Para kandidat umumnya tidak cukup percaya diri akan dipilih dan mendapat mandat mayoritas dari rakyat tanpa "membeli" suara mereka. Dalam konteks ini maka nalar yang akan berlaku adalah: pemilih yang buruk tidak mungkin menghasilkan pemimpin yang baik.
Andai saja penegakan hukum terhadap kedua kasus tersebut dilakukan dengan tegas dan sungguh-sungguh mestinya Pilkada bisa jauh lebih efesien. Karena peserta Pilkada tidak perlu menggelontorkan uang-uang haram itu, baik untuk "membeli perahu" maupun untuk "membeli suara pemilih."
Edukasi PemilihÂ
Ketiga edukasi pemilih yang lebih serius dan masif yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis warga masyarakat perihal pentingnya mewujudkan Pilkada yang bersih, terutama bersih dari praktik politik uang dan sejenisnya.
Penting untuk terus dihidupkan di tengah masyarakat, bahwa praktik money politic akan mendorong kandidat-kandidat terpilih untuk melakukan apapun yang bisa dengan segera mengembalikan ongkos politik guna membeli suara para pemilih itu.
Maka berbagai kebijakan dan program pemerintah daerah potensial akan sarat dengan muatan kepentingan pribadi. Ujungnya lagi-lagi, korupsi dan korupsi di berbagai sektor tatakelola pemerintahan daerah.Â
Mulai dari proses perencanaan anggaran yang tidak realistis dan jauh dari transparan, tender yang dimanipulasi, alokasi dana hibah yang irrasional, distribusi anggaran bantuan sosial (bansos) yang disunat dan lain-lain.
Ringkasnya, praktik politik uang dapat dipastikan bakal menjadi bumerang yang merugikan masyarakat dan daerahnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H