai dijalankan secara daring. Adapun bila diharuskan transaksi finansial secara langsung, sebaiknya kita mendatangi warung/pasar/UMKM yang menyediakan pembayaran dengan mesin EDC atau QR Code Indonesian Standard (QRIS). Maka itu, untuk pelaku usaha, sebaiknya menyediakan transaksi secara non tunai untuk memperkecil resiko penularan COVID-19.

Selain itu, tak perlu panik membeli dan menimbun barang. Sewajarnya saja, toh pemerintah tetap menjadi ketersediaan barang. Tak perlu juga repot-repot menarik simpanan dari Bank sebab ada LPS yang menjamin semuanya.

5. Cerdas Memilah Informasi

Kemampuan memfiltrasi berita menjadi penting di masa genting ini. Coba bandingkan berita yang ada dengan sumber media ternama. Jika relevan, sebarkan. Jika tidak, stop sampai di diri sendiri. Setelah itu, mari lawan berita hoaks dengan dampak positif dari pandemi ini. Bersama, mari ciptakan lebih banyak bahagia daripada ketakutan.

Dimulai dari diri sendiri, mari terapkan lima cara cerdas tersebut untuk keluar menjadi economic survivor. Yakinkan diri pula bahwa pandemi ini adalah jalan kebaikan, tinggal bagaimana kita meresponnya. Bersama dengan pemerintah, mari kita kill the virus, but not the economy. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun