Cinta itu datang tanpa memberi kabar berita atau sinyal mimpi di hari-hari sebelumnya. Cinta tidak memilih waktu atau tempat. Mendadak. Petir saja sebelum datang memberi pesan dengan kilat terlebih dulu. Pagi ini, cinta itu datang saat rindu telah terbungkus mati menyelimuti di dalam hati yang diam.
Dan hadir tanpa surat berita dalam hujan kepagian. Yah, Nadien. Gadis yang pernah kukenal lima belas tahun silam saat aku masih SMA dulu. Dengan celana jin kebiruan dan kaos lengan panjang dilipat sekenanya dan rambut panjang ikal dibiarkan berurai sehingga seakan-akan sengaja mengundang angin pagi gerimis ini untuk memeluk dan menghembuskan uraian rambutnya. Senyumnya masih seperti dahulu dengan lesung pipit dibiarkan melubangi pipi-pipinya. Dan dagunya yang terbelah manis tetap menjadi pesona aku.
Gadis yang sempurna yang pernah aku kenal. Tanpa sengaja aku bertemu Nadien saat bergegas pergi ke kantor aku. Sedikit ragu untuk menegurnya. Namun alisnya yang tebal simetris alami dengan dagu terbelahnya dan setitik tahi lalat di atas pelupuk matanya yang lentik. Aku yakin pasti dia, sebab cinta tak pernah membohongi dan melupakan hal sekecil apapun hingga sekarang.
Maaf ini Nadien, yah?." Aku coba membuka percakapan. Biasanya aku paling gengsi untuk menegur siapapun, jika aku tak kenal. Tapi ini lain. Kuatnya rindu yang membuat aku menghempaskan kegengsian itu.
Mata gadis itu terheran-heran dan terus menatapku dalam-dalam penampilanku. Aku sadar diperlakukan demikian dan pasrah saja. Mungkin dia lagi butuh penyesuaian diri, menyelami dengan fikiran dan membuka memori-memori lamanya. Aku juga tau Nadien bukan gadis sembarangan yang mau kenal dengan sembarangan laki-laki.
Pikirku. Ahh, lama sekali dia menatapku hingga membuatku jadi tak nyaman. Untung saja pagi buta dalam hujan gerimis di halte ini belum ada siapa-siapa sehingga tak terlihat betapa gugupnya pagi ini diriku.
Gadis itu tersentak kaget dan memegang kedua lenganku. Dengan mata menatap tajam dan berbinar penuh keyakinan.
Galih yah!" sambil terus mengguncang-guncangkan kedua lenganku.
Iya. Nadien. Aku Galih!" sambil terus aku menatapi matanya. Mata kerinduan. Lima belas tahun tak terasa berpisah semenjak Nadien pindah sekolah yang belum genap seminggu memasuki kelas baru di kelas tiga karena ayahnya pindah tugas ke Papua. Yah, saat itu kami baru saja kenaikan kelas. Aku dan Nadien adalah dua sisi mata uang logam. Aku keras tak tau aturan sementara Nadien lembut penuh    ke-ibuan. Dan aku tau semua itu semenjak jalan bersama dan sesering kali Nadien mengenalkan keluarganya.
Banyak cerita cinta dan kasih yang membuat terkenang saat itu dan terus terpatri dalam diari hati ini. Tentang kelucuan. Cita-cita dan impian. Sedih dan gembira bersama. Rencana kuliah dan wisuda bersama dan banyak lagi rencana-rencana manis yang penuh dengan kegilaan serta lebih serunya aku selalu mengisi bersama-sama kenangan itu dalam satu diari bersama. Terakhir diari itu semenjak berpisah Nadien yang pegang.
Aku ulurkan tangannya dan aku coba menarik untuk mengajak duduk di beberapa bangku yang di halte itu. Kebetulan belum ada seseorangpun.