Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kompasiana, Mimbar Akademik yang Menyehatkan

12 Oktober 2024   13:20 Diperbarui: 13 Oktober 2024   15:53 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. KOMPAS/HERYUNANTO

Mei 2023 silam saya mengakhiri dharma ketiga perguruan tinggi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten. Lima tahun menjadi Komisioner KPU daerah adalah fase pengabdian yang berharga sebagai warga negara sekaligus bermakna dalam sepanjang karir sebagai akademisi. Dan saya mensyukuri keduanya karena pernah mengalaminya.

Tetapi ada satu sisi yang mungkin tidak terlalu diketahui oleh banyak orang kecuali sekedar pintasan informasi ringan saja. Bahwa menjadi penyelenggaraan Pemilu/Pilkada adalah pekerjaan yang "agak laen." Kelainan itu tercermin dalam frasa populer bahwa "penyelenggara Pemili/Pilkada wajib netral."

Ketahuilah, bahwa di balik frasa itu ada norma moral yang tidak tertulis namun sangat esensial. Bahwa dengan menjadi penyelenggara Pemilu/Pilkada, setiap warga negara sejatinya telah melepaskan salah satu hak dasarnya sebagai warga negara, yakni kebebasan. Bebas mengambil pilihan sikap (politik) bernegara serta bebas mengekspresikan dan mengartikulasikannya.

Pembatasan terhadap hak kebebasan itu tertuang bukan hanya dalam regulasi kepemiluan (UU Pemilu/Pilkada dan PKPU), tetapi juga dalam Kode Etika Penyelenggara Pemilu (KEPP) yang dirumuskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Demikian ketatnya pembatasan kebebasan itu, hingga jika seorang Komisioner (KPU maupun Bawaslu) mengungkapkan sikap dan pilihan politik elektoralnya kepada isteri atau anak-anaknya saja. Kemudian mereka meneruskan sikap dan pilihan politik itu kepada orang lain lalu ada yang melaporkannya kepada DKPP, hal ini bisa membahayakan posisi dan karirnya. Ia bisa disanksi oleh DKPP, dari peringatan hingga pemecatan dengan tidak hormat dengan sangkaan tidak berlaku netral.

KPU dan Bawaslu adalah kerangkeng kebebasan bagi para Komisionernya, Ketua maupun Anggotanya. Dan soal pilihan sikap politik itu hanyalah satu item saja dari deretan hak kebebasan yang diamputasi oleh regulasi kepemiluan kita melalui piranti yang bernama perundang-undangan dan Kode Etik tadi.

Itulah sebabnya, selesai menjalani tugas sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada, bagi saya pribadi merupakan berkah tersendiri sambil tetap mensyukuri pernah mengalami suka dan dukanya baik di Kabupaten maupun Provinsi.

Berkah itu tidak lain adalah kembalinya salah satu hak dasar saya sebagai warga negara, yakni kebebasan berekspresi. Kebebasan memilih sikap politik dan mengartikulasikannya, bukan saja pada isteri dan anak-anak, tetapi juga kepada para sahabat, kolega bahkan khalayak secara terbuka.

Dan, Kompasiana adalah salah satu mimbar dimana saya bisa mengekspresikan kebebasan itu dengan nyaman dan menyehatkan sambil berharap apa yang disuarakan melalui konten-konten analisis politik bisa memberi dampak positif meski mungkin tak seberapa.

Mimbar Akademik    

Usai menuntaskan tugas sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada, saya memang benar-benar merasakan kebebasan yang pernah ditangguhkan sebagai konsekuensi pilihan hidup.

Maka pada bulan Mei 2023, hanya beberapa pekan setelah purna tugas di KPU Banten saya menerbitkan buku yang sebelumnya telah disiapkan sekira tiga bulanan menjelang akhir masa jabatan. Sesuatu yang tidak mudah dilakukan ketika masih menjadi penyelenggaraan Pemili/Pilkada karena kajian-kajian di dalam buku ini menyangkut isu-isu politik praktis yang potensial bisa membuat saya menjadi tidak netral.

Buku setebal 496 halaman berjudul "Jalan Berliku Transisi Demokrasi" ini memuat artiker-artikel seputar dinamika politik dan perjalanan demokrasi, yang saya himpun dalam hampir lima tahun selama bertugas di KPU Banten. Beberapa tulisan berasal dari file Kompasiana yang saya adaptasi sesuai perkembangan mutakhir. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Ohya, sedikit bernostalgia. Saya memulai kiprah di Kompasiana sejak tahun 2010, tepatnya bergabung 25 Maret 2010 (terekam di halaman Profil). Jadi bisa dibilang tergolong "ashabiqunal awalun" sebetulnya.

