Apa kabar Nadien?'. Sudah lima belas tahun yah kita tak bertemu?" tukasku mengawali pembicaraan.
Alhamdulilah. Baik Galih!" iyah, sudah 15 tahun yah." Sambil ketawa kecil dengan lesung pipitnya diumbar begitu saja.
Kalau Galih sendiri gimana?" tanya Nadien sambil matanya terus melihat di seberang halte tampaknya seperti ada yang ditunggu.
Baik juga, seperti yang kamu lihat sekarang."
Lima belas tahun sudah cukup lama juga yah. Sejak hadirmu saat ini memori kebersamaan jadi ingat lagi. Lucu saja. Kau pergi saat itu dan hari ini pula tanpa sengaja ketemu kamu.
Apakah Tuhan yang mengantarkan kamu ke sini atau secara kebetulan saja roda bumi ini yang menemukan kita bertemu dalam lintang derajat yang sama. Entahlah?". Yang jelas aku senang sekali bisa bertemu kembali.
Terus bagaimana kabarmu, ayah dan Ibumu?". Tanyaku dan memang aku sudah menganggap kedua orantua Nadien seperti orangtuaku. Makanya tak lengkap jika aku tak menanyakan kedua orang tuanya.
Kabarku, baik juga Galih. Tapi,..sekarang aku sendiri semenjak ayahku gugur saat menjalankan tugas tentaranya. Sementara Ibuku meninggal dunia lima tahun yang lalu. Aku tidak punya siapa-siapa. Aku ingin sekali hubungi kamu sementara aku tidak tahu harus kemana aku mesti hubungi. Aku galau. Sepi. Hidupku tergantung dari warisan ayahku. Semua serba sendiri. Di tengah kota berkecamuk perang saudara. Aku sekarang bukan wanita lagi yang kamu kenal lima belas tahun yang lalu. Matanya redup, air matanya mengalir tanpa sadar. Ahh, Sudahlah!'. Begitu mengakhiri pembicaraannya.
Ada apa Nadien?". Aku berusaha meyakinkan agar terus ia bercerita dan kupegang kedua telapak tangannya dengan penuh erat.
Nadien, tatap aku!'.
Percayalah, ceritalah ada apa dengan dirimu. Aku Galih, laki-laki yang dulu selalu ada untuk kamu".