Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Koruptor Dimaafkan, Lalu Rasa Keadilan Diapain ?

27 Desember 2024   11:35 Diperbarui: 27 Desember 2024   14:11 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.jakartasatu.com

Berawal dari pidato Presiden Prabowo di hadapan para mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir (Rabu, 18 Desember 2024), yang intinya bisa memaafkan para koruptor asal mereka mau mengembalikan uang hasil jarahannya. Berikut sebagai dari narasi utuhnya.

"Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya nggak ketahuan,." (Kompas.id, 19 Desember 2024).

Kini wacana yang dilempar Prabowo itu memantik perdebatan di ruang publik. Para pembantu Presiden di kabinet terbaca jelas berusaha memberikan dukungan dengan cara mencarikan instrumen hukum sebagai landasan pembenar rencana Presiden.

Mengampuni sebagai Kewenangan Presiden

Yusril Ihza Mahendra, Menko Kumham dan Impas misalnya. Melalui pernyataan tertulisnya kepada media, ia menjelaskan bahwa pernyataan Prabowo itu merupakan bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Yakni dengan menerapkan pendekatan keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Dengan pendekatan ini penghukuman terhadap para pelaku tindak pidana korupsi buka lagi efek jera, tapi keadilan restoratif.

"Penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi haruslah membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan hanya menekankan pada penghukuman kepada para pelakunya," papar Yusril (Detik.com, 19 Desember 2024).

Dalam kerangka pendekatan itulah Yusril menyebut pernyataan Presiden Prabowo sebagai strategi untuk memulihkan kerugian negara (asset recovery). Yakni pemulihan aset negara melalui proses pengembalian aset hasil tindak pidana kejahatan, seperti korupsi atau pencucian uang. Dalam hukum, asset recovery merupakan sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban untuk merampas hak atas aset hasil tindak pidana.

"Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kalau uang hasil korupsi mereka kembalikan, pelakunya dimaafkan, uang tersebut masuk ke APBN untuk menyejahterakan rakyat," jelas Yusril seperti dikutip Detik.com. 

Pada bagian lain pernyataannya, Yusril juga mengungkapkan bahwa pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang yang dikorupsi merupakan bagian rencana amnesti dan abolisi. Selaku Presiden, Prabowo memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, termasuk pelaku tindak pidana korupsi (Antaranews.com, 19 Desember 2024)

Masih dari sisi pemerintah, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa para koruptor bisa diampuni. Hal itu terjadi jika ada pengampunan dari Presiden atau melalui denda damai. Denda damai merupakan penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan pembayaran denda yang disetujui oleh Jaksa Agung. Mekanisme ini dapat diterapkan untuk menangani tindak pidana yang menimbulkan kerugian negara (Pikiranrakyat.com, 25 Desember 2024).

Asset Rcovery Tak Otomatis Menghapus Pidana

Sementara itu kalangan akademisi, pakar hukum dan pegiat anti-korupsi mempertanyakan, bahkan mengkritik tajam rencana Prabowo memberikan ampunan kepada para koruptor.

Zaenur Rohman, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUkat) UGM misalnya. Menurut Zaenur, ide Presiden Prabowo memberikan pengampunan kepada koruptor asal mengembalikan hasil curian merupakan sinyal buruk bagi pemberantasan korupsi. Ia kemudian merujuk Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak serta merta dapat menghapus tindak pidana pelakunya.

Pandangan senada dikemukakan Prof. Mahfud. Ia mengatakan bahwa menurut hukum yang berlaku sekarang, itu tidak boleh. "Siapa yang membolehkan itu bisa terkena Pasal 55, berarti ikut menyuburkan korupsi, ikut serta, ya. Pasal 55 KUHP itu," kata Mahfud kepada wartawan di Ancol Jakarta Utara (CNN.com, 21 Desember 2024). "Pak Prabowo bisa mengatakan apa saja karena dia Presiden yang terpilih, cuma kita juga harus mengingatkan agar tidak terlanjur salah, itu tugas kita," warning Mahfud lugas.

Nah, di luar kontroversi aspek hukum tadi, berikut adalah sisi lain yang perlu diingatkan kepada pemerintah terkait wacana dan rencana pengampunan para koruptor.

Lima Warning buat Pemerintah

Setidaknya ada lima hal yang perlu diingatkan kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Prabowo supaya tidak salah haluan dalam mengemban amanah rakyat dan memimpin negara.   

Pertama, agar tak amnesia dengan sejarah, penting disegarkan kembali bahwa  pemberantasan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) adalah salah satu agenda reformasi 1998. Memaafkan tindak pidana korupsi para penjarah uang negara jelas merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat dan agenda besar reformasi yang telah diperjuangkan bersama seluruh elemen bangsa.

Kedua, korupsi merupakan extraordinary crime, kejahatan luarabiasa. Dikategorikan demikian karena dampak buruk dan daya rusaknya yang dahsyat dan meluas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Trilyunan uang negara yang seharusnya didistribusikan kepada rakyat dengan adil, merata dan proporsional dijarah seenaknya oleh para koruptor lalu dinikmati secara ekslusif oleh keluarga, kelompok dan kroni-kroninya.

Mengampuni para koruptor (meski dengan syarat hasil jarahannya dikembalikan kepada negara) artinya membiarkan kelakuan busuk para perusak negara. Perilaku mereka tidak ada bedanya dengan para teroris yang menebar ketakutan, merusak harmoni dan kedamaian, mengganggu keamanan dan mengancam integrasi bangsa.

Ketiga, korupsi jelas-jelas merupakan perbuatan jahat, abnormalitas perilaku secara sosial. Mengampuni para koruptor sama saja dengan menolerir dan pada akhirnya menormalisasi perbuatan jahat.

Penting disadari, bahwa dengan ancaman hukuman dan sebagiannya sudah dengan penegakan hukum oleh aparat negara, para pelaku kejahatan tidak mudah ditekan dan dikurangi jumlah dan kualitas kejahatannya. Apalagi jika kemudian pemerintah menyediakan instrumen kebijakan memaafkan, meski dengan syarat mengembalikan uang hasil kejahatannya itu. Bagaimana negara ini bisa bersih dari korupsi ?

Keempat, salah satu tujuan penindakan dan penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi adalah lahirnya efek jera para pelaku, yang sekaligus bisa menjadi pesan kepada siapapun yang berniat atau potensial melakukan korupsi karena jabatan, kedudukan dan kewenangan yang dimilikinya.

Dengan mengampuni para koruptor atas tindak pidananya, maka dapat dipastikan efek jera penindakan dan penegakan hukum itu akan hilang. Siapa saja yang memiliki potensi berbuat korupsi akan berpikir untuk melakukannya tanpa rasa takut karena toh ada instrumen kebijakan memaafkan dari pemerintah.

Terakhir tapi tak kalah penting adalah soal rasa keadilan publik. Memaafkan para koruptor asal mereka mau mengembalikan asset negara yang dirampoknya itu sungguh sangat mengganggu rasa keadilan.

Dengan uang hasil jarahannya, para koruptor berkelimpahan menikmati asset negara yang sejatinya merupakan milik rakyat itu dengan cara tak halal dan tak legal. Dengan uang itu pula mereka mungkin sudah membangun bisnis baru, menyiapkan warisan untuk anak-cucunya tujuh turunan. Lalu negara datang dengan "bijak" : "Kalian dimaafkan, asal kembalikan uang negara." 

Kampret !

 

Esai-esai politik lainnya

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/676b64f434777c6c6a2937b5/hasto-tersangka-langkah-kpk-dan-relasi-kuasa-yang-berubah 

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/676a7c24ed641561da5d7042/pilgub-oleh-dprd-diskusikan-dulu-jangan-buru-buru

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/674eded8ed6415220b34b332/mengapa-airin-kalah-di-banten

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/674c33f6c925c41271406d22/memetik-hikmah-dari-partisipasi-rendah-di-pilgub-jakarta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun