Pemilu transaksional seperti layaknya jual beli di pasar. Ada uang ada barang, ada sembako ada suara, ada kaos ada dukungan, ada musik dangdut ada mobilisasi masa. Semua dihitung per kepala ditotal menjadi sebuah angka yang fantastis. Siapkan uang maka siaplah massa.
Sistem pemilu dan pola kampanye semacam itu tentunya tidak bisa diharapkan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas. Ketika uang bicara maka hanya mereka yang memiliki modal capital yang mampu melaksanakan segenap acara seremonial pesta. Padahal mereka yang memiliki uang tidak selamanya memiliki kapasitas dan integritas sebagai calon wakil rakyat. Pun tidak semua orang yang tidak memiliki uang juga memiliki kapasitas dan integritas yang baik.
Tetapi prosesnya harus dibuat sebaik mungkin agar proses rekruitmen calon wakil rakyat tidak hanya dimonopoly oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial semata. Proses regenerasi calon-calon pemimpin bangsa harus dibuka seluas-luasnya melalui mekanisme yang terbuka, berjenjang, dan efisien dari segi mobilisasi sumber daya.
Berharap pada partai politik selaksa menggantang asap sulit dibayangkan. Hampir semua partai politik sibuk dengan agenda kekuasaan, saling sandera dan terus melakukan langkah-langkah pencitraan melalui media. Sekali lagi rakyat dijejali dengan informasi yang searah, manipulatif, dan tidak mencerdaskan. Sungguh bukan itu yang diperlukan rakyat.
Ada Tanggung Jawab Kita
Ada tanggung jawab kita selaku generasi penerus yang telah menikmati sebuah kebebasan. Kebebasan yang hanya bisa dinikmati karena kita merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan. Kita berhutang kepada para pahlawan yang gugur mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kita harus meneruskan perjuangan para pahlawan dalam dimensi yang berbeda. Musuh kita adalah kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan. Musuh bersama kita adalah penguasa yang zalim yang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perahan sementara mereka asik menghamba kepada negara asing dan kapitalis dunia.
Ada tanggung jawab kita kelompok masyarakat yang berpendidikan dan berpengahasilan menengah serta mampu mengakses informasi yang luas untuk berbuat lebih ketimbang pasif dan menarik diri dari pergulatan politik. Turun tangan, istilah yang sedang in hari ini dan tidak hanya sibuk berkomentar seraya menarik diri agar tidak ikut menjadi "kotor". Padahal membiarkan pengelolaan negara ini kepada orang-orang yang tidak memiliki komitmen dan integritas sebagaimana kualitas dan rekam jejaknya yang juga dipertanyakan, merupakan bentuk kejahatan yang tersembunyi.
Kita telah mengecap pendidikan yang baik hingga mampu bekerja baik pula dan memiliki tingkat kesejahteraan diatas rata-rata hidup bangsa Indonesia punya tanggung jawab sosial, moral dan politik untuk mengawal proses demokrasi agar berjalan dengan baik, jujur dan adil.
Kalau kita apatis dan menarik diri maka kita sama artinya dengan mengingkari nikmat yang sudah kita peroleh melalui subsidi pendidikan yang kita terima setiap tahunnya. Subsidi yang diberikan oleh negara dari uang hasil keringat seluruh rakyat Indonesia yang membayar pajak, yang merelakan masa depannya tergadaikan oleh sumber daya alam yang dikelola tidak benar oleh negara ini. Kita adalah buah dari penikmat subsidi pendidikan hingga kita bisa hidup sejahtera dan mapan hari ini.
Kita wajib mengembalikan arah perjuangan bangsa Indonesia ke dalam relnya sebagaimana yang konstitusi tetapkan. Kita jangan menyerah pada kekuatan politik yang korup, manipulatif dan berupaya menjajah bangsanya sendiri. Kita melihat dengan jelas kejaliman nampak didepan kita, karena itu kita harus melawan dengan Tangan Kita, Dengan Mulut Kita, dan Dengan Hati Kita. Dan itu adalah selemah-lemahnya wujud kecintaan kita kepada bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Sistem Transaksional dan Pembodohan Rakyat