Cognitive Dissonance Theory
Dalam beberapa kesempatan di sepanjang hidup, pernahkah Anda mengalami kondisi terpaksa melakukan sesuatu meskipun bertentangan dengan keyakinan di dalam diri? Pernahkah Anda tetap melakukan sesuatu sekalipun mengetahui bahwa perilaku tersebut membawa dampak buruk bagi diri sendiri? Untuk memahami dan menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa melihat contoh berikut:
"Seorang lelaki sedang memarahi gerombolan anak SD yang ketahuan merokok. Padahal dia sendiri saat itu sedang memegang sebatang rokok yang masih mengepul. Alasan lelaki tersebut memarahi anak-anak SD yang merokok adalah karena rokok tidak baik bagi kesehatan khususnya paru-paru. Sejatinya, lelaki tersebut sudah memahami konsekuensi buruk dari kebiasaan merokok, tapi dia pun masih tetap merokok."Â
Dari contoh di atas, Anda dapat melihat jika terdapat perbedaan antara pendapat, sikap dan perilku yang ditunjukkan oleh lelaki tersebut. Kondisi seperti ini menurut pakar Psikolog Abad 16, Leon Festinger dinamakan Cognitive Dissonance / Disonansi Kognitif.
Lantas apa pengertian dari Cognitive Dissonance/ disonansi kognitif, dan bagaimana hal ini dapat terjadi pada diri manusia? Yuk, simak penjelasan berikut!
Arti Cognitive Dissonance Theory/ Teori Disonansi Kognitif
Cognitive Dissonance Theory merupakan sebuah istilah yang merujuk pada kondisi ketidaknyamanan seseorang ketika menghadapi dua nilai yang bertentangan. Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 silam. Menurut Leon, ketidaksesuaian antara keyakinan dan sikap yang ditunjukan dapat berdampak buruk hingga memunculkan perasaan tidak nyaman.
Contoh lain dari kondisi disonansi kognitif di dalam kehidupan sehari-hari selain yang telah disampaikan di atas, yaitu :
Seseorang yang dengan sadar telah berkata bohong namun tetap bersikukuh bahwa dirinya benar dan mengatakan dengan jujur.
Seseorang yang berkata tidak percaya ramalan zodiak tapi tetap mencari informasi tentang horoskop jika membuka majalah/koran.
Seseorang yang berkata mencintai kedamaian namun justru bertindak kasar kepada orang lain.
"Seorang lelaki sedang memarahi gerombolan anak SD yang ketahuan merokok. Padahal dia sendiri saat itu sedang memegang sebatang rokok yang masih mengepul. Alasan lelaki tersebut memarahi anak-anak SD yang merokok adalah karena rokok tidak baik bagi kesehatan khususnya paru-paru. Sejatinya, lelaki tersebut sudah memahami konsekuensi buruk dari kebiasaan merokok, tapi dia pun masih tetap merokok."Â
Penyebab Seseorang Mengalami Disonansi Kognitif
Setidaknya terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami kondisi disonansi kognitif, seperti :
1. Ada tekanan dari pihak yang lain
Seringkali disonansi kognitif muncul karena adanya tekanan pihak lain yang sulit untuk dihindari. Misalnya, seseorang siswi SMP yang terpaksa berdandan menor demi dapat berbaur dengan teman sekelas. Meski jauh di dalam diri dia lebih menyukai tampil polos. Tekanan inilah yang sering menjadi penyebab seseorang mengalami konflik batin dan mengalami disonansi kognitif.
2. Mendapatkan informasi baru
Kadangkala seseorang yang mendapatkan informasi baru bisa mengalami kondisi tidak nyaman di dalam dirinya. Misalnya ketika sahabat dekat tiba-tiba mengaku bahwa dirinya penyuka sesama jenis. Kondisi ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan manakala Anda sendiri mempunyai keyakinan bahwa penyuka sesama jenis adalah sebuah dosa.
Kondisi seperti ini juga dapat menimbulkan inkonsistensi logika dalam berpikir, di mana logika saling bertentangan satu sama lain.
3. Menghadapi dua pilihan terbaik yang harus diambil
Seseorang dapat mengalami kondisi disonansi kognitif jika berhadapan dengan dua pilihan yang harus diputuskan dengan bijak. Seperti ketika menerima dua tawaran kerja sekaligus, dengan kualitas dan penawaran yang sama baiknya. Satu tawaran kerja di dekat rumah orangtua, tawaran kerja lain mengharuskan Anda pindah ke luar pulau namun gaji lebih tinggi. Kondisi dilematik seperti ini dapat menimbulkan disonansi kognitif.
Cara Mengatasi Disonansi Kognitif
Perasaan ketidaknyamanan di dalam diri dapat dikurangi melalui beberapa cara, antara lain:
1. Tidak menerima / menghindari datangnya informasi baru
Agar tidak mengalami kondisi ketidaknyamanan ketika mendapatkan informasi baru, sebaiknya Anda meminimalisir dengan menghindarinya. Tahukah Anda? Bahwa ada sebagian orang yang sengaja abai dan memilih untuk tidak tahu menahu agar dapat berdamai dengan diri sendiri. Kondisi tersebut disebut "bias konfirmasi".
2. Mengganti keyakinan lama yang dimiliki
Meski terlihat mudah, mengubah sebuah keyakinan yang telah berakar di dalam diri ternyata cukup sulit. Sebab, keyakinan tersebut bersifat permanen, karena ditanamkan oleh lingkungan secara berulang kali dalam waktu yang lama.
Jadi, untuk mengurangi disonansi kognitif, maka keyakinan lama harus ditumpuk dengan keyakinan baru, sehingga perilaku pun akan turut berubah.
3. Berperilaku sesuai dengan yang dipikirkan
Seperti halnya keyakinan, perilaku juga bukan suatu hal yang mudah diubah. Namun perilaku dapat berubah jika mendapatkan stimulasi dari orang lain yang disegani/ dihormati. Atau memberi reward pada diri sendiri setiap kali bersikap sesuai dengan apa yang dipikirkan.
4. Menghapus disonansi dengan mengubah persepsi (melakukan rasionalisasi)
Untuk mengurangi disonansi kognitif, Anda bisa mulai menghilangkan informasi yang kurang mendukung dan mengabaikan fakta yang ada. Secara sederhana, Anda dapat mempersempit kesenjangan dan konflik ketika berdalih dan membenarkan perilaku tersebut.
Misalnya, ketika ada mengetahui bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Maka ketidaknyamanan dapat berkurang apabila Anda berkata ke dalam diri bahwa fakta tersebut belum tentu benar. Membenarkan perilaku yang dilakukan secara otomatis dapat memunculkan perasaan nyaman.
5. Menyajikan pemikiran yang konsonan atau selaras
Tidak jauh berbeda dengan penjelasn nomor 4. Anda hanya perlu menyajikan pemikiran baru yang selaras dengan perilaku. Anda bisa memilih antara mana yang lebih penting untuk hidup nanti, apakah pilihan A atau B? Seringkali pemikiran baru yang muncul dapat memberikan kenyaman bagi psikologis.
Terminologi yang dipakai dalam teori kognitif disonansi bisa diterjemahkan ke dalam konteks kepuasan pelanggan, kedua elemen kognitif bisa dipresentasikan dengan ekspektasi terhadap produk sebelum pemakaian produk
Disonansi adalah kesenjangan atau perbedaan antara ekspektasi dan kinerja produk, apabila kinerja produk lebih buruk dibandingkan ekspektasi pelanggan maka situasi ini disebut negative disconfirmation, jika kinerja produk lebih bagus daripada ekspektasi pelanggan maka disebut positive disconfirmation sedangkan jika kinerja produk sama dengan harapan konsumen disebut simple confirmation. Apabila dikonfirmasi terjadi konsumen akan berusaha menekan dengan jalan mengubah persepsinya terhadap produk agar lebih konsisten dengan ekspektasi. Pada intinya disonansi adalah kondisi dimana konsumen merasa tidak nyaman akibat sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan dan memotivasi untuk mengambil langkah (membeli) barang demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut
Teori kognitif dissonance merupakan fondasi bagi Expectancy Disconfirmation Model yang hingga saat ini mendominasi literatur kepuasan pelanggan.Â
Dalam model ini kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai evaluasi yang memberikan hasil di mana pengalaman yang dirasakan setidaknya sama baiknya dengan yang diharapkan. Ekspektasi terhadap kinerja produk berlaku sebagai standar perbandingan terhadap kinerja aktual produk
Begitulah informasi tentang cognitive dissonance theory dan pengaruhnya pada kehidupan manusia. Semoga apa yang telah dipaparkan di atas dapat membantu Anda jika berada di dalam kondisi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H