Mohon tunggu...
Vincentius Wishnu
Vincentius Wishnu Mohon Tunggu... Psikolog - Karyawan swasta yang mencoba mencari dan memaknai sebuah gagasan yang menarik untuk kembali ditaburkan hal baik ke sekitar

Cancer Boy Interest in human, educationm and people development

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pahami Ragam dari Kesulitan Belajar Anak, Jangan Mudah Sebut Anak Autis

5 Desember 2015   00:20 Diperbarui: 5 Desember 2015   03:46 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]Autis. Sebuah kata yang bukan lagi menjadi istilah asing bagi masyarakat awam. Bahkan kata “autis” muncul dan dengan mudahnya terlontar pada semua usia baik anak, remaja, dan orang dewasa. Terlebih dengan begitu mudahnya mengucapkan kata “autis” tanpa mengerti apa esensi dibalik kata tersebut.

Menjadi sebuah keprihatinan bagi saya, saat melihat orang-orang yang dengan begitu mudahnya memberikan cap “autis” kepada orang lain, bahkan terhadap anak. Dewasa ini, seakan-akan khalayak memaklumi bahwa kata “autis” sebagai sebuah joke atau guyonan. Tidak dipungkiri ada pula sebagian dari pendidik yang dengan sengaja maupun tidak sengaja menyebut kata “autis” kepada rekan sekerja maupun orangtua. Entah menyebutkannya dalam bentuk laporan, bahan pergunjingan, atau sekedar guyionan.

Adanya kemungkinan, saat pendidik menghadapi anak yang memiliki keaktifan yang luar biasa, atau menghadapi anak yang terkadang-kadang sulit memahami instruksi pendidik, kemudian dengan mudah pendidik tersebut memberikan keterangan kepada orangtua bahwa anak yang bersangkutan memiliki kecenderungan “autis” atau mengatakan memiliki kebutuhan khusus. Tentu ungkapan pendidik yang seperti ini tidak dapat dibenarkan. Para ahli psikologi klinis saja, perlu langkah-langkah observasi mendalam saat mengamati perilaku anak, sebelum berakhir pada diagnosis “autis”.

Menjadi sebuah kegelisahan bagi saya untuk menuliskan artikel ini guna membagikan pengetahuan tentang ragam kesulitan belajar yang dihadapi anak. Sehingga nantinya dalam berbicara kita tidak dengan mudah mengatakan ““autis””. Hal ini perlu dipahami karena “autis” bukan sebuah joke atau guyonan.

Sebelumnya, saya ajak Anda untuk mengingat-ingat kembali akan pengalaman pribadi yang anda alami saat mendengar kata “autis”. Kapan pertama kali Anda mendengar istilah “autis”? Siapa orang yang pertama kali melontakan “autis” kepada Anda (teman, sahabat, saudara, pacar, atau orang yang lebih tua dari Anda)? Apa yang membuat Anda dikatakan “autis” pada? Bagaimana perasaan Anda saat pertama kali mengetahui arti “autis” dari rekan Anda, berkaitan dengan pertama kali Anda dikatakan “autis”?

PERTAMA KALI SAYA DENGAR KATA AUTIS

Pengalaman saya pribadi, pertama kali saya mendengar kata “autis” saat saya duduk dibangku kelas 2 SMP. Saya beri inisial teman saya Si X. Saat itu saya memiliki teman yang tidak mau berbicara pada semua teman-teman di kelas, bahkan terhadap guru. Si X hanya mau berbicara pada satu orang teman saja, itu pun hanya beberapa kata.

Tidak ada keanehan atau kecacatan secara fisik yang terlihat pada teman saya. Beberapa teman saya yang mengenal dekat keluarga Si X, saat di rumah dia seperti biasa berbicara dengan orangtua dan saudara-saudaranya. Saat menyelesaikan tugas dan ujian, Si X dapat menyelesaikan tugas-tugasnya layaknya teman-teman lain. Bahkan pada mata pelajaran tertentu Si X terlihat menonjol, terutama pada mata pelajaran sains dan eksakta.

Hingga pada suatu ketika terdapat tugas kelompok dimana saya satu kelompok dengan Si X. Saya lupa bagaimana secara detail kronologi peristiwa yang saya alami saat berproses bersama dalam kerja kelompok. Terdapat teman saya yang dengan nada bercanda mengejek Si X dengan menyebutkan Si X itu “autis”. Sontak beberapa teman yang mengetahui arti tersebut tertawa terbahak-bahak, tanpa memahami bagaimana perasaan Si X. Pada saat itu pula saya bertanya kepada teman yang mengucapkan kata “autis” pada Si X. Teman tersebut menjelaskan bahwa autis itu orang yang kalau diajak bicara tidak dapat menjawab dan cuman senyum aja.