Tetapi karena satu dan lain alasan (yang paling utama adalah fokus di kampus karena mencoba mewujudkan mimpi jadi Guru Besar hehe...dan menghindarkan diri dari potensi tak netral sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada tadi), saya sempat "rehat" sangat panjang, lebih dari 12 tahun. Kalaupun menulis hanya sesekali, random dan sporadis saja.

Baru pada tahun 2023, tepatnya bulan Agustus, saya mulai menulis kembali secara rutin di Kompasiana, yang perwajahan dan tata aturannya sudah banyak sekali berubah. Kala itu tahapan Pemilu serentak 2024 mulai memasuki tahapan-tahapan penting, sosialisasi dan fase prakandidasi, dan berbagai isu politik elektoral mulai berhamburan di ruang publik. Bidang yang saya minati bahkan jauh sebelum menjadi penyelenggaaran Pemilu/Pilkada.

Maka, layaknya air yang mengarus, ide-ide tulisan merespon dan mengulas isu-isu politik elektoral itu mengalir deras. Hampir setiap hari saya menulis, bahkan kerap terjadi, dalam satu hari bisa menulis dan/atau menerbitkan 2-3 isu-isu politik elektoral di Kompasiana. Sesuatu yang mustahil bisa saya lakukan ketika menjadi penyelenggara Pemilu/Pilkada.

Satu hal yang kemudian saya sadari di tengah arus deras berbagai isu aktual ini adalah bahwa isu-isu politik elektoral yang menurut hemat saya penting itu nyaris mustahil bisa direspon lalu dikembalikan ke ruang publik sebagai bahan diskursus dan pencerahan bersama tanpa media yang memfasilitasinya. Lagi-lagi, saya menemukan Kompasiana sebagai jalan efektif untuk menyemai ide-ide, pikiran-pikiran, sekaligus aspirasi sebagai warga negara ke ruang publik.

Kompasiana bagi saya telah menjadi "Mimbar Kedua" untuk menyemai ide, pikiran,  aspirasi bahkan juga diskusi. Mimbar pertamanya adalah kampus dimana sehari-hari saya beraktifitas pasca purnatugas sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada.

Kepada mahasiswa di kampus saya tidak sekedar menjelaskan berbagai teori politik dan pikiran-pikiran ahli tentang demokrasi dan terma-terma terkaitnya. Melainkan juga mendiskusikan isu-isu politik kontemporer, fenomena-fenomena politik aktual secara kritis dan seimbang. Semuanya tentu berbasis data, informasi dan argumentasi. Inilah yang selama ini orang menyebutnya dengan istilah"Mimbar Akademik."  

Dari Mimbar ke Buku

Mimbar akademik adalah kewenangan yang dimiliki oleh civitas akademika di lingkungan kampus untuk menyatakan pendapat secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mimbar akademik merupakan bagian dari kebebasan akademik yang merupakan hak dan tanggung jawab sivitas akademika. Kebebasan akademik memberikan kesempatan kepada sivitas akademika untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab.

Dan bagi saya, sekali lagi Kompasiana adalah mimbar akademik dimana saya secara leluasa, nyaman dan menyehatkan, tentu saja dengan menjunjung tinggi kaidah-kaidah dan keadaban dalam menyebarkan pikiran dan berdiskusi.

Dari mimbar akademik Kompasiana inilah pula, tahaduts bi nikmat dalam tahun 2024 ini saya menghasilkan dua buku kumpulan tulisan. Kontennya sekitar 80 persen merupakan analisis dan diskusi seputar isu-isu penting yang berkembang dalam perhelatan Pemilu dan Pilpres 2024 yang saya publikasikan di Kompasiana.

Kedua buku tersebut seperti pernah saya ulas sendiri di Kompasiana, berjudul besar Pesta Demokrasi Bertabur Ironi. Buku Kesatu (Juni 2024) diimbuhi judul kecil : Cawe-Cawe Presiden Jokowi dan Robohnya Pilar Etik. Buku Kedua (September 2024) diimbuhi judul kecil : Wakanda No More, Indonesia Forever.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Proficiat. Selamat Ultah Ke-16 Kompasiana. Teruslah menjadi bagian dari media pencerahan yang menyehatkan dan mendewasakan sekaligus menjaga kewarasan bernegara dan berdemokrasi. Dan terima kasih telah berkenan mengizinkan saya menjadikannya sebagai "Mimbar Akademik".

Analisis-analisis seputar politik dan demokrasi elektoral:

Debat Pilgub dan Bayang-Bayang Kompromi Politik

Manfaat Kampanye Deliberatif  

Membincang Kembali Pentingnya Kehadiran Oposisi di Parlemen  

Head to Head Airin-Ade vs Andra-Dimyati di Pilgub Banten  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun