Terima kasih, Galih!". Sambil berusaha untuk melepaskan genggaman tanganku. Kemudian menghadap jauh ke depan dengan tatapan kosong.
Barangkali itu dulu, Galih". Kamu selalu ada jika aku butuh kamu. Kamu cinta pertama aku. Laki-laki yang selalu dalam ingatanku. Aku selalu berusaha untuk kuat menghadapi pahit hidup ini kecuali merinduimu di setiap waktu.
Galih, sekarang aku tidak seperti dulu lagi". Sambil memegang pundak. Aku wanita kotor, hina dan tak pantas lagi berteman dan bahkan tak pantas menjadi kekasihmu lagi". Menangis sesegukan seperti anak kecil tanpa irama.
Maksudku kamu sekarang.....!". Aku mencoba memastikan, menatap tajam tanpa menyinggung perasaannya.
Iyah." Karena kebutuhan Galih, ekonomi keluargaku." Sambil terus menangis tak henti-henti sesegukan. Belum sempat aku bicara dan meneruskan pertanyaannya.
Tiba-tiba dari kejauhan klakson mercy berbunyi. Suara khas mobil mewah. Dan dengan melambaikan tangannya, bergegas Nadien meninggalkan aku dengan tidak kepercayaan aku atas semua ini. Mematung. Tanpa sadar mataku berurai. Kepergiannya menyisakan penyesalan. Seandainya saja, bisa terhubung dan menemuiku saat itu. Mungkin lain ceritanya. Dan Tuhan tentunya punya alasan lain tentang peritiwa ini. Takdir, Jodoh, Umur, Rejeki ada di tangan-Nya. Aku terhenyak, hujan kepagian hari ini mengabarkan cinta yang sesungguhnya.
(Pasar Minggu, 25 Januari 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H