Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilgub oleh DPRD, Diskusikan Dulu, Jangan Buru-buru

24 Desember 2024   16:25 Diperbarui: 25 Desember 2024   10:27 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana mengembalikan, bukan hanya Pilgub tetapi juga Pilbup dan Pilwali (artinya semua Pilkada) ke DPRD ini sebetulnya merupakan isu lama. Sepuluh tahun silam, tepatnya menjelang akhir pemerintahan SBY, wacana mengubah kembali Pilkada dari popular vote kembali menjadi elit vote ini bahkan sudah sempat dituangkan dalam Undang-Undang. Muasal wacana (atau lebih tepatnya hasrat) ini lahir dari parlemen.

Oleh sebab desakan publik yang kencang, Presiden SBY kemudian meng-cut off hasrat mengembalikan Pilgub ke DPRD itu dengan menerbitkan dua Perppu.

Pertama, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD. 

Dari Perppu inilah kemudian muasal UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan (PIlkada) lahir setelah mengalami beberapa kali perubahan, dan hingga kini masih digunakan.

Kedua, Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah.

Dalam keterangannya saat mengumumkan kedua Perppu tersebut sebagaimana tersimpan jejak digitalnya di laman setkab.go.id (Tolak Pilkada Lewat DPRD, Presiden SBY Terbitkan 2 Perppu, 2 Oktober 2014), Presiden SBY menyatakan dengan lugas dukungannya terhadap Pilkada langsung dengan sejumlah perbaikan mendasar. SBY sependapat dengan pandangan bahwa pilkada langsung adalah buah dari perjuangan reformasi.

Oleh sebab itu, ia dapat mengerti dan memaklumi kekecewaan, bahkan kemarahan, sebagian besar rakyat Indonesia, yang merasa hak dasarnya untuk berpartisipasi dalam memilih pemimpin di daerahnya masing-masing dicabut dengan pilkada tidak langsung melalui DPRD. 

Kekecewaan demikian menurut saya adalah wajar, saya sendiripun juga merasakan kekecewaan yang sama. Demikian pernyataan SBY kala itu. Saat itu penolakan publik memang sangat kencang.

Jadi, wacana mengembalikan Pilkada atau secara lebih spesifik Pilgub ke DPRD adalah hasrat lama yang kini bersemi kembali. Bedanya, sepuluh tahun silam hasrat itu muncul dari parlemen, sementara Presiden SBY sendiri kemudian menolaknya. Kini wacana itu dikemukakan langsung oleh Presiden Prabowo, dan sebagian anggota parlemen sudah menyatakan dukungannya.

Terkait alasan (sepuluh tahun silam dan saat ini) mengapa Pilkada, khususnya Pilgub belakangan ini dianggap harus dikembalikan kepada DPRD kurang lebih juga sama. Yakni biaya yang sangat mahal dan praktik politik uang yang sangat parah, sukar dikendalikan dan akhirnya membuat Pilkada belepotan dengan kotoran pelanggaran dan kecurangan.

Diskusikan Dulu, Jangan Buru-buru

Lantas, cukup kuatkah alasan biaya mahal dan praktik politik uang yang masif sebagai dasar untuk mengembalikan Pilgub kepada DPRD? Apakah tidak ada lagi cara untuk menekan biaya yang mahal itu melalui perbaikan regulasi dan mekanisme penyelenggaraannya?

Penting dicatat, politik uang bukanlah sekedar urusan jumlah, tetapi juga moralitas dan dampaknya di kemudian hari. Premis dasarnya simpel saja. Pemilihan pemimpin di level manapun, jika sudah diawali dan dibarengi dengan praktik politik uang, berapapun besarnya dan bagaimanapun bentuknya, sama saja. Ini adalah kejahatan elektoral, praktik politik tuna-adab, yang pasti bakal beranak pinak di kemudian hari.

Maka sangat penting wacana ini dibedah dan diuji terlebih dahulu dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi setiap elemen masyarakat untuk berbicara. Pemerintah dan DPR jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, mengingat di sisi negatifnya, Pilkada langsung termasuk Pilgub juga telah memberikan sisi positif dalam kerangka mengonsolidasikan demokrasi, mewujudkan hakikat kedaulatan rakyat, peranserta publik yang lebih bermakna, dan akuntabilitas para kepala daerah-wakil kepala daerah terpilih.

Perihal biaya yang besar memang tidak bisa dipungkiri. Pilkada menghabiskan biaya yang sangat besar, baik yang dikeluarkan oleh APBD untuk membiayai penyelenggaraan maupun yang digelontorkan para peserta (termasuk partai politik pengusung tentu saja) sebagai political cost.

Tetapi hal itu sebetulnya bukan keniscayaan. Setidaknya, biaya Pilkada sesungguhnya bisa ditekan sedemikian rupa, dan karenanya tak harus sebesar atau semahal seperti saat ini atau yang baru saja berlalu. Sedikitnya ada tiga langkah strategis yang dapat dilakukan untuk menekan biaya Pilkada.

Efesiensi Biaya Penyelenggaraan 

Pertama merumuskan ulang regulasi dan ketentuan-ketentuan teknis penyelenggaraan, khususnya terkait aspek-aspek program dan kegiatan yang berdampak pada keluarnya pembiayaan yang besar atau mahal.

Dari sisi pembiayaan oleh APBD. Beberapa aspek program dan kegiatan itu misalnya rapat-rapat dan perjalanan dinas penyelenggara Pemilu dan jajaran kesekjenan dan kesekretariatan (terutama KPU dan Bawaslu di seluruh tingkatan).

Mulai dari launching tahapan, rapat-rapat kordinasi, bimtek-bimtek, penguatan kelembagaan internal penyelenggara dan kegiatan-kegiatan yang berimplikasi pada pembiayaan akomodasi dan perjalanan dinas.

Kemudian kegiatan sosialisasi yang berimplikasi selain pada pengadaan berbagai Alat Peraga Sosialisasi (APS), juga akomodasi kegiatan dan perjalanan dinas. Dalam konteks ini mengoptimalkan penggunaan berbagai platform media sosial yang dimiliki KPU dan KPU Daerah serta jajarannya di bawah bisa lebih menghemat anggaran tanpa harus mengurangi volume dan dampak positif yang diharapkan dari kegiatan sosialisasi.

Kemudian dari sisi kebutuhan peserta Pilkada. Penghematan anggaran bisa dilakukan antara lain dengan membatasi lebih ketat lagi pengadaan Alat Peraga Kampanye (APK) dan barang cetak lainnya. Dan mengalihkannya pada pemanfaatan berbagai platform media sosial yang dimiliki peserta Pilkada sebagai media kampanye. 

Penegakan Hukum

Kedua, penegakan hukum terhadap semua bentuk pelanggaran elektoral oleh peserta maupun pemilih yang telah memicu lahirnya biaya tinggi (high cost) seperti mahar politik (political dowry) dan politik uang (money politics).

Penting disadari dan diakui dengan jujur terutama oleh peserta Pilkada dan partai-partai pengusung dan pendukungnya, bahwa mahalnya Pilkada boleh jadi merupakan akibat dari praktik politik yang mereka lakukan sendiri. Buktinya praktik Mahar Politik dan Politik Uang. 

Dalam percaturan politik Indonesia mutakhir istilah mahar (dowry) ini digunakan untuk menggambarkan fenomena transaksional antara kandidat-kandidat pemimpin politik dengan partai politik untuk memperebutkan jabatan yang dipilih (elected office). 

Bentuk mahar dalam konteks perpolitikan ini adalah berupa pemberian/setoran dana dalam jumlah tertentu dari para kandidat kepada partai politik dengan maksud agar partai yang bersangkutan bersedia mencalonkan dirinya dalam kontestasi Pilkada.

Selain untuk kepentingan "membeli perahu" (partai bakal pengusung kandidasi), mahar politik juga lazim disepakati antara kandidat dengan partai-partai pengusung kandidasi untuk kebutuhan ongkos politik (political cost) proses kampanye dan pemenangan. Mulai dari kegiatan survei, pengadaan alat sosialisasi dan peraga kampanye, operasional mesin birokrasi partai, hingga ke anggaran transportasi dan akomodasi para relawan.

Besaran nominal mahar politik ini beragam, tergantung sejumlah variabel. Misalnya kondisi daerah (pilkada), peta persaingan (semakin ketat dan kompetitif persaingan akan semakin mahal biaya mahar), popularitas kandidat, dan tentu saja posisi yang dibidik: Kepala Daerah atau Wakilnya, dll.

Dalam sejarah perhelatan Pilkada di tanah air, mahar politik ini mulai marak sejak era reformasi dimana proses pilkada (baik ketika masih dilakukan oleh DPRD maupun dan, terlebih lagi setelah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat) tidak lagi bergantung pada kehendak pemerintah pusat.

Hanya saja, karena praktik mahar politik ini dilakukan di bawah tangan (illicit deal), maka modus operandi dan bukti-bukti otentiknya bahwa praktik-praktik tak sehat ini berlangsung masif memang sukar didapat. Sebagai bagian dari bentuk money politics (jika mengacu pada perundang-undangan Pilkada), mahar politik ini seperti sering dianalogikan oleh publik dengan (mohon maaf) "gas" yang keluar dari perut tak sehat: tidak tampak tapi bau busuknya menyengat.

Di dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, isu mahar politik ini secara implisit sebetulnya masuk ke dalam kategori politik uang yang dilarang dan diancam dengan sanksi denda, bahkan pembatalan pencalonan sebagaimana bisa dibaca didalam Pasal 47 UU tersebut.

Kemudian Politik Uang. Maraknya fenomena money politic dalam pengertian transaksi jual beli suara antara kandidat dengan para pemilih dalam setiap kali perhelatan Pilkada digelar di manapun, mencerminkan bahwa Pilkada Langsung sejauh ini belum menghasilkan para pemilih cerdas, otonom dan rasional.

Berbagai survei menunjukkan bahwa pemilih masih memberikan angka di kisaran 40- 50% permisif terhadap praktik money politic. Besaran angka permisifitas terhadap praktik money politic ini mengisyaratkan bahwa dalam perhelatan pilkada sebagian pemilih sebagai pemilik kedaulatan telah dengan sadar dan berjamaah menjual kedaulatan mereka kepada para kandidat dan partai politik pengusungnya.

Politik uang itu bisa dalam bentuk paket bingkisan senilai 100-200 ribuan rupiah, atau amplop berisi uang dengan kisaran nominal yang kurang lebih setara. Selain itu karena kehadiran money politic bergantung pada hukum permintaan dan penawaran, maka praktik ini sesungguhnya juga mencerminkan bagaimana kualitas demokrasi (dalam hal ini kesiapan dan kepercayaan diri kontestasi dan kompetisi) para kandidat.

Para kandidat umumnya tidak cukup percaya diri akan dipilih dan mendapat mandat mayoritas dari rakyat tanpa "membeli" suara mereka. Dalam konteks ini maka nalar yang akan berlaku adalah: pemilih yang buruk tidak mungkin menghasilkan pemimpin yang baik.

Andai saja penegakan hukum terhadap kedua kasus tersebut dilakukan dengan tegas dan sungguh-sungguh mestinya Pilkada bisa jauh lebih efesien. Karena peserta Pilkada tidak perlu menggelontorkan uang-uang haram itu, baik untuk "membeli perahu" maupun untuk "membeli suara pemilih."

Edukasi Pemilih 

Ketiga edukasi pemilih yang lebih serius dan masif yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis warga masyarakat perihal pentingnya mewujudkan Pilkada yang bersih, terutama bersih dari praktik politik uang dan sejenisnya.

Penting untuk terus dihidupkan di tengah masyarakat, bahwa praktik money politic akan mendorong kandidat-kandidat terpilih untuk melakukan apapun yang bisa dengan segera mengembalikan ongkos politik guna membeli suara para pemilih itu.

Maka berbagai kebijakan dan program pemerintah daerah potensial akan sarat dengan muatan kepentingan pribadi. Ujungnya lagi-lagi, korupsi dan korupsi di berbagai sektor tatakelola pemerintahan daerah. 

Mulai dari proses perencanaan anggaran yang tidak realistis dan jauh dari transparan, tender yang dimanipulasi, alokasi dana hibah yang irrasional, distribusi anggaran bantuan sosial (bansos) yang disunat dan lain-lain.

Ringkasnya, praktik politik uang dapat dipastikan bakal menjadi bumerang yang merugikan masyarakat dan daerahnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun