Kemudian pada suatu ketika, pihak sekolah mengundang saya sebagai orangtua untuk memberikan informasi tentang anak saya. Hasil laporan dari pihak sekolah seolah-olah mengintimidasi saya dengan memberikan laporan bahwa anak saya tidak dapat belajar di sekolah. Banyak guru yang mengeluhkan bahwa anak saya sulit untuk diatur, menjadi biang keladi keributan di kelas, sulit untuk menerima instruksi, dan sebagainya.
Selanjutnya, pihak sekolah memberitahukan bahwa anak saya memiliki masalah belajar dan cenderung autis atau memiliki keterbelakangan mental ringan. Sekolah memberikan pilihan apakah anak saya tetap bersekolah ditempat ini dengan keadaan diberi perlakuan khusus oleh guru atau disekolahkan di tempat lain dengan kelas khusus. Kemudian pihak sekolah menyarankan untuk menyekolahkan anak saya pada kelas khusus.
Kondisi kedua, apabila saya menjadi orangua dengan keadaaan memiliki pekerjaan yang layak, memiliki posisi yang bagus dalam perusahaan/instansi, serta berkesempatan mendapatkan pendidikan tinggi. Saya memiliki kedekatan dengan beberapa pihak sekolah. Saya juga turut terlibat aktif dalam komite sekolah. Jika ada waktu luang, saya sempatkan waktu untuk bertanya dan konsultasi dengan guru. Saya pun merasa nyaman untuk membicarakan mengenai masalah kesulitan belajar anak saya.
Hingga pada suatu ketika pihak sekolah mengundang saya untuk bertemu dan memberikan informasi bahwa anak saya memiliki masalah belajar yang serius. Informasi yang diiberikan, anak saya memiliki hambatan dalam masalah perhatian dalam aktivitas. Sekolah memberikan pilihan apakah anak saya tetap bersekolah ditempat ini dengan keadaan diberi perlakuan khusus oleh guru atau disekolahkan di tempat lain dengan kelas khusus. Kemudian pihak sekolah menyarankan untuk menyekolahkan anak saya pada kelas khusus. Dari kedua kondisi tersebut, bagaimana jika Anda menjadi orangtua?
AUTIS DAN RAGAM KESULITAN BELAJAR ANAK
Kembali pada penjelasan tentang apa itu autis. Istilah autis berasal dari kata autos (bahasa YunanI) yang artinya sendiri, sedangkan isme berarti paham. Dapat dipahami bahwa autisme adalah keadaan yang memungkinkan individu hanya memiliki perhatian pada dunianya sendiri. Mengutip dari pendapat Safaria (2005), autis termasuk gangguan perkembangan karena terganggunya fungsi psikologis anak. Gangguannya berupa distorsi (penyimpangan) dalam perkembangan yang ditandai dengan ciri-ciri fungsi abnormal dalam tiga bidang, yaitu: interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.
Dalam ilmu psikologi klinis, gejala autisme digolongkan pada DSM (Diagnostic and Statistical manual of Mental disorder) V. Terdapat berbagai kriteria diagnostik pada DSM V, beberapa kriterianya sebagi berikut (penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria DSM V dapat anda telusuri dengan keyword DSM V Autism Spectrum Disorder):
- Kurangnya komunikasi dan interaksi sosial yang bersifat menetap pada berbagai konteks
- Terganggunya perilaku komunikasi non verbal dan verbal yang digunakan untuk interaksi sosial
- Kesulitan dalam menyesuaikan diri pada konteks sosial
- Kelekatan dan pembatasan diri yang tinggi pada suatu ketertarikan yang abnormal. Misalnya, memiliki kelekatan yang kuat pada objek yang tidak biasa dan melakukan pembatasan berlebihan dengan objek tertentu.
Secara khusus langkah-langkah diganosis yang dilakukan pakar psikologi klinis dalam memberikan diagnosis bahwa individu memiliki kecenderungan Autism Spectrum Disorder diperlukan obervasi secara khusus.
Terlepas dari ciri-ciri anak yang memiliki kecenderungan Autism Spectrum Disorder. Ada baiknya pendidik dan orangtua juga memahami ragam kesulitan belajar yang dialami oleh anak. Hal ini bertujuan untuk tidak dengan mudah orangtua, pendidik, maupun orang dewasa lainnya memberikan cap “anak autis”.
Pada dasarnya tidak semua ahli psikologi belajar setuju dengan pengkategorian kesulitan belajar. Salah satu pendapat dari ahli psikologi belajar mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada anak yang berkesulitan belajar dalam arti sebenarnya, karena setiap anak memiliki kesulitan belajar masing-masing.
David Smith (2006) dalam bukunya yang berjudul “Inklusi: Sekolah Ramah untuk Semua” (terjemahan Mohmmad Sugiarmin) memberikan penjelasan yang cukup lengkap mengenai ragam kesulitan belajar. Ragam kesulitan belajar dikategorikan menjadi lima, yaitu: 1) masalah bahasa (language problem); 2) masalah perhatian dan aktivitas (attention and activity); 3) masalah ingatan (memory problem); 4) masalah kognitif (cognitive problem); dan 5) masalah sosial-emosi (social and emotional problem).