Pemahaman dari istilah autis yang saya dapat dari teman saya masih terbawa sampai pada saya menjalani studi di program studi bimbingan dan konseling. Akan tetapi pemahaman tersebut berubah setelah saya mengikuti mata kuliah Abnormal, dimana salah satu sub pokok pembahasannya menguraikan tentang “autis”. Tidak cukup pada taraf memahami saja, akan tetapi saya selalu risih ketika terdapat orang yang dengan mudah melontarkan kata autis sebagai sebuah bahan ejekan.

SEPERTI DEJAVU

Seakan pengalaman saya saat duduk dibangku kelas 2 SMP menjadi sebuah DeJavu bagi saya berkaitan dengan pengalaman dua hari yang lalu. Dua hari yang lalu, saat saya hendak berkunjung ke ruang adorasi (ruang doa yang biasa terdapat di gereja) saya bertemu dengan ibu guru sewaktu saya masih SD. Ketika saya menyalami dan memberikan salam seraya menyebut nama beliau, sejenak beliau terdiam dan menanyakan nama saya. Kemudian saya memperkenalkan diri. Ibu guru tersebut menanyakan sekarang bekerja dimana dan kuliah jurusan apa.

Saat ini beliau telah pensiun dari tanggungjawabnya sebagai guru SD. Singkat cerita beliau meminta waktu kepada saya untuk mendengarkan sharingnya dan beliau meminta pendapat berkaitan dengan yang beliau alami akhir-akhir ini. Beliau menceritakan tentang salah seorang cucunya diperlakukan diskriminatif oleh salah seorang guru di kelas Taman Kanak-kanak (TK).

Mantan guru SD saya diberi penjelasan dari guru TK yang bersangkutan bahwa cucunya memiliki kecenderunan autis dan mungkin memiliki kebutuhan khusus. Saat ini usia dari cucu beliau menginjak usia 5 tahun. Berikut merupakan pengalaman yang dirasakan oleh mantan guru SD saya.

"Begini mas. Saya ingin menceritakan apa yang saya alami berkaitan dengan cucu saya. Akhir-akhir ini saya merasa sakit hati dan tidak terima dengan perlakuan guru kelas TK. Pertama saya mendapat laporan dari salah seorang guru TK yang membimbing cucu saya. Guru tersebut melaporkan bahwa cucu saya tidak bisa diam, banyak bicara dengan teman-teman disampingnya hingga memancing keributan, dan sering kali apa yang saya peragakan dan instruksikan kepada murid lain langsung ditirukan. Kemudian guru TK tersebut menjelaskan kepada saya bahwa adanya kemungkinan cucu saya memiliki kecenderungan autis. Saat itu perasaan saya bagai disambar petir mendengar penjelasan guru TK tersebut, seolah-olah hati saya tidak terima cucu saya dikatakan autis. Akan tetapi saya tetap menghargai apa yang dikatakan guru TK tersebut. Kedua, saya melihat sendiri cucu saya diberi kursi sendiri pada posisi di pojok kelas. Saat itu saya sengaja untuk mengintip proses belajar cucu saya di kelas. Setelah proses pembelajaran selesai, saya langsung menemui guru tersebut dan menanyakan alasan cucu saya disendirikan. Alasann yang diungkapkan dari guru TK tersebut agar cucu saya tidak mengganggu teman-teman yang lain. Lantas saya mengungkapkan protes saya atas perlakuan diskriminasi dari guru tersebut".

Selanjutnya, dengan empati saya menanyakan kepada mantan guru SD saya tentang bagaimana kebiasaan cucu tersebut di rumah. Kemudian mantan guru SD saya secara jelas menjelaskan bahwa selama di rumah, anak tersebut memang memiliki kecenderungan perilaku seperti: langsung meniru apa yang dilihatnya; jika memiliki keinginan sesuatu harus sesegera mungkin diwujudkan apabila tidak dipenuhi maka ia akan menangis histeris; dan jika sudah bermain dengan mainan yang disukai susah untuk dibujuk melakukan aktifitas yang lain.

Berawal dari keterangan guru tersebut. Sampai saat ini cucu dari mantan guru SD saya menghindari memberikan makanan coklat kepada cucunya.

Hal ini dilakukan agar tidak memperparah keadaan cucunya. Ketika saya bertanya mengenai bagaimana anak tersebut dalam menanggapi respon dari orang-orang disekitarnya, beliau mengungkapkan bahwa cucunya masih dapat merespon apa yang dia dengar dan respon yang diberikan masih menyambung. Kemudian pembicaraan berlanjut sampai pada sejarah biologis anak tersebut. Dan mantan ibu guru SD saya, saya beri penjelasan gambaran umum tentang apa itu autis dan bagaimana gejalanya.

