Mohon tunggu...
Mariam Umm
Mariam Umm Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu 4 anak

Ibu Rumah Tangga

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[My Diary] Cintai Aku

13 April 2016   20:26 Diperbarui: 14 April 2016   10:05 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="my diary"][/caption]

Mariam Umm no : 2

Dear Diary,

Dia, Sosok itu sudah berubah, dia tak lagi sama seperti saat kutinggalkan dulu, dan aku.....

Entah,

Entah bagaimana lagi caraku mengisi hatiku yang kosong. Sekeras apapun aku menghibur, hatiku tetap terasa hampa.

Segala upaya sudah kucoba untuk melupakan dia yang hampir tiap detik kupikirkan. Setiap hari aku mencari kehadirannya. Saat  dapat berjumpa, aku  berharap sosok itu mau menatapku. Namun sekeras apapun aku berharap, dan  berteriak dalam hati  " tolong tatap aku sekali saja", namun sekali lagi pandangannya selalu tertuju ke arah yang lain. 

Kau tau, Di.

Aku berusaha menghibur diri, tetapi selalu kukatakan aku gagal. Memang, hariku tetap berjalan normal, aku tetap tertawa seperti biasa, tersenyum seperti biasa. Tapi hati tak mampu berdusta. Jauh di dalam, hatiku meraung mempertanyakan 'akankah separuh hatiku bertemu dengan separuh hatiku yang lain?"

Sosoknya berhasil mengambil kerja otakku,memaksaku untuk memusatkan pikiranku padanya. Tanpa kusadari, sosoknya telah menjadi candu bagiku.

Tak pernah kubayangkan, aku bisa mencintai seseorang sedalam ini. Dan saat itu pula dalam waktu bersamaan hatiku dipatahkan berkali kali. Kau tau betul ' Di, aku bisa saja menyerah, namun apa daya jika hatiku tak pernah rela mempersilahkan.

Hari ini, aku cemburu saat kulihat sosok itu  berlari menghampiri sosok yang lain, tidakkah dia tau, aku selalu setia berada dibelakangnya.

Rasa sakit kembali menghujam, saat dengan ringannya sosok itu berceloteh tentang kebodohanku yang terus mengharapkan sosoknya. Aku geram, Di, sungguh,

Sudah terlalu sering aku merutuki, apa yang terjadi dengan hatiku, betapa bodohnya aku dengan rasa rindu yang semakin membumbung tanpa adanya kepastian kapan rasa dan rinduku akan berlabuh. Tentu saja pada pelabuhan yang kutuju, hatinya.

Namun nyatanya, pelabuhan itu semakin menjauh, sekeras apapun usahaku untuk menjangkaunya. Sisi hatiku yang lain berteriak frustasi,memaki diri sendiri. Menyerahlah, tak seharusnya aku memperjuangkan rasa dan rindu yang pada akhirnya membuatku tersakiti. Selamanya akan seperti itu, tidak akan ada akhir bahagia untukku. Dia tak akan pernah menoleh padaku.

Aku terjebak dalam rasa dan rindu menjerat, Cinta. 

Tolong jangan menatapku sinis begitu, Di. Kau tau betapa menyesalnya aku. Tapi penyesalanku tak bisa menyentuh hatinya.

Andai sosok itu tau. Aku ingin menjadi yang pertama untuknya. Aku ingin menjadi yang  pertama mengajarinya bicara, aku ingin menjadi yang pertama  menuntun langkahnya menapaki dunia, aku ingin menjadi yang pertama memeluknya saat mimpi buruk mengganggu tidurnya. Yang pertama, selalu, karena…

Aku ibunya, aku ibu dari sosok itu. Tapi ibu macam apa aku ini.

Ibu macam apa yang pernah dengan sengaja ingin membuang janin dalam kandungannya. Walau segala cara tak pernah membuahkan hasil, janin itu terlalu kuat untuk dibuang.

Ibu macam apa yang dengan sengaja, menutupi kehamilannya, saat ibu hamil yang lain, dengan segenap rasa bahagia memamerkan kehamilan mereka?

Ibu macam apa yang dengan sengaja meninggalkan bayinya begitu saja, padahal belum lagi satu hari, bayi itu menghirup nafas dunia?

Aku, ibu yang tak pernah ada untuknya. Tapi aku terpaksa, Di. Keadan memaksaku menjadi sosok ibu seperti itu. Karena lelaki itu, lelaki yang dengan setia melayangkan tangan dan kakinya untuk menyakiti tubuh hamilku.

Salahkah aku?

Maka, hari ini dihadapan hujan yang mengguyur deras, aku kembali menuliskan  permohonanku pada sosok itu, anakku, maaf.

Maaf untuk semua luka yang dengan sengaja ku torehkan padamu.

Maaf untuk semua noda hitam yang dengan sengaja kupilihkan untukmu

Maaf aku tak pernah mewarnai masa kecilmu.

Maaf....

Dan jika sosok itu mengijinkanku untuk boleh meminta, tolong berikan sedikit saja hatimu, untuk bisa mencintaiku, Ibumu.

Cintai aku, hanya itu permintaanku.

Bolehkan, Di, aku meminta begitu, bolehkan?

Bolehkah?

Aku tau, Di, sama, setap hari adalah sama. Lagi dan lagi aku hanya bisa menceritakan rupa sedih dan semuanya padamu. Akupun punya keinginan berbeda, Di.

Inginku Besok dan hari selanjutnya,  ceritaku akan berganti rupa menjadi bahagia. Diatas segala hampa dan rasa penyesalanku, suatu saat nanti,  sosok itu akan datang dan menuntaskan rasa rinduku. Selama aku belum menyerah untuk merindukannya. Begitukan, Di,begitukan.

Begitukah?

--Sisi82--

Ayo baca. voted, dan komen karya peserta lain disini : http://www.kompasiana.com/fiksiana-community/inilah-perhelatan-festival-fiksi-my-diary-di-kompasiana-dan-karya-para-peserta_570a74417193732c1d506829

Jangan takut buat gabung di : Fiksiana Comunity

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun