Penting disadari dan diakui dengan jujur terutama oleh peserta Pilkada dan partai-partai pengusung dan pendukungnya, bahwa mahalnya Pilkada boleh jadi merupakan akibat dari praktik politik yang mereka lakukan sendiri. Buktinya praktik Mahar Politik dan Politik Uang.Â
Dalam percaturan politik Indonesia mutakhir istilah mahar (dowry) ini digunakan untuk menggambarkan fenomena transaksional antara kandidat-kandidat pemimpin politik dengan partai politik untuk memperebutkan jabatan yang dipilih (elected office).Â
Bentuk mahar dalam konteks perpolitikan ini adalah berupa pemberian/setoran dana dalam jumlah tertentu dari para kandidat kepada partai politik dengan maksud agar partai yang bersangkutan bersedia mencalonkan dirinya dalam kontestasi Pilkada.
Selain untuk kepentingan "membeli perahu" (partai bakal pengusung kandidasi), mahar politik juga lazim disepakati antara kandidat dengan partai-partai pengusung kandidasi untuk kebutuhan ongkos politik (political cost) proses kampanye dan pemenangan. Mulai dari kegiatan survei, pengadaan alat sosialisasi dan peraga kampanye, operasional mesin birokrasi partai, hingga ke anggaran transportasi dan akomodasi para relawan.
Besaran nominal mahar politik ini beragam, tergantung sejumlah variabel. Misalnya kondisi daerah (pilkada), peta persaingan (semakin ketat dan kompetitif persaingan akan semakin mahal biaya mahar), popularitas kandidat, dan tentu saja posisi yang dibidik: Kepala Daerah atau Wakilnya, dll.
Dalam sejarah perhelatan Pilkada di tanah air, mahar politik ini mulai marak sejak era reformasi dimana proses pilkada (baik ketika masih dilakukan oleh DPRD maupun dan, terlebih lagi setelah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat) tidak lagi bergantung pada kehendak pemerintah pusat.
Hanya saja, karena praktik mahar politik ini dilakukan di bawah tangan (illicit deal), maka modus operandi dan bukti-bukti otentiknya bahwa praktik-praktik tak sehat ini berlangsung masif memang sukar didapat. Sebagai bagian dari bentuk money politics (jika mengacu pada perundang-undangan Pilkada), mahar politik ini seperti sering dianalogikan oleh publik dengan (mohon maaf) "gas" yang keluar dari perut tak sehat: tidak tampak tapi bau busuknya menyengat.
Di dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, isu mahar politik ini secara implisit sebetulnya masuk ke dalam kategori politik uang yang dilarang dan diancam dengan sanksi denda, bahkan pembatalan pencalonan sebagaimana bisa dibaca didalam Pasal 47 UU tersebut.
Kemudian Politik Uang. Maraknya fenomena money politic dalam pengertian transaksi jual beli suara antara kandidat dengan para pemilih dalam setiap kali perhelatan Pilkada digelar di manapun, mencerminkan bahwa Pilkada Langsung sejauh ini belum menghasilkan para pemilih cerdas, otonom dan rasional.
Berbagai survei menunjukkan bahwa pemilih masih memberikan angka di kisaran 40- 50% permisif terhadap praktik money politic. Besaran angka permisifitas terhadap praktik money politic ini mengisyaratkan bahwa dalam perhelatan pilkada sebagian pemilih sebagai pemilik kedaulatan telah dengan sadar dan berjamaah menjual kedaulatan mereka kepada para kandidat dan partai politik pengusungnya.
Politik uang itu bisa dalam bentuk paket bingkisan senilai 100-200 ribuan rupiah, atau amplop berisi uang dengan kisaran nominal yang kurang lebih setara. Selain itu karena kehadiran money politic bergantung pada hukum permintaan dan penawaran, maka praktik ini sesungguhnya juga mencerminkan bagaimana kualitas demokrasi (dalam hal ini kesiapan dan kepercayaan diri kontestasi dan kompetisi) para kandidat.