Selain itu saya beri penjelasan mengenai ragam dari kesulitan belajar yang sering dihadapi siswa. DI akhir pembicaraan, saya berikan pemahaman bahwa belum tentu apa yang dikatakan oleh guru TK tersebut benar, karena hanya psikiater yang memiliki wewenang untuk memberikan diagnosisi “autis”.

ANDAIKAN SAYA SEBAGAI ORANGTUA

Setelah mendapat pengalaman tersebut, saya pun merenungkan bagaimana saya berada di posisi orangtua dari cucu mantan guru SD saya. Saya merenungkan dengan saya berada dalam dua kondisi.

Kondisi pertama, apabila saya menjadi orangtua dengan keadaan tidak memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan tinggi dan memiliki sumber ekonomi yang pas-pasan. Pada kondisi ini, saya sibuk mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga dan pendidikan anak. Pada kondisi ini juga, saya sebagai orangtua berusaha mencari nafkah dan mengatur keuangan untuk pendidikan anak di masa depan.

Kemudian pada suatu ketika, pihak sekolah mengundang saya sebagai orangtua untuk memberikan informasi tentang anak saya. Hasil laporan dari pihak sekolah seolah-olah mengintimidasi saya dengan memberikan laporan bahwa anak saya tidak dapat belajar di sekolah. Banyak guru yang mengeluhkan bahwa anak saya sulit untuk diatur, menjadi biang keladi keributan di kelas, sulit untuk menerima instruksi, dan sebagainya.

Selanjutnya, pihak sekolah memberitahukan bahwa anak saya memiliki masalah belajar dan cenderung autis atau memiliki keterbelakangan mental ringan. Sekolah memberikan pilihan apakah anak saya tetap bersekolah ditempat ini dengan keadaan diberi perlakuan khusus oleh guru atau disekolahkan di tempat lain dengan kelas khusus. Kemudian pihak sekolah menyarankan untuk menyekolahkan anak saya pada kelas khusus.

Kondisi kedua, apabila saya menjadi orangua dengan keadaaan memiliki pekerjaan yang layak, memiliki posisi yang bagus dalam perusahaan/instansi, serta berkesempatan mendapatkan pendidikan tinggi. Saya memiliki kedekatan dengan beberapa pihak sekolah. Saya juga turut terlibat aktif dalam komite sekolah. Jika ada waktu luang, saya sempatkan waktu untuk bertanya dan konsultasi dengan guru. Saya pun merasa nyaman untuk membicarakan mengenai masalah kesulitan belajar anak saya.

Hingga pada suatu ketika pihak sekolah mengundang saya untuk bertemu dan memberikan informasi bahwa anak saya memiliki masalah belajar yang serius. Informasi yang diiberikan, anak saya memiliki hambatan dalam masalah perhatian dalam aktivitas. Sekolah memberikan pilihan apakah anak saya tetap bersekolah ditempat ini dengan keadaan diberi perlakuan khusus oleh guru atau disekolahkan di tempat lain dengan kelas khusus. Kemudian pihak sekolah menyarankan untuk menyekolahkan anak saya pada kelas khusus. Dari kedua kondisi tersebut, bagaimana jika Anda menjadi orangtua?

AUTIS DAN RAGAM KESULITAN BELAJAR ANAK

Kembali pada penjelasan tentang apa itu autis. Istilah autis berasal dari kata autos (bahasa YunanI) yang artinya sendiri, sedangkan isme berarti paham. Dapat dipahami bahwa autisme adalah keadaan yang memungkinkan individu hanya memiliki perhatian pada dunianya sendiri. Mengutip dari pendapat Safaria (2005), autis termasuk gangguan perkembangan karena terganggunya fungsi psikologis anak. Gangguannya berupa distorsi (penyimpangan) dalam perkembangan yang ditandai dengan ciri-ciri fungsi abnormal dalam tiga bidang, yaitu: interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.

Dalam ilmu psikologi klinis, gejala autisme digolongkan pada DSM (Diagnostic and Statistical manual of Mental disorder) V. Terdapat berbagai kriteria diagnostik pada DSM V, beberapa kriterianya sebagi berikut (penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria DSM V dapat anda telusuri dengan keyword DSM V Autism Spectrum Disorder):

  • Kurangnya komunikasi dan interaksi sosial yang bersifat menetap pada berbagai konteks
  • Terganggunya perilaku komunikasi non verbal dan verbal yang digunakan untuk interaksi sosial
  • Kesulitan dalam menyesuaikan diri pada konteks sosial
  • Kelekatan dan pembatasan diri yang tinggi pada suatu ketertarikan yang abnormal. Misalnya, memiliki kelekatan yang kuat pada objek yang tidak biasa dan melakukan pembatasan berlebihan dengan objek tertentu.

