Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pesta Demokrasi Post-Gen Z

5 November 2024   17:37 Diperbarui: 6 November 2024   11:34 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pesantren Nurul Madany

Pagi tadi saya hadir dan memberikan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tapi ini bukan tentang Pilkada serentak. 27 November masih dua pekanan lagi.

Ini tentang pesta demokrasi generasi pasca Z (Post-Gen Z) di lingkungan pesantren Nurul Madany Cipanas Kabupaten Lebak, dimana saya menjadi bagian dari "warganya."

Hari ini mereka menyelenggarakan pesta tahunan memilih Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) yang dalam terminologi keorganisasian mereka dikenal dengan sebutan Ikatan Santri Nurul Madany (INSANY) dan Ketua Ambalan.

Kok bisa guru atau karyawan ikut memilih? Bukankah OSIS itu organisasi para siswa? Mengapa tidak?

Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) inilah bentuk partikularisme budaya yang disepakati di lingkungan pesantren Nurul Madany dan mungkin juga dipraktikan di lembaga pendidikan lainnya. Sesuatu yang dalam skala makro sosiokultural pun dikenal dan diberi ruang untuk hidup.

Beralas perspektif ini pula mengapa sistem pemilihan umum memberi ruang pada model campuran di antara model mayoritarian dan proporsional. Pun demikian elemen-elemen khas yang banyak ditemukan dalam perhelatan elektoral di berbagai negara.

Partikularisme budaya adalah nilai-nilai khas pada entitas sosial tertentu yang patut dihormati keberadaannya sepanjang ia dipercaya dapat memberikan kemaslahatan bersama.

Pendidikan Demokrasi

Kembali ke soal pesta demokrasi Post-Gen Z. Antara Oktober-November ini jika tidak keliru merupakan rentang waktu dimana anak-anak SMA/SMK/MA menyelenggarakan rotasi kepemimipinan di masing-masing OSIS (atau nama lain) di sekolahnya.

Ketua dan pengurus lama yang sebagian besar umumnya berasal dari siswa-siswi kelas duabelas diganti dengan kepengurusan baru yang biasanya Ketua dan pengurus hariannya berasal dari kelas sebelas.

Kegiatan pemilihan Ketua OSIS ini penting sebagai bagian dari pendidikan demokrasi sekaligus mengenalkan praktik kehidupan politik pada level dasar, permulaan dan ruang lingkup yang sederhana.

Pemilihan Ketua OSIS adalah miniatur Pemilu atau Pilkada. Dan komunitas para siswa adalah "entitas negara atau daerahnya."

Pendidikan demokrasi adalah proses di mana individu belajar untuk berpartisipasi dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah sosial, serta mengembangkan kesadaran kritis terhadap realitas politik dan sosial mereka (Paulo Freire).

Ada tiga kata kunci dari pandangan Freire yang penting dielaborasi, yakni "Partisipasi, Identifikasi dan Pemecahan masalah, serta Kesadaran Kritis."

Sementara itu, dengan substansi yang sama namun lebih spesifik, John Dewey mendefinisikan pendidikan demokrasi sebagai proses pembelajaran yang melibatkan partisipasi aktif siswa dalam kehidupan sekolah, membangun keterampilan berpikir kritis, serta mengembangkan sikap sosial dan moral yang demokratis.

Partisipasi (peran serta atau keterlibatan) adalah nilai paling dasar dalam demokrasi, terutama ketika demokrasi dimaknai sebagai kedaulatan rakyat. 

Partisipasi merupakan pengejewantahan paling kongkret dari konsep rakyat berdaulat itu. Karena melalui jalan keterlibatan atau peran sertalah warga sebuah entitas (negara, daerah, organisasi, dan entitas-entitas lainnya) mengartikulasikan pikiran dan kehendak otonomnya.

Tanpa partisipasi atau peran konsep rakyat berdaulat tidak memiliki arti sama sekali.

Melalui Pemilihan Ketua OSIS para siswa/santri belajar tentang makna sejati kedaulatan (kebebasan berpikir, berbicara dan otonomi memilih) yang dimiliki oleh setiap individu di lingkungannya, yakni sekolah.

Dengan modal atau melalui partisipasi itu kemudian setiap siswa/santri belajar mengidentifikasi, menemukenali permasalahan-permasalahan bersama dan mendiskusikan pemecahan masalahnya bersama pula secara diskursif.

Dalam tradisi demokrasi mutakhir inilah model demokrasi deliberasi. Demokrasi yang mengedepankan pertukaran gagasan dalam suasana yang setara dan saling menghormati dalam setiap menghadapi persoalan bersama.

Semua partisipasi, semua diberikan ruang dan kesempatan yang sama untuk menemukenali problematika serta cara menghadapi dan mencarikan jalan pemecahannya.

Dengan demikian, secara tidak langsung para siswa/santri pada akhirnya juga terlibat dalam proses pembelajaran untuk menyemai dan menumbuhkan kesadaran kritis sebagai individu yang kelak bakal menjadi modal penting saat mereka menjadi para warga negara dewasa di kemudian hari.

Penyemaian Etika Politik dan Integritas

Sebagaimana layaknya proses elektoral, pemilihan Ketua OSIS (di sekolah manapun pastinya, termasuk di lingkungan pesantren dimana saya turut mengasuhnya) memiliki rangkaian tahapan.

Mulai dari persiapan, sosialisasi, Latihan Kepemimpinan, proses kandidasi (pencalonan), kampanye termasuk debat didalamnya, dan puncaknya pemungutan dan penghitungan suara.

Kesemuanya ini dilakukan oleh Komite Penggantian Kepengurusan (semacam KPU) yang dibentuk bersama oleh Pengurus OSIS lama dengan bimbingan dan arahan dari Guru Pembina Kesiswaan.

Pada seluruh rangkaian tahapan itu, para siswa/santri  atau santri dibimbing dan mendiskusikan bukan hanya menyangkut aspek-aspek teknikalitas kepemiluan seperti merumuskan regulasi, menyusun anggaran dan segala kebutuhan yang diperlukan, mendesain tahapan dengan memperhatikan kegiatan pembelajaran harian, hingga ke teknik kampanye dan debat, serta penyiapan TPS. Melainkan juga asas-asas universal kepemiluan dan nilai-nilai etis dalam kegiatan politik elektoral.

Dalam kerangka proses pembelajaran, kedua aspek tersebut sama pentingnya bagi para siswa/santri. Yakni teknikalitas kepemiluan dan asas-asas politik elektoral.

Karena Pemilu/Pilkada yang berintegritas di level makro (negara dan daerah) pun hanya akan menjadi dan dipercaya sebagai pemilu yang berintegritas jika kedua aspek tersebut terpenuhi.

Aspek teknikalitas berkaitan dengan kemampuan memahami dan menyelenggarakan tahapan pemilihan sesuai regulasi yang telah disepakati berdasarkan hasil musyawarah mereka.

Sementara asas-asas politik elektoral atau demokrasi elektoral berkenaan dengan nilai-nilai kebajikan (virtue) yang secara universal disepakati menjadi landasan etik para pihak yang terlibat.

Asas yang paling mendasar dan utama sebagaimana telah menjadi asas Pemilu kita tentu saja Luber (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) dan Jurdil (Jujur dan Adil). Asas ini disemaikan dengan benar dan penuh kesungguhan kepada para siswa/santri pada seluruh rangkaian tahapan kegiatan pemilihan.

Harapannya tidak lain agar mereka mengenal dan memahami sejak dini bahwa kelak, Pemilu atau Pilkada yang bakal mereka ikuti setelah dewasa (entah sebagai pemilih, mungkin sebagai penyelenggara atau bahkan sebagai peserta) adalah hajat politik yang dilandasi nilai-nilai kebajikan sekaligus terikat pada ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama. Tidak sekedar pesta, dan bukan sekedar hajat politik.

Nilai-nilai kebajikan politik dan demokrasi elektoral itu semakin relevan, khususnya bagi siswa/santri kelas duabelas yang sebagian diantaranya sudah memiliki hak pilih dan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada November mendatang.

Selain asas-asas Pemilu, kepada para siswa/santri juga diberikan pengetahuan dan pemahaman terkait berbagai isu penting yang biasa muncul dalam perhelatan kepemiluan.

Misalnya isu politik uang, politisasi identitas berbasis primordialistik dan potensi perpecahan sebagai akibat persaingan yang panas antar kandidat dan kubu pendukungnya.

Di pesantren dimana saya turut mengasuhnya, kebetulan para siswa/santrinya berasal dari berbagai daerah yang cukup beragam. Kondisi ini memudahkan proses pembelajaran fenomenologis, misalnya terkait isu politisasi identitas.

Secara sederhana kepada mereka ditanam-semaikan, bahwa asal daerah atau etnik hendaknya tidak dijadikan dasar dalam memilih kandidat Ketua OSIS.

Lantas apa dasarnya, apa yang harus menjadi parameternya? Sudah barang pasti adalah keunggulan komparatif dari personalitas para kandidat. Yakni kompetensi, kecakapan dan kepatutan, serta integritas masing-masing kandidat.

Demikianlah yang diharapkan akan tertanam, tersimpan dan hidup dalam memori kolektif para siswa/santri yang kelak menjadi bagian dari kesadaran kritis mereka saat menjadi warga negara dewasa dan berperan aktif dalam kehidupan politik yang sesungguhnya.  

Artikel terkait : KPU Goes to Campus: Ikhtiar Mewujudkan Smart Voters

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun