Nilai-nilai kebajikan politik dan demokrasi elektoral itu semakin relevan, khususnya bagi siswa/santri kelas duabelas yang sebagian diantaranya sudah memiliki hak pilih dan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada November mendatang.
Selain asas-asas Pemilu, kepada para siswa/santri juga diberikan pengetahuan dan pemahaman terkait berbagai isu penting yang biasa muncul dalam perhelatan kepemiluan.
Misalnya isu politik uang, politisasi identitas berbasis primordialistik dan potensi perpecahan sebagai akibat persaingan yang panas antar kandidat dan kubu pendukungnya.
Di pesantren dimana saya turut mengasuhnya, kebetulan para siswa/santrinya berasal dari berbagai daerah yang cukup beragam. Kondisi ini memudahkan proses pembelajaran fenomenologis, misalnya terkait isu politisasi identitas.
Secara sederhana kepada mereka ditanam-semaikan, bahwa asal daerah atau etnik hendaknya tidak dijadikan dasar dalam memilih kandidat Ketua OSIS.
Lantas apa dasarnya, apa yang harus menjadi parameternya? Sudah barang pasti adalah keunggulan komparatif dari personalitas para kandidat. Yakni kompetensi, kecakapan dan kepatutan, serta integritas masing-masing kandidat.
Demikianlah yang diharapkan akan tertanam, tersimpan dan hidup dalam memori kolektif para siswa/santri yang kelak menjadi bagian dari kesadaran kritis mereka saat menjadi warga negara dewasa dan berperan aktif dalam kehidupan politik yang sesungguhnya. Â
Artikel terkait :Â KPU Goes to Campus: Ikhtiar Mewujudkan Smart Voters
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H