Secara khusus langkah-langkah diganosis yang dilakukan pakar psikologi klinis dalam memberikan diagnosis bahwa individu memiliki kecenderungan Autism Spectrum Disorder diperlukan obervasi secara khusus.

Terlepas dari ciri-ciri anak yang memiliki kecenderungan Autism Spectrum Disorder. Ada baiknya pendidik dan orangtua juga memahami ragam kesulitan belajar yang dialami oleh anak. Hal ini bertujuan untuk tidak dengan mudah orangtua, pendidik, maupun orang dewasa lainnya memberikan cap “anak autis”.

Pada dasarnya tidak semua ahli psikologi belajar setuju dengan pengkategorian kesulitan belajar. Salah satu pendapat dari ahli psikologi belajar mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada anak yang berkesulitan belajar dalam arti sebenarnya, karena setiap anak memiliki kesulitan belajar masing-masing.

David Smith (2006) dalam bukunya yang berjudul “Inklusi: Sekolah Ramah untuk Semua” (terjemahan Mohmmad Sugiarmin) memberikan penjelasan yang cukup lengkap mengenai ragam kesulitan belajar. Ragam kesulitan belajar dikategorikan menjadi lima, yaitu: 1) masalah bahasa (language problem); 2) masalah perhatian dan aktivitas (attention and activity); 3) masalah ingatan (memory problem); 4) masalah kognitif (cognitive problem); dan 5) masalah sosial-emosi (social and emotional problem).

1. Masalah bahasa (language problem)

Masalah bahasa dapat ditemui pada anak yang memiliki kesulitan dalam berbicara dengan jelas, menemukan kata apa yang benar dan tepat untuk mengukapkan keinginannya (ide), dan memiliki kesulitan dalam mengatur bahasa saat berkomunikasi dengan orang lain.

2. Masalah perhatian dan aktivitas (attention and activity)

Masalah perhatian dan aktivitas ditunjukkan dengan perilaku anak yang berlari-lari, tidak dapat duduk ditempat duduknya, bertindak dengan perilaku yang spontan. Hal yang perlu diigat bagi kita semua bahwa masalah ini tidak berlaku bagi anak-anak yang usia dini. Para psikolog perkembangan memberikan penjelasannya bahwa kemampuan anak-anak memfokuskan perhatiannya akan bertambah sering dengan usianya. Anak-anak yang berada pada usia dini tidak dapat diharapkan untuk memfokuskan perhatiannya pada orang, benda, persitiwa dalam waktu yang lama.

3. Masalah ingatan (memory problem)

Berdasarkan penelitian ahli mengenai masalah ingatan, hambatan yang ditemukan pada anak yang memiliki masalah ini berkiatan dengan: kesulitan mengingat fakta, instruksi, dan aturan. Hasil yang ditemukan dengan melakukan test terhadap kemampuan memori otak anak bermuara pada sebuah kesimpulan. Kesimpulannya adalah berkurangnya fungsi memori pada anak yang mengalami hambatan daya ingat, berkaitan dengan tidak adanya strategi cara belajar mengingat yang efektif.

4. Masalah kognitif (cognitive problem)

Masalah kognitif berkaitan pula dengan masalah ingatan/memori. Anak-anak yang memiliki kesulitan belajar dengan kelompok masalah kognitif memunculkan sikap seperti: sulit membuat perencanaan dan pengaturan suatu masalah, dalam tugas-tugas sekolah menunjukkan sikap tergesa-gesa dan tidak beraturan.

5. Masalah sosial-emosi (social and emotional problem).

Anak yang memiliki masalah sosial emosi menunjukkan perilaku dengan adaptasi yang salah dan anak tersebut mengembangkan keyakinan pada dirinya. Seringkali anak yang memiliki masalah ini juga salah menafsirkan komunikasi emosional dan sosial dari orang lain. Adanya kemungkinan, mereka tidak memahami dampak dari sikapnya pada orang lain. Tentu saja kesulitan sosial dan emosi pada anak berkaitan pula dengan 4 ragam kesulitan belajar sebelumnya.

Semoga pengalaman dan sedikit pengetahuan yang saya bagikan dalam tulisan ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Mari kita dampingi anak-anak dalam belajar apa pun. Akhir kata, mari bersama-sama kita sadari bahwa autism is not joke.

 

Salam

Madiun, 5 Desember 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun