Maka pada bulan Mei 2023, hanya beberapa pekan setelah purna tugas di KPU Banten saya menerbitkan buku yang sebelumnya telah disiapkan sekira tiga bulanan menjelang akhir masa jabatan. Sesuatu yang tidak mudah dilakukan ketika masih menjadi penyelenggaraan Pemili/Pilkada karena kajian-kajian di dalam buku ini menyangkut isu-isu politik praktis yang potensial bisa membuat saya menjadi tidak netral.
Buku setebal 496 halaman berjudul "Jalan Berliku Transisi Demokrasi" ini memuat artiker-artikel seputar dinamika politik dan perjalanan demokrasi, yang saya himpun dalam hampir lima tahun selama bertugas di KPU Banten. Beberapa tulisan berasal dari file Kompasiana yang saya adaptasi sesuai perkembangan mutakhir.Â
Ohya, sedikit bernostalgia. Saya memulai kiprah di Kompasiana sejak tahun 2010, tepatnya bergabung 25 Maret 2010 (terekam di halaman Profil). Jadi bisa dibilang tergolong "ashabiqunal awalun" sebetulnya.
Tetapi karena satu dan lain alasan (yang paling utama adalah fokus di kampus karena mencoba mewujudkan mimpi jadi Guru Besar hehe...dan menghindarkan diri dari potensi tak netral sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada tadi), saya sempat "rehat" sangat panjang, lebih dari 12 tahun. Kalaupun menulis hanya sesekali, random dan sporadis saja.
Baru pada tahun 2023, tepatnya bulan Agustus, saya mulai menulis kembali secara rutin di Kompasiana, yang perwajahan dan tata aturannya sudah banyak sekali berubah. Kala itu tahapan Pemilu serentak 2024 mulai memasuki tahapan-tahapan penting, sosialisasi dan fase prakandidasi, dan berbagai isu politik elektoral mulai berhamburan di ruang publik. Bidang yang saya minati bahkan jauh sebelum menjadi penyelenggaaran Pemilu/Pilkada.
Maka, layaknya air yang mengarus, ide-ide tulisan merespon dan mengulas isu-isu politik elektoral itu mengalir deras. Hampir setiap hari saya menulis, bahkan kerap terjadi, dalam satu hari bisa menulis dan/atau menerbitkan 2-3 isu-isu politik elektoral di Kompasiana. Sesuatu yang mustahil bisa saya lakukan ketika menjadi penyelenggara Pemilu/Pilkada.
Satu hal yang kemudian saya sadari di tengah arus deras berbagai isu aktual ini adalah bahwa isu-isu politik elektoral yang menurut hemat saya penting itu nyaris mustahil bisa direspon lalu dikembalikan ke ruang publik sebagai bahan diskursus dan pencerahan bersama tanpa media yang memfasilitasinya. Lagi-lagi, saya menemukan Kompasiana sebagai jalan efektif untuk menyemai ide-ide, pikiran-pikiran, sekaligus aspirasi sebagai warga negara ke ruang publik.
Kompasiana bagi saya telah menjadi "Mimbar Kedua" untuk menyemai ide, pikiran, Â aspirasi bahkan juga diskusi. Mimbar pertamanya adalah kampus dimana sehari-hari saya beraktifitas pasca purnatugas sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada.
Kepada mahasiswa di kampus saya tidak sekedar menjelaskan berbagai teori politik dan pikiran-pikiran ahli tentang demokrasi dan terma-terma terkaitnya. Melainkan juga mendiskusikan isu-isu politik kontemporer, fenomena-fenomena politik aktual secara kritis dan seimbang. Semuanya tentu berbasis data, informasi dan argumentasi. Inilah yang selama ini orang menyebutnya dengan istilah"Mimbar Akademik." Â
Dari Mimbar ke Buku
Mimbar akademik adalah kewenangan yang dimiliki oleh civitas akademika di lingkungan kampus untuk menyatakan pendapat secